Mohon tunggu...
Mahansa Sinulingga
Mahansa Sinulingga Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta.

Ikuti saya di blog mahansa.wordpress.com dan Twitter @mahansa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Vokalis Terbaik Iron Maiden

26 Februari 2015   02:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:30 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentang siapa vokalis terbaik Iron Maiden, rasanya tak perlu diperdebatkan lagi. Hampir dapat dipastikan, semua penggemar akan mendaulat Bruce Dickinson.

Polymath yang memiliki lisensi menerbangkan pesawat komersial ini tak hanya tarik suara pada 11 dari 15 album studio band asal Inggris tersebut. Ia juga menjadi pencekal mikrofon pada formasi yang disebut-sebut sebagai classic line-up, bersama Steve Harris, Dave Murray, Adrian Smith, dan Nicko McBrain. Formasi inilah yang menelurkan album legendaris Powerslave (1984) yang menobatkan Iron Maiden sebagai band heavymetal pemuncak dunia. Album keren lainnya besutan formasi ini adalah Piece of Mind (1983), Somewhere in Time (1986), Seventh Son of a Seventh Son (1988), dan Fear of the Dark (1992). Rilisan yang kurang meyakinkan dari formasi ini barangkali hanya No Prayer for the Dying (1990).

[caption id="attachment_399401" align="aligncenter" width="594" caption="Bruce Dickinson (foto: www.ironmaiden.com)"][/caption]

Formasi lain yang digawangi Dickinson, tapi minus McBrain, juga bertanggung jawab untuk meledakkan nama Maiden ke seluruh dunia dengan album superkeren, The Number of Beast (1983). Inilah album yang memuat nomor “Hallowed be Thy Name” yang dinobatkan sebagai lagu heavymetal terbesar sepanjang masa sekaligus lagu Maiden yang paling banyak dibawakan ulang, mulai oleh band macam Cradle of Filth hingga sekelas Dream Theater. Dan, fans Maiden mana yang tidak tergetar ketika Dickinson meneriakkan “Scream to me... scream to me...” pada bagian interlude menuju harmoni lagu ini—termasuk waktu mampir di Ancol tempo hari, aku saja sudah mau nangis mendengarnya. Ini semua bukti kebesaran Dickinson.

Tapi, tunggu dulu. Selain Dickinson, masih ada 2 vokalis lain yang dengan masing-masing Maiden menelurkan 2 album, yaitu Paul Di’Anno dan Blaze Bayley. Selain itu, sebenarnya ada 2 vokalis lain lagi yang sempat mengisi formasi Iron Maiden pada masa-masa awal berdirinya, yaitu Paul Day dan Dennis Wilcock. Namun, dua nama terakhir ini dapat diabaikan karena selain hanya mampir sebentar, tidak ada rekaman yang dihasilkan.

Jika ada yang menganggap Di’Anno dan Bayley kalah kelas dibandingkan Dickinson, aku kurang setuju.

Iron Maiden adalah Iron Maiden. Siapa pun vokalisnya tidak akan mengurangi kebesaran band yang satu ini. Aku lebih melihatnya bahwa masing-masing vokalis memberikan kontribusi tersendiri dalam perjalanan panjang Iron Maiden yang sudah terentang 40 tahun. Jika Dickinson mengisi lebih dari separuh periode karier Iron Maiden, bukan berarti 3 tahun bersama Di’Anno (1978-1981) dan 4 tahun bersama Bayley (1994-1999) sebagai periode yang kurang baik.

Peran Di’Anno jelas tak dapat digantikan, bahkan oleh Dickinson. Dialah vokalis pertama dan album debut self-titled Iron Maiden (1980) menampilkan suaranya. Album ini antara lain berisi “Iron Maiden”, anthem song yang menjadi momen keluarnya monster Eddie pada konser-konser Maiden. Lalu, jangan lupakan “Remember Tomorrow” yang merupakan kontribusi Di’Anno. Lagu ini sempat dibawakan ulang oleh dua band “The Big Four” alias dedengkotnya thrashmetal, Metallica dan Anthrax. Jelas bukan lagu sembarangan. Aku pribadi menjagokan “Phantom of the Opera” yang menurutku salah satu yang mencirikan lagu-lagu Maiden di kemudian hari.

Album Killers (1981) tak kalah sangar. Di album ini pun Di’Anno berkontribusi dan kontribusinya itu menjadi title track. Album ini pula yang memuat “Wrathchild”, lagu keren yang menurutku paling pas dibawakan Di’Anno. Meski masih dibawakan pada era Dickinson, menurutku karakter suaranya yang cenderung dalam dan operatik kurang pas dengan lagu ini.

Oh ya, berbeda dengan Motley Crue yang ketika Vince Neil comeback ogah membawakan lagu-lagu era John Corabi, sama halnya dengan David Lee Roth di Van Halen ogah membawakan lagu-lagu Sammy Hagar, di Iron Maiden hal itu tidak berlaku. Pasalnya, Iron Maiden lebih besar ketimbang salah satu vokalisnya—biarpun vokalis itu bernama Dickinson. Lagi pula, mana mungkin Dickinson tidak membawakan anthem song? Dari periode Di’Anno, nomor-nomor keren yang aku sebutkan tadi masih acap masuk dalam setlist konser Maiden.

[caption id="attachment_399402" align="aligncenter" width="300" caption="Paul Di (en.wikipedia.org)"]

14248690011058627224
14248690011058627224
[/caption]

Bagaimana dengan Bayley? Banyak yang bilang, masuknya Bayley adalah kekeliruan. Iron Maiden dianggap gagal pada periode ini. Oke, respons terhadap The X Factor (1995) dan Virtual XI (1998) mungkin tidak bisa dibandingkan dengan sukses komersial Powerslave atau kedahsyatan The Number of the Beast. Pada awalnya, aku juga sulit menerima kedua album ini. Tetapi, setelah berjarak sekian lama, aku mencari-cari lagi kedua album ini dan mulai dapat memberikan apresiasi yang lebih pantas. Kedua album ini tidaklah buruk. Malah, masing-masing memiliki kekuatannya tersendiri.

Masuknya Bayley memang menimbulkan kontroversi. Pasalnya, karakter suaranya sama sekali berbeda dengan Dickinson. Jangkauan vokalnya juga terbilang sempit sehingga wajar jika banyak fans yang meragukan dia membawakan nomor-nomor klasik Maiden bernada tinggi. Tak terlalu keliru memang. Simak saja bagaimana ia membawakan “The Trooper” pada salah satu video di Youtube: ancur minah!

Tapi, Bayley bukannya tidak berkontribusi. The X Factor yang nuansa kelamnya lebih kental dibandingkan album-album Maiden sebelumnya memuat lagu yang sangat Maiden yaitu “Sign of the Cross”. Jangan lupakan juga “Lord of the Flies” dan “Man on the Edge”. Yang terakhir ini merupakan kontribusi Bayley. Ketiga nomor ini masih acap dibawakan oleh Dickinson sekembalinya ia ke Maiden.

Virtual XI yang dirilis pada tahun penyelenggaraan Piala Dunia—sehingga dalam sampulnya ada foto-foto pesepakbola antara lain Paul Gascoigne, Patrick Viera, dan Faustino Asprilla—mungkin terdengar konyol. Simak misalnya “The Angel and the Gambler” yang pengulangan refreinnya sudah sampai pada taraf membosankan. Entah apa yang ada dalam pikiran para personil Maiden, tapi rata-rata lagu di album ini memang sangat repetitif. Entah kekurangan ide atau ingin menghipnotis pendengar, bagiku ini menjadi sisi minus album ini.

Namun, bukan Iron Maiden namanya kalau tidak ada nomor keren yang dihasilkan. Aku pribadi memilih “Como Estais Amigos” dan “Futureal” sebagai favorit. Dan, bukan kebetulan pula kedua lagu itu merupakan kontribusi Bayley. Sementara itu, “The Clansman” dan “The Educated Fool” merupakan dua nomor khas Maiden yang masih sering masuk setlist konser hingga kini.

Oke, kamu mungkin bertanya-tanya, setelah membaca sejauh ini, ada apa ujug-ujug menulis tentang vokalis Iron Maiden. Lagi-lagi podcast sontoloyo dari Talking Metal yang menjadi gara-gara. Pada edisi #502 yang sebenarnya sudah dirilis pada 4 November 2014 silam, ditampilkan wawancara dengan Di’Anno dan Bayley. Bagi host Mark Strigl, kedua orang ini tidak dapat dipisahkan dari Maiden. Dan, mungkin, kalau kau fans fanatik Iron Maiden, ingin tahu juga bagaimana nasib kedua orang ini.

Kalau Di’Anno, beberapa kali aku sempat browsing dan menemukan bahwa ia masih menggunakan sentuhan midas Maiden untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dan, memang tidak terlalu menarik juga menyimak wawancaranya. Selain itu, aku juga kesulitan menangkap ucapannya karena aksen Inggrisnya yang sangat kental.

[caption id="attachment_399403" align="aligncenter" width="300" caption="Blaze Bayley (foto: Wikipedia)"]

1424869065348760276
1424869065348760276
[/caption]

Yang membuat surprise adalah bagian wawancara dengan Bayley. Karena dulu aku termasuk yang tidak suka Bayley menggantikan Dickinson (mungkin lebih pas katakanlah kalau Geoff Tate yang masuk, atau mungkin Michail Kiske???), aku tidak peduli apa yang terjadi dengan dia kemudian. Ternyata, seperti diceritakan Bayley, Maiden mendapat tekanan untuk berbuat sesuatu setelah 2 album bersamanya dianggap gagal. Yang bikin miris, ternyata Bayley sudah mulai berpikir untuk album ketiga bersama Maiden ketika tiba-tiba ia dipecat.

“Siapa pun pasti kecewa... masa depanmu seakan-akan dirampas...,” begitu kata Bayley. Dari nada bicaranya, aku masih bisa merasakan kegetiran yang ia alami pada lebih dari 15 tahun silam tersebut. Yang aku tidak tahu, lagu-lagu yang sudah dipersiapkan Bayley kemudian dituangkan pada album solonya, Silicon Messiah, yang celakanya dirilis pada pekan yang sama dengan keluarnya Brave New World (2000). Inilah album yang membuat semua fans Maiden tersenyum lebar. Selain memang memuat sejumlah nomor yang oke punya, album ini menandai comeback Smith dan Dickinson, dua anggota dari line up classic Maiden. Sebagai bonus, Janick Gers masih bertahan sehingga sejak itu Maiden memiliki tiga gitaris. Kabar itu terlalu menggembirakan, sehingga tak ada yang peduli dengan seorang loser bernama Bayley.

Pada bagian ini, Bayley sangat getir. Ia bercerita, tidak ada yang memedulikannya. Bahkan, labelnya juga tidak memberikan kesempatan padanya untuk tur mempromosikan album ini. “Saya dianggap tidak punya nilai apa-apa,” tuturnya. Ck ck ck...

Sejujurnya, baru sekarang aku mendengar judul album Silicon Messiah. Aku langsung mencarinya di Youtube dan mendengarkan dua nomor, yaitu title tracknya dan “The Brave”. Sama sekali tidak buruk. Bahkan, “The Brave” menurutku cukup kuat. Meski tidak memiliki karakter Maiden, nomor ini jelas lagu heavymetal yang solid. Yeah, sayang sekali tidak ada yang mendengarkannya.

Bagian lain yang sangat menyentuh menurutku ketika Bayley berujar, dia bukanlah rock star, dia tidak menginginkan konser-konser kelas stadium. Bahkan, ia memilih tempat-tempat yang lebih kecil, di mana dia bisa menyapa penonton dan berinteraksi langsung dengan mereka. Aku tidak tahu, apakah ini cuma cerminan ketidakmampuan, atau memang dia begitu rendah hati. Tapi, nada suaranya mengesankan ia cukup jujur dan terbuka. Meski kecewa, dia menganggap apa yang ia alami sebagai hal yang wajar. Aku senang mendengar bahwa Bayley berpendapat belantika musik metal memang harus memiliki band seperti Maiden, meski tanpa dia di dalamnya. Yang jelas, Bayley sendiir tidak berhenti berkarya. Seperti dijelaskan Strigl, ia konsisten mengeluarkan album baru setiap 2-3 tahun hingga 2013. Sekarang pun dia lagi menggarap album baru. Semuanya diproduksi sendiri. Ya, Bayley bukan lagi siapa-siapa di belantika musik metal sejak ia keluar dari Maiden.

Wuah, lumayan panjang ya ceritanya? Bagi fans fanatik Maiden, kalau penasaran, cari saja podcast Talking Metal yang aku maksud. Oya, kalau berminat, silakan mencicipi karya Bayley pascakeluar dari Maiden. Up the irons...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun