Di RS THT Proklamasi, tiap hari ada 3 sesi, masing-masing berdurasi 2 jam, yaitu pukul 09.00-11.00, pukul 11.00-13.00, dan pukul 13.00-15.00. Ruangan di RS THT Proklamasi bisa menampung maksimal 6 orang, yaitu 5 pasien dan 1 suster yang menjaga di dalam. Tidak selalu full, biarpun cuma satu tetap jalan dengan satu pendamping. Oya, anak kecil tidak bisa digabung dengan orang dewasa karena tekanannya berbeda--anak kecil lebih rendah. Anak kecil juga harus didampingi orang tua dan pendampingnya harus bayar (ya iyalah).
Sebelum masuk, dianjurkan untuk makan dulu, tapi harus ada jeda sekitar 1 jam. Jangan lupa untuk buang air kecil dulu, karena kalau sudah masuk, pintu tidak bisa lagi dibuka selama 2 jam durasi terapi.
Selama ikut terapi, Icha berkenalan dengan sejumlah pasien lain. Karena ini RS THT, ya kebanyakan memang dalam rangka terapi kuping budek kayak Icha. Tetapi ada pula sepasang lansia yang ternyata tidak sedang menjalani pengobatan apa-apa. "Untuk kesehatan aja," katanya. Ya kalau tidak punya kendala biaya, asoy-asoy aja kali ya ikut hiperbarik. Mungkin pasangan lansia itu berpikir, siapa tahu bisa jadi lebih muda ;) Ada juga seorang bapak yang kakinya diperban. Ternyata ia penderita diabetes dan aku menduga ia mengalami gangren sehingga kakinya harus diamputasi sebagian. Dia bilang, dia ikut hiperbarik untuk mempercepat penyembuhan kakinya.
Kembali pada sudden deafness, ternyata ini bisa menyerang siapa saja. Tetapi memang utamanya mereka yang telah berusia di atas 40 tahun, pas banget dengan Icha. Beberapa pasien lain yang barengan terapi dengan Icha rata-rata 40-an akhir. Tetapi, ada juga seorang ibu yang sudah berusia 50-an dan seorang remaja yang baru berusia 15 tahun. Semua dengan gejala gangguan pendengaran tetapi dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Salah satu bapak yang aku sebut di atas baru ke dokter THT setelah lebih dari seminggu. Awalnya dia ke dokter umum dan hanya diberi pengobatan flu biasa. Setelah tidak ada perbaikan, baru dia datang ke dokter THT. Gejala yang dialaminya, kuping terasa mendengar suara berisik. Tapi parahnya, kadang-kadang ia merasa pusing hebat. Kalau sudah begitu, ia jalan harus dituntun. Menurut dokter yang merawat Icha, kemungkinan keseimbangannya terganggu. Ingat, salah satu pusat keseimbangan manusia memang di kuping. Wah, berbahaya juga ternyata.
Menurut dokter hiperbarik, terapi ini baru kelihatan hasilnya setelah 5 kali. Untuk pengobatan, idealnya minimal dilakukan satu seri yaitu 10 kali. Habis itu, kalau masih diperlukan, bisa dilanjutkan lagi. Kami memutuskan untuk mengambil satu seri. Tapi, dari yang terapi barengan Icha, ada juga yang dianjurkan untuk 15 kali. Mungkin tergantung tingkat keparahannya kali ya.
Oya, setiap kali mau terapi, pasien harus ditensi dulu. Selain itu, kalau lagi flu, tidak boleh ikut terapi. Sekali waktu kami lupa, pada pagi sebelum terapi Icha kebetulan batuk-batuk seperti mau flu gitu. Bener saja, setelah masuk ke dalam, telinganya sakit. Mungkin tidak kuat menerima tekanan ya. Karena sudah "dikunci" di dalam bersama orang-orang lain, ya tidak mungkin keluar lagi. Jadinya, suster memberikan obat tetes untuk meringankan sakitnya--sambil sedikit ngomel-ngomel juga hahaha.
Dalam kasus Icha, karena kami cepat ditangani, ketika dicek lagi hari Jumat (24/7), kondisinya sudah nyaris normal. Tapi, kami terus melanjutkan terapi hiperbarik meski telah keluar dari rumah sakit. Karena repot kalau hari kerja, kami hanya datang seminggu sekali, setiap Sabtu. Dan, Sabtu kemarin adalah sesi terakhir terapi Icha. Sekarang sih sudah berasa seperti normal lagi, semoga tidak kambuh-kambuh lagi ya.
Jadi, lesson learned-nya, jangan anggap enteng kalo kuping berasa budek. Nggak ada salahnya langsung dicek ke dokter atau ahlinya biar bisa ditangani dengan cepat dan tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H