Mohon tunggu...
Putri
Putri Mohon Tunggu... -

Silence is golden............ (sometimes)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nduk Ayu

25 September 2014   04:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:37 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia selalu memanggilku Nduk Ayu yang pada awalnya aku tak tahu apa artinya tapi terdengar merdu di telingaku. “Kau sudah kehilangan Jawamu,” ucapnya dalam senyum teduh tanpa bermaksud meremehkanku. Lalu aku mencoba bercermin dan aku membenarkan ucapannya.

Aku seutuhnya pantulan wajah Mama. Kulit sawo matangku, mata lebarku, hidung pesekku, senyumku, bahkan gigiku yang sebetulnya akan terlihat jauh lebih indah kalau saja aku mau pakai kawat gigi. Mau menurut ketika disuruh pakai kawat gigi? Ah! Kukira itu akan jadi masa-masa kekalahanku yang bisa saja berlanjut dengan deretan kekalahan yang lain.

Sisi liarku selalu tertunduk pada suara lembutnya ketika memanggilku Nduk Ayu. Aku tak tahu kenapa tapi seolah ada aliran yang sejuk dan menenangkan merasuk ke dalam hatiku ketika dua kata itu terucap jadi satu gema yang memenuhi seluruh relung hatiku.

Mata apiku padam perlahan dan bara yang memerah dalam hatiku menyisakan desisan dingin yang terasa menyiksa. Lalu aku tenggelam dalam samudera kasih putih yang terlampau dalam untuk kujejakkan kakiku di dasarnya. Menyembuhkan siksaan itu pelan-pelan hingga hampir tak berasa lagi.

Begitu saja aku menghamba pada setiap panggilannya padaku. Nduk Ayu. Putri yang cantik. Aku kecanduan. Aku ketagihan. Aku seolah sakaw ketika pada waktunya dia terdiam tak mampu membisikkan walau hanya sepatah kata Nduk. Dan aku akan menungguinya dengan sabar hingga dia pelan-pelan pulih dan Nduk Ayu itu menggema lagi pada setiap jejak detik yang aku inginkan.

Pada saatnya aku harus menjauh maka hatiku yang tersiksa karena tak lagi bisa kudengar dua kata itu melalui telingaku pada waktu yang kumau. Hanya tertinggal gemanya dalam lorong hatiku yang tak berkesudahan. Membuatku terkapar dihajar nyeri yang lama-lama kian tawar dan membiarkanku bisa bangkit lagi.

Ketika sehari jadi seminggu, seminggu jadi dua minggu, dua minggu jadi tiga minggu, maka aku tak lagi tahan dan segera berlari menjumpainya. Sekedar membiarkan telingaku menangkap sekian kali Nduk Ayu itu terucap, merekamnya dalam hati, dan memutar rekaman itu berkali-kali saat aku harus menjauh kembali.

Kuharap dia tahu keinginanku untuk jadi Nduk Ayu-nya seumur hidupku tanpa jeda. Walaupun bila ada nenek sihir iseng mengutukku jadi liliput selamanya tak mengapa asal Nduk Ayu itu tetap terucap lembut buatku.

Segenap harapan yang tersimpan rapi maupun yang sudah terbuka lebar di hati dan hidupku semoga jadi bahan bakar buatnya untuk terus bertahan dalam setiap nyeri yang terkadang muncul menghajarnya tanpa permisi. Karena aku ingin Nduk Ayu itu tetap menggema dalam tiap jejak waktu yang terus berputar berlalu. Hingga kelak hidupku makin menepi dan merayap menuju keabadian dengan gema suaranya memanggil Nduk Ayu tetap menjadi milikku selamanya.

(CL.21:27.24.09.2014.PPMDS.Nduk Ayu.Hopes ‘n Dreams)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun