Mohon tunggu...
Mahameru
Mahameru Mohon Tunggu... Lainnya - -

Mahasiswa Antropologi

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ke Mana Perginya Sepak Bola Indonesia?

3 November 2020   16:09 Diperbarui: 4 November 2020   09:37 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Liga-liga di benua Eropa saat ini sudah menggelar masing-masing kompetisinya di setiap negara setelah sempat berhenti cukup lama akibat pandemi yang terjadi saat ini. Liga Inggris, liga Italia, liga Spanyol, liga Jerman dan liga Prancis yang merupakan 5 top liga di Eropa sudah aktif kembali dan bahkan sudah memasuki beberapa pekan.

Beberapa laga besar seperti El Clasico yang mempertemukan Barcelona dan Real Madrid atau Derby Della Madonina yang mempertemukan Inter Milan dan AC Milan juga sudah digelar. 

Ada hal kurang memang dari gelaran sepak bola Eropa musim ini, yaitu tidak adanya penonton di bangku stadion dari masing-masing klub.

Sejak liga bergulir kembali pertengahan bulan Juni yang lalu, FIFA dan UEFA selaku lembaga yang mengatur sepak bola melarang ada penonton di stadion agar mengikuti protokol yang berlaku. 

Kita bisa mendengar suara orang-orang yang ada di stadion dengan sangat jelas, mulai dari pemain, pelatih, asisten pelatih, wasit, bahkan hingga ball boy pun ikut terdengar suaranya.

Namun setelah musim baru 2020/2021 dimulai, UEFA memberikan kelonggaran bagi klub bahwa diperbolehkan untuk adanya penonton di stadion, namun hanya dengan kuota 30% saja dari kapasitas stadion. 

Sepak bola di Eropa bukan hanya masalah olahraga saja, namun industri didalamnya adalah hal penting yang perlu diperhatikan.

Maka dari itu mengapa liga-liga Eropa masih berani menggelar kompetisi di tengah pandemi yang masih tidak memiliki kejelasan karena adanya tuntutan industrial. Mulai dari kontrak dengan sponsor, transfer pemain, gaji pemain, dan lain sebagainya. 

Memang agak terlalu jauh jika bandingkan sepak bola Eropa dengan Indonesia, dari segi industri atau olahraga murninya sudah terlihat perbedaannya. Tetapi ada hal penting yang perlu dipertanyakan, ke mana perginya sepak bola Indonesia?

Liga-liga di kawasan negara Asia Tenggara sudah mulai bergulir, hanya Indonesia dan Brunei saja yang belum menggelar kompetisi mereka.

Menurut portal berita Bola Sport dalam berita mereka berjudul "Negara Asia Heran Mengapa Indonesia Tak Gelar Kompetisi Sepak Bola", menjelaskan bahwa alasan tidak gelarnya Liga Shopee 2020 adalah karena tidak didapatnya izin keramaian dari pihak Polri. 

Mereka takut kalau nanti angka Covid-19 di Indonesia ini semakin tinggi jika diselenggarakan tahun ini. Awal rencana PSSI menjalakan kembali kompetisi adalah tanggal 1 Oktober, dan akhirnya mundur pada tanggal 1 November.

Namun rencana ini masih tidak jelas, bahkan bisa jadi Liga Shopee 2020 dijalankan pada awal tahun 2021. Negara tetangga kita, Thailand sudah menjalankan liga mereka bahkan dengan adanya penonton yang tentu dibatasi kuotanya. 

Negara Malaysia juga sudah menggelar kompetisinya dengan tanpa penonton. Beberapa waktu yang lalu, isu tidak digelarnya liga Indonesia pada tahun ini sempat menjadi bahan cibiran masyarakat Twitter. Banyak yang menganggap bahwa PSSI tidak becus, lalu pihak Polri terlalu melebaykan masalah perizinan, dan banyak lagi. 

Lantas, dengan permasalahan pelik seperti itu, mengapa pihak PSSI sendiri tidak menerapkan sistem yang digunakan oleh liga-liga di Eropa atau yang paling dekat liga-liga negara tetangganya yang tidak memperbolehkan adanya penonton?

Ada 2 hal yang menjadi opini penulis disini tentang tidak jelasnya liga Indonesia saat ini. Pertama adalah penanganan kasus Covid-19 di Indonesia.

Jika alasannya adalah Covid-19, maka kita perlu kembali melihat bagaimana penanganan Covid di negara tercinta kita ini. Kita tahu beberapa waktu yang lalu Indonesia di hantam oleh kenaikan pasien Covid 19 yang bahkan pernah 1 hari mengalami 1000 kasus positif Covid 19. 

Karena hal itu, Jakarta sampai harus melakukan PSBB kembali pada awal Oktober lalu. Masyarakat kita mungkin sudah melek informasi, tentang bagaimana cara mengenali gejala Covid dan bagaimana cara mencegahnya. Namun yang dibingungkan adalah bagaimana cara ketika mereka terdampak?.

Salah satu hal yang menarik dijelaskan oleh Ahli epidemologi UGM Bayu Staria Wiratama dalam wawancara di sebuah acara di Kompas TV.

Menurutnya penanganan Covid di Indonesia kurang berhasil karena negara ini sempat meremehkan tentang masalah Covid-19 yang akhirnya pesan tentang menjaga kesehatan untuk menghindari Covid terlambat. 

Lalu ketidak berhasilan pemerintah pusat dalam meningkatkan testing, isolasi, dan contact tracing menjadi alasan mengapa kurang berhasilnya penanganan Covid 19. Kembali lagi ke masalah sepak bola, dari hal tersebutlah yang ditakutkan oleh negara dan pemerintah jika sepak bola kembali digelar. 

Pemerintah selalu mengabarkan bahwa penanganan Covid di Indonesia jauh lebih baik dari negara-negara lain, namun disisi lain mereka masih tidak berani memberikan izin untuk acara yang bahkan tidak sampai dihadiri 50 orang. 

Ketakutan-ketakutan tersebut itu secara tidak langsung menjelaskan bahwa penanganan Covid di negara ini bisa dibilang kurang.

Jika di Eropa ada pemain yang positif Covid-19 mereka bakal biasa saja dan bahkan sampai bosan seperti Cristiano Ronaldo yang sudah dites 3 kali namun tetap saja positif, hal itu karena masing-masing negara mereka sudah mempunyai penanganan yang terkendali.

Lalu yang kedua adalah kurang pentingnya industri sepak bola Indonesia. Kita tahu sendiri memang jika dibandingkan dengan liga Eropa, industri disini tidak sehidup ataupun se-kapitalis liga-liga Eropa. Namun yang perlu digaris bawahi adalah industri sepak bola Indonesia itu memang carut marut. 

Contoh paling sederhana adalah masalah kaos sponsor. Kita bisa melihat jersey dari Persib Bandung, Arema, bahkan Bali United yang bisa dikatakan paling maju untuk urusan industri ketimbang klub-klub lain. Pada jersey mereka terpampang banyak sekali sponsorship. Inilah yang dikatakan sebelumnya bahwa industri sepak bola Indonesia memang tidak terlalu penting. 

Contoh jersey bola tersebut merupakan contoh bahwa tidak adanya kepercayaan sebuah perusahaan untuk mensponsori sebuah klub secara mandiri, atau sistemnya yang memang perlu dikritisi. Namun ada beberapa klub yang memang hanya memasang 1 sponsor utama dalam jersey mereka seperti Persebaya Surabaya dan Persipura. 

Lalu masalah lain mengapa industri sepak bola ini tidak penting karena reputasi dari PSSI sebagai pengelola liga dan Timnas sendiri pun buruk. 

Setiap tahun, bahkan ketika dunia sedang baik-baik saja liga Indonesia selalu tidak tepat waktu, alasan retoris karena tidak mendapatkan izin Polri.

Ini menandakan bahwa sistem dalam PSSI harus ada hal yang dibenahi, agar Industri sepak bola ini juga meningkat ketika sistem PSSI jelas sehingga menarik banyak kerja sama antara sponsorship.

Selain itu, buruknya pengelolaan Timnas oleh PSSI juga menjadikan industri sepak bola dimata dunia ini buruk. Jika kita ibaratkan, timnas ini seperti mata uang.

Jika kondisi negara membaik mulai dari komoditi yang mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, lalu kesejahteraan rakyat yang seimbang, dan penggunaan mata uang Rupiah naik, maka nilai rupiah juga akan naik, bahkan hal-hal lain pun juga akan naik karena mengikuti nilai mata uang tersebut. Timnas juga seperti itu. 

Dunia akan memandangkan sepak bola sebuah negara bukan dari liga atau klubnya, namun dari bagaimana reputasi timnasnya dari negara tersebut.

Jika reputasi Timnas suatu negara baik, maka akan peningkatan nilai di dalamnya. Mulai dari nilai pemain, peringkat timnas sendiri, dan bahkan sampai ke masalah industri liga itu sendiri. 

Sebelum menaikkan reputasi timnas, harus lebih dulu memperbaiki sistem dalam asosiasi sepak bola yang ada di suatu negara.

Barulah pada akhirnya bisa membentuk sebuah liga yang baik dan sehat, itu akan berdampak nanti bagaimana bentuk timnas yang dinginkan seperti apa tergantung dari liga yang berjalan. 

PSSI selalu menjadi kambing hitam masyarakat pencinta sepak bola ketika terjadi suatu permasalahan dalam liga Indonesia. Tapi kenyataannya memang PSSI sangat bermasalah mulai dari segala lini mulai dari pengaturan liga dan bahkan sampai pengaturan Industri sepak bola.

Penulis sangat yakin, jika liga Indonesia memiliki industri yang baik dan sehat yang bisa memberikan kepentingan bagi beberapa orang, maka izin sepak bola di tengah pandemi seperti ini pasti akan bisa dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun