Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ini ‘Baca-baca’ Raja Gowa ke-37 Dapat Menghilang dari Pandangan Ratusan Satpol PP

21 Juni 2016   13:50 Diperbarui: 21 Juni 2016   14:11 2553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raja-raja dari Kerajaan Adat dan Kesultanan se-Nusantara hadir dalam prosesi penobatan Raja Gowa ke-37 di hotel Horison kota Makassar/Foto: Mahaji Noesa

Cerita tak terlihatnya I Maddusila bersama rombongan masuk ke Ballalompoa, bekas istana Kerajaan Gowa di tengah kota Sungguminasa, ibukota kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, yang dijaga ratusan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sabtu (28/5/2016) hingga kini masih menyimpan misteri.

‘’Setelah shalat hajat, saya berdoa bermohon kepada Allah jika memang saya berhak perkenankanlah saya dapat memasuki  Ballalompoa. Dan, Alhamdullillah, Tuhan memperkenankan saya bersama beberapa dewan hadat Kerajaan Gowa masuk Ballalompoa tanpa terlihat seorangpun dari ratusan petugas Satpol PP kabupaten Gowa yang ditugaskan untuk menghalangi kami masuk istana,’’ papar I Maddusila usai dinobatkan menjadi raja Kerajaan Adat Gowa ke-37 di Hotel Horison kota Makassar, Minggu (29/5/2016).

Menurutnya, dia masuk secara wajar dari jalan masuk istana Ballalompoa sejak sore hari (Sabtu, 28/5/2016-pen) dan melakukan kegiatan pelantikan raja dengan mengenakan  benda-benda regalia yang menjadi ketentuan adat untuk dikenakan sebagai syarat sahnya pelantikan seorang Raja Gowa. Berlangsung hingga malam hari, dan keluar istana  Ballalompoa tak ada seorang petugas pun yang menegurnya. Semua berlangsung lancar.

Berkali-kali I Maddusila, Sombayya ri Gowa (Raja di Gowa) terdengar mengucap syukur Alhamdulillah, tatkala menyinggung peristiwa tak tediteksi mereka masuk melakukan prosesi pelantikan raja di Istana Ballalompoa yang sejak beberapa hari dijaga ketat ratusan pertugas Satpol PP.

Kehadiran saya di upacara penobatan I Maddusila sebagai Raja Gowa ke 37 di Hotel Horison kota Makassar, bermula dari SMS ucapan selamat yang terkirim ke rekan Nuralim (Nur Terbit) juga salah seorang kompasianer domisili Jakarta, yang hari itu juga ikut dilantik sebagai Gallarang Sudiang. Dan, saya terkejut mendapat balasan SMS yang menyatakan upacara sedang berlangsung di Hotel Horison Makassar. Lho koq…di Hotel Horison, padahal informasi beredar sebelumnya pelantikan akan berlangsung di Ballalompoa, istana Kerajaan Gowa yang akan didahului pesta selama seminggu. Ada apa, dan apa adanya, saya lantas meluncur ke TKP. Hotel Horison semarak sedang menanti kehadiran Raja Gowa. Di pintu masuk berkali-kali terlihat pasukan pengawal adat Kerajaan Gowa menghunuskan badik Lompobattang sebagai tanda penghormatan. Menghormati kedatangan tamu dari kerajaan dan kesultanan se-Nusantara, maupun raja-raja adat serta permaisuri se-Sulawesi Selatan.

Tercatat hari itu, antara lain, hadir Raja Skala Brak dari Lampung, Brig Pol Edward Syah (mantan Kapolda Lampung), dan Raja Pakualaman IX Prabu Suryodilogo dari Yogyakarta. Juga hadir Raja Singapura Tengku Sawal, raja-raja dan sultan dari berbagai wilayah Nusantara, serta raja-raja kerajaan adat di Sulawesi Selatan.   

‘’Acara di Hotel Horison ini sebenarnya hanya simbolis disebut sebagai acara penobatan karena pelantikan raja resminya sudah dilakukan kemarin (28/5/2016-pen) di istana Ballalompoa dengan menggunakan benda-benda kerajaan,’’ jelas A Rifai, dewan adat tinggi harian Kerajaan Adat Gowa.

Hingga Raja  I Maddusila serta rombongan hari itu memasuki ruang pertemuan Hotel Horison, saya tidak sempat bertemu langsung dengan rekan Nuralim. Keriuhan suasana membuat sulit melakukan komunikasi terutama posisi masing-masing dalam ruang yang padat massa. Menariknya, sepulangnya ke Jakarta, Nuralim yang setelah dilantik mendapat gelar nama Nur Aliem Halvaima,SH,MH Daeng Tika, Karaeng Baso Balangpocci, Daenta Gallarang Sudiang, mengirim selembar hasil foto selvi yang latarnya juga merekam saya dan rekan Usamah Kadir, yang hanya berjarak tak lebih dua meter di belakang Nuralim.

Peristiwa itu kemudian saya plesetkan ke Nuralim bahwa dia juga sudah mendapat  warisan ‘baca-baca’ dari raja, sehingga meski dalam jarak dekat juga telah mampu tak tampak dalam pandangan. Hahahaaaa....

Saat I Maddusila dilantik sebagai Raja Gowa ke 37, bergelar I Maddusila Daeng Mannyonri Karaeng Katangka Sultan Alauddin II, Pemerintah Kabupaten Gowa sedang giat untuk menyusun sebuah Peraturan Daerah (Perda) tentang  Lembaga Adat Daerah (LAD). Kabarnya hingga kini masih dalam penggodokan untuk dibahas di DPRD. Salah satu konten rancangan Perda tersebut mendapat sorotan dan protes kalangan adat, karena hendak menetapkan gelar Raja Gowa kepada setiap Bupati Gowa yang terpilih, siapapun orangnya. Pelarangan penggunaan istana Ballalompoa sebagai tempat pelantikan I Maddusila sebagai Raja Gowa ke-37,  banyak pihak menengarai ada kaitan penolakan yang dilakukan terhadap rancangan Perda tersebut. Pemkab Gowa pun menyatakan tidak mengakui penobatan I Maddusila sebagai Raja Gowa ke 37.

‘’Kami ini pewaris adat Kerajaan Gowa. Buktinya, sejak lama kami yang diserahkan memegang kunci tempat benda-benda pusaka kerajaan yang ada di istana Ballalompoa. Tapi lucu karena Pemkab Gowa melarang kami masuk melakukan kegiatan di istana kerajaan,’’ papar I Maddusila  di hadapan tamu raja-raja dari kerajaan adat dan kesultanan se-Nusantara yang secara tegas telah mengakui keabsahan penobatan I Maddusila sebagai raja di Kerajaan Adat Gowa. Diperkuat dengan penyematan Pin Mahaputra Kerajaan Tingkat I oleh Raja Pakualaman IX, sebagai tanda sahnya I Maddusila sebagai Raja Gowa ke-37. 

Ingatan sejumlah catatan berkaitan penobatan dan cerita lenyapnya Raja Gowa dari pandangan massa yang mirip dengan dongeng lawas tentang dunia sihir tersebut, menyembul kembali saat terlibat bincang lepas tentang sisi lain mengenai ayat-ayat Quran bersama sejumlah jamaah, ba’da dhuhur  medio Ramadan 1437 H di serambi selatan mesjid raya kota Makassar.

Perbincangan dimulai setelah masing-masing selesai membaca Quran. ‘’Ayat Quran ini yang dibaca Pak Maddusila sehingga ia lolos masuk komplek Ballalompoa dan tidak dilihat ratusan petugas yang berjaga di sekelilingnya,’’ ujar Amir (35). Lelaki yang ngaku bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan swasta tersebut, kemudian secara serius menunjuk dan melafazkan ayatnya, lalu menjelaskan artinya secara lancar, mengesankan sudah lama dihafalnya.

Dua orang bapak duduk santai melonjorkan kaki di lantai marmer yang dingin awalnya hanya terlihat manggut-manggut,  termasuk saya. Lagi pula mendengar paparan terjemahan ayat dalam bahasa Indonesia, amat meyakinkan. Memori saya pun mengenang kembali sejumlah pesan yang pernah disampaikan  para penceramah dari mimbar mesjid. Bahwa banyak ayat Quran itu merupakan doa yang wajib di-amin-kan setelah membaca atau setelah mendengarkan dibaca. Termasuk, penjelasan menyangkut ayat Quran yang dijadikan sebagai lafaz doa, akan sangat maqbul karena merupakan Firman Allah SWT.

Perbincangan menjadi hangat, saat kedua bapak berusia setengah baya, masing-masing juga mengungkap ayat yang sering diamalkan dijadikan doa untuk sabar mengatasi problem hidup. ‘’Alhamdulillah, beberapa kali bacaan ayat Quran yaitu Summum Bukmum Umyum Fahum saya ucapkan ketika menghadapi orang marah, orang mengamuk,  dan ketika melintasi daerah yang dianggap sarang penjahat, semua bisa reda dan dapat terlewati tanpa gangguan,’’ ungkap salah seorang.

Baca-baca ini, katanya, sejak kecil diajarkan oleh ayahnya dan dipesankan terutama dibaca untuk meredakan orang marah atau untuk meloloskan diri dari peristiwa amukan atau penghadangan, tanpa ada yang melihat atau menegur. ‘’Baca-baca ini kan kalau dibaca mulut selalu tertutup,’’ katanya. Doa atau mantra-mantra dalam bahasa Bugis-Makassar disebut Baca-baca.

Rekannya menyatakan baca-baca tersebut juga pernah diajarkan orang tuanya, tapi disarankan dibaca khusus untuk agar tidak digigit binatang berbisa. Termasuk agar tidak digigit anjing gila, atau agar selamat menyeberang sungai atau rawa yang banyak buaya maupun ular berbisanya.

‘’Saya juga pernah diajarkan baca-baca ayat Quran yang semua garis tanda bacanya berada di atas. Katanya, sangat baik dibaca dapat melunakkan setiap kejahatan yang timbul dari hati manusia. Tapi saya sudah lupa, tidak hapal mi itu ayatnya,’’ jelas si bapak.

Perbincangan berlangsung cukup hangat hingga mamasuki waktu ashar. Sepulangnya, saya yang cuma penggembira dan pendengar lalu menyimak tafsir ayat Quran yang diduga kuat oleh Amir diamalkan I Maddusila, sehingga lolos masuk istana Ballalompoa tanpa terlihat ratusan penjaga.

Ini bacaannya: ‘’Wa ja’alna min baini aidihim saddaw wamin khalfihim saddan fa agsyainahum fa hum la yubsirun.’’

Artinya: ‘’Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat’’ (Quran, Surat Ya Sin, ayat 9).

Jika Tuhan berkehendak, sudah banyak bukti semua seketika dapat terjadi dan tidak ada yang dapat menghalanginya. Allhu Akbar!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun