Tetiba melihat kehadiran boneka perempuan berkostum dedaunan. Berayun di tangkai-tangkai kering, malam hari, di halaman gedung buatan portugis bekas gereja pertama di Sulsel di tengah komplek bangunan lawas abad XVI Benteng Fort Rotterdam Makassar. Banyak orang terkejut. Bahkan ada yang takut.
Ada yang mengira boneka itu penampakan Jalangkung, alat bantu permainan mistis memanggil setan dalam cerita-cerita kehidupan masa lalu. Namun  ada juga penyaksi usia setengah abad, mengaku tidak takut.
"Melihat di samping ayunan boneka itu ada penampakan boneka lainnya di atas kotak, justeru pikiran saya langsung mundur ke masa remaja, saat kotak Baco Puraga masih ada di THR -- Taman Hiburan Rakyat, Jalan Kerung-kerung kota Makassar," katanya.
Berbagai perasaan maupun penafsiran muncul dari para pengunjung Benteng Fort Rotterdam menyaksikan kehadiran boneka wanita berkepala lilitan benang sejak 16 hingga 22 Nopember 2021, siang dan malam hari, wajar saja.Â
Lantaran minimnya informasi, termasuk tak ada satu pun spanduk dan baliho mengabarkan bahwa di dalam komplek benteng peninggalan masa Kerajaan Gowa seluas lebih 21.000 meter persegi tersebut selama kurun waktu seminggu berlangsung pameran Seni Instalasi dengan tema "Leang-leang Spirit, Melampaui Rupa Memaknai Sejarah."
Penampakan boneka melahirkan multitafsir, itulah salah satu konten pameran Seni Instalasi dari 10 karya seniman di kota Makassar.Â
Masing-masing terdiri atas karya 8 seniman perupa (Amrullah Syam, Haroen P Mas'ud, Achmad Fauzi, Budi Haryawan, Ahmad Anzul, Jenry Pasassan, Faizal Syarif, dan Muhammad Suyudi), 1 fotografer (Goenawan Monoharto), Â dan 1 karya komunitas perupa (Komunitas Rempa).
Untuk memahami karya seni apapun alirannya, termasuk Seni Instalasi, paling pas jika mendapat penjelasan langsung dari seniman penciptanya. Kesan horor yang merasuki pikiran banyak penyaksi boneka berbaju dedaunan tua, justeru bermakna sebaliknya. Merupakan perwujudan dari kenangan indah pemilik karya saat kali pertama, sekitar 3 bulan lalu, berkunjung ke kawasan gua-gua Prasejarah Leang-Leang di kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
"Ide karya Seni Instalasi ini, membayangkan bagaimana masa anak-anak bertumbuh di kawasan Leang-leang ribuan tahun lalu. Hidup dalam alam gua-gua batu, tumbuh besar di lingkungan bukit karst," jelas Nurikayani, perempuan yang akrab dipanggil dengan nama Kika oleh kerabatnya.
Dia adalah salah satu dari anggota komunitas perupa Rempa yang membawa khayalannya dari kawasan Leang-leang untuk mewujudkan dalam bentuk karya Seni Instalasi.Â
Dibuatlah sosok boneka mengenakan kostum alami bermain berayun di pepohonan, dan membentuk instalasi berupa sebuah bangunan hunian modern beton bertingkat juga berpenghuni sosok boneka modern.
Karya Seni Instalasi dibuat Kika dan kawan-kawan, seperti judulnya 'Memory', seolah ingin membangun kesadaran betapa kehidupan peradaban manusia yang sudah begitu maju saat ini.Â
Perjalanan panjang generasi ke generasi sambung menyambung membuat alur kehidupan terus berjalan mengikuti tuntutan perkembangan masanya.
''Fokus terkuat karya instalasi Memory ini, membayangkan kehidupan anak-anak dengan keceriannya bermain di lingkungan bukit-bukit karst yang alami ribuan tahun lalu, " katanya.
Latar pelaksanaan Pameran Seni Instalasi 2021 di Benteng Fort Rotterdam Makasasar yang disponsori Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menekankan penghayatan dari Spirit Leang-leang.Â
Kawasan gua-gua perasejarah di kabupaten Maros yang ditengarai telah menjadi kawasan pemukiman koloni manusia sejak sekitar 8.000 tahun lalu.
Penemuan kerangka manusia di Leang (gua) Jarie karst Simbang Maros menguatkan adanya kehidupan prasejarah. Sample Molusca menunjukkan usia temuan tulang 7.950 tahun.Â
Bahkan jauh sebelumnya para ilmuwan peneliti telah menemukan lukisan babi rusa, panah, dan lukisan telapak-telapak tangan manusia di dinding gua-gua Taman Prasejarah Leang-leang yang berusia lebih dari 45.000 tahun. Hitungan dilakukan menggunakan teknik hitung penanggalan isotop uranium menghitung usia deposit.
Lepas dari itu semua, seniman foto Goenawan Monoharto justeru menangkap pesan gambar-gambar telapak tangan di dinding gua-gua karst Maros sarat makna.
Temuan gambar telapak tangan merah yang ada di Leang Tedongnge  Maros awalnya dimaknai sebagai simbol penolak bala. Bagi Gun, panggilan akrab Gunawan Monoharto yang sejak tahun 80-an aktif dalam profesi potret memotret di kota Makassar, memaknai lukisan-lukisan telapak tangan di kawasan gua-gua karts Leang-leang sebagai simbol semangat hidup dalam koloni manusia sejak dulu berkobar untuk mempertahankan sekaligus selalu bercita membangun kehidupan peradaban yang lebih maju jauh ke depan.
Sebanyak 78 gambar dan foto telapak tangan yang dihadirkan Gun dengan karya Seni Instalasinya diberi judul ''To (Manusia), Aku Ada sebab Kau Berkata,'' terasa mengena.
Gambar dan foto telapak tangan dipajang berlapis kain sutera putih mengelilingi bilik berdinding ijuk, bukan telapak tangan homogen melambai bermakna mengajak, menyeru atau sebagai simbol keriangan seperti gambar-gambar telapak tangan di gua-gua prasejarah Leang-leang. Atau seperti acungan telapak tangan terbuka dalam tari mistis Kecak-kecak di Bali.
Ada gambar serta foto telapak tangan disaji terbuka menengadah seolah berdoa atau meminta, ada yang menelungkup seakan hendak memberi, mengapit berterimah kasih, dan banyak telapak menunjukkan bahasa gerak telapak berjari penuh keriangan. Â Â
"Begitulah To. Manusia dengan segala gerak tangannya dalam meniti kehidupan ini,'' tandas  Gun saat dijumpai depan karya Seni Instalasinya.
Para penyaksi diagungkan dengan altar karpet merah untuk menikmati menghayati di balik bilik rangkaian benda Seni Instalasi berjudul To karya Goenawan Monoharto.
Pemimpin Redakasi Majalah Macca, majalah seni, budaya dan pendidikan di kota Makassar ini agak terkejut ketika disampaikan.
Bahwa elemen dinding ijuk yang digunakan untuk rangkaian karya Seni Instalasinya tersebut merupakan benda alami yang digunakan nenek moyang tempo dulu guna menghalau reftil berbisa sebangsa ular, serta bertuah menangkal petir.
"Pantas hanya karya saya yang tak diseruduk angin tatkala ada hujan bermuatan angin di lapangan pameran benteng Fort Rotterdam,'' katanya, kemudian ngakak.
Delapan karya Seni Instalasi lainnya yang ditampilkan selama seminggu di taman-taman terbuka dalam benteng Fort Rotterdam semua ditampilkan dengan tema Leang-leang Spirit.
Leang-leang di Maros telah menjadi bukti sejarah peradaban, bahwa gambar lebih dahulu akrab dalam alam kehidupan manusia dibanding aksara.Â
Sebuah gambar dapat melahirkan seribu makna. 10 karya Seni Instalasi yang barusan digelar para seniman kota Makassar di benteng Fort Rotterdam melahirkan banyak intrepretasi dari para penyaksi apabila tanpa ada dialog langsung dengan pemilik karya.
Lihat misal, karya Ahmad Fauzi yang diberi judul Playing to the Moon. Seperti bentuk gerbang beranyam mozaik pelaminan-pelaminan pengantin adat di Sulawesi Selatan.Â
Apa kaitan dengan 'Leang-leang Spirit' yang kuat mengabarkan keperkasaan kehidupan manusia purba di gua-gua bukit karst. Penjelasan langsung dari Ahmad Fauzi yang akan membuat semua paham makna seseungguhnya dari karya instalasinya tersebut.
Faisal Syarif menampilkan 65 tiang mengelilingi tanaman hias. Setiap tiang terdapat semacam batu menggandol seukuran besaran bola tenis dan bola pingpong.Â
Beberapa penyaksi karya Seni Instalasi menyebut seenaknnya sebagai Sate Batu. Pada hal yang empunya karya memberi judul Ricilance. Memandangnya 'Sate Batu' itu ada nuansa khayal semacam bentukan batu-batu stalaktif dan stalagmit akibat pengendapan kalsium di gua-gua purba.
Tujuh peti kotak bermuatan pohon terbuat dari tempelen bermacam bekas bungkus makanan kemasan ditampilkan sebagai karya Seni Instalasi oleh Jenry Pasassan berjudul Penjaga.Â
Menjadi sarat makna lantaran terpajang berhimpit sejumlah Pohon Lontar, jenis palm purba yang menjadi ciri tanaman hias komplek benteng Fort Rotterdam.
Karya Haroen diberi judul Transformasi menggunakan dacron membentuk alat tradisional musik gesek Keso-keso dalam bingkai berbentuk kotak handphone.
Lantas Budi Haryawan menghadirkan 5 kelompok Menhir. Semacam reflika tugu-tugu batu tegak tempat pemujaan penghormatan roh dilakukan para leluhur di sejumlah tempat di Indonesia. Akan tetapi judulnya terasa agak kontras: Â Jalan Menuju Kepunahan. Â
Menhir, ya, kini hanya jadi catatan dan bukti tinggalan tradisi megalitik tua zaman Neolithikum antara 2500 -- 1500 SM.
Gerbang, gentong kuno dan hamparan kain putih dirangkai oleh Muhammad Suyudi menjadi satu karya Seni Instalasi yang diberi judul Muasal. Ahmad Anzul menampilkan bubu raksasa, alat penangkap ikan nelayan tradisional dibuat dari  anyaman bambu diberi judul Home.
Sebuah konstruksi kursi setinggi 7 meter ditampilkan Amrullah Syam. Menjadi tanda tanya banyak penyaksi:: Siapa yang akan duduk di atasnya? Pastinya, karya Seni Instalasi yang satu ini dapat dicatat dalam Museum Rekor Indonesia (MuRI) sebagai kursi tertinggi di Indonesia.
Ada manis-manisnya menyaksikan 10 karya Seni Instalasi 2021 sembari menyaksikan puncak gedung-gedung perkantoran dan perhotelan, crane, dan tiang-tiang berjenis antena yang mencuat di luar komplek benteng Fort Rotterdam tempat pameran berlansung. Benteng peninggalan Kerajaan Gowa abad XVI, properti lawas yang hingga kini masih utuh di kota Makassar.
Pameran Seni Instalasi 2021, merupakan penyelenggaraan kali kedua setelah pameran Seni Rupa Instalasi Proyek Hati Nurani Indonesia X dilaksanakan di area Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat, kota Makassar, Â tahun 1991.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H