Mohon tunggu...
Mahameru Sdw
Mahameru Sdw Mohon Tunggu... Penulis - Cicurug, Sukabumi

Umur 20 tahun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengkritisi Realitas, Pendidikan yang Mahal, dan Memedomani Perjuangan Nabi

24 Agustus 2022   00:44 Diperbarui: 24 Agustus 2022   02:02 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 3
Fatalisme dan determinisme

"Fatalisme" adalah suatu pemahaman yang mengakui adanya otoritas mutlak atas aktivitas yang dilakukan manusia, bentuk proposisinya tidak jauh seperti kalimat berikut, "manusia tidak mempunyai kendali atas nasibnya, sehingga upaya apapun yang dilakukan untuk merubah nasib menjadi percuma", "segala macam aktivitas yang kita lakukan telah di atur oleh suatu entitas" begitulah kira paham fatalisme jika dirangkum dalam suatu kalimat.

Kemutlakan takdir dalam beberapa hal memang tidak bisa 'tuk tidak dipungkiri keberadaannya, seperti takdir yang membuat manusia bertempat di muka bumi, hukum-hukum alam yang sudah ada dari dulu (contoh: gravitasi), takdir hidup menjadi manusia, dll hal inilah yang disebut sebagai "determinisme".

Apa dampak yang bisa terjadi jika kita berkutat secara keras pada "fatalisme" dalam memandang segala aspek kehidupan?, bayangkan jika kita hidup disuatu negara yang kerap rutin  melahirkan berbagai macam aturan yang malah menindas, kita ambil contoh pada masa indonesia masih mengalami keterjajahan oleh bangsa Belanda, orang fatalis pasti akan pasrah dalam ketertindasannya daripada melakukan ikhtiar yang menuju pada pembebasan. Dengan paradigma "fatalisme" semacam ini maka kemungkinan besar kita memberi peluang orang lain untuk menindas kita, bahkan kita malah memperlanggeng bentuk "penindasan" dengan berucap, "udah tenang aja dunia ini ada yang ngatur, kita tinggal pasrah saja" jika waktu itu semua penduduk Indonesia serempak meyakini kalimat tersebut, saya kira wujud "kemerdekaan" dari penjajah tidak akan pernah hinggap dikepala mereka.

Tuhan dan Ikhtiar (Sebagai Penutup)

Sebagai manusia yang beragama sudah pasti kita mengamini bentuk kekuasaan yang dimiliki oleh tuhan, "jika tuhan berkehendak, apapun bisa terjadi" kalimat ini sudah pasti kita yakini kebenarannya, namun, menurut saya jika kita terlalu berpasrah total sehingga meniadakan ikhtiar yang disertai dengan analisis material terlebih dahulu dalam memahami suatu fenomena, jatohnya kita malah bukan menjadi manusia yang baik menurut tuhan, melainkan kita malah "membabukan" tuhan dengan kemalasan kita sendiri.

Muhammad SAW sebagai nabi dari kalangan umat Islam pun melakukan ikhtiar materialisme, beliau memerdekakan Bilal bin Rabah dari belenggu perbudakan dan rasisme, berperang demi kemerdekaan keyakinan, dll. Jikalau memang determinisme menjadi mutlak total, maka, Rasulullah yang diagadang-gadang sebagai kekasih Allah hanya perlu berpangku tangan sepenuhnya pada Tuhan tanpa melakukan aktivitas perjuangannya.

Penutup

Sudahkan kita mempertanyakan Realitas kita?. Kalau belum, silahkan dicoba. Siapa tahu, dari fenomena yang selama ini telah kamu normalisasi ternyata mempunyai semacam keterselubungan dengan penindasan dibelakangnya.

Ayo! mari kita berefleksi! untuk setidaknya bisa menjadi saksi, lebih hebat lagi menjadi inisiasi aksi!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun