Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Muna Tempo Dulu: Hukum Mati Pencuri, LGBT, dan Pezina

21 Februari 2016   13:20 Diperbarui: 21 Februari 2016   14:51 1371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekalipun Lakina Muna (Raja Muna) tidak termasuk dewan pengadilan tetapi semua keputusan Syarat Muna harus mendapat pengesahannya. Demikian halnya dengan Kapitalao (menteri pertahanan), tidak termasuk anggota majelis peradilan tetapi diwajibkan hadir dalam setiap sidang pengadilan guna menjaga tata tertib persidangan.

Selanjutnya, Ghoeramo (2) juga dapat bertindak sebagai hakim, didampingi Kino (Kepala Kampung dari golongan bangsawan tertinggi) atau Mino (Kepala Kampung dari golongan bangsawan rendah atau Walaka). Kino atau Mino (3) juga sebagai hakim didampingi Bhontono Liwu (asisten kepala kampung) atau Kamo kulano Liwu (orang-orang tua yang juga asisten kepala kampung). Bhontono Liwu atau Kamokulano Liwu (4) pun dapat menjadi hakim didampingi Parabhela (pembantu asisten kepala kampung).

Seorang tersangka atau tergugat dalam suatu kasus pidana atau perdata, diberi kebebasan memilih penanganan penyelesaian perkaranya melalui salah satu dari keempat majelis hakim tersebut, sesuai tingkatan besar atau kecil perkaranya.

Untuk perkara-perkara ringan seperti dalam kasus caci maki, perselisihan keluarga di suatu rumah tangga, atau perselihan antara tetangga di suatu kampung, penyelesaian perkaranya diberi kewenangan kepada Madhi atau pejabat agama seperti Imam dan Khatib.

Peradilan adat Muna tempo dulu tidak mengenal sanksi kurungan atau hukuman penjara. Hukuman tersedia hanya dalam bentuk denda, diasingkan keluar wilayah, atau dijadikan budak. Sanksi terberat, terdapat hukuman mati bagi pelaku tindak kejahatan.

Hukuman mati, di antaranya, ditimpakan kepada pelaku pemerkosa, pezina, pembunuhan, kumpul kebo, tukang sihir, provokator, pencuri, penipuan, penyebar berita bohong, dan terhadap pelaku perbuatan cabul LGBT (Lesbi. Gay, Bisex, Transgender).

Hukuman mati berlaku juga terhadap pejabat-pejabat kerajaan hingga para kepala kampung (Mino) jika terbukti melakukan jenis kejahatan tersebut. Kecuali wanita pelaku pencabulan dari golongan Maradika (masyarakat biasa, bukan bangsawan) dibebaskan dari sanksi hukuman mati.

Penanganan  perkara pidana yang terancam dengan hukuman mati hanya boleh dilakukan oleh majelis peradilan Syarat Muna. Pelaksanaan sanksi hukuman matinya, berbeda antara pria dan wanita. Juga, beda sanksi untuk pelaku dari kaum golongan bangsawan tinggi (La Ode) dan bangsawan rendah (Walaka), masyarakat biasa (Maradika), dan bagi yang berdarah campuran (Wasembali). Namun, semua bentuk pelaksanaan sanksi hukuman mati terbilang sadis.

Bayangkan, pelaksanaan hukuman mati bagi pelaku dari golongan La Ode dan Walaka, lehernya diikat puluhan tali kemudian ditarik hingga tak bernyawa. Sedangkan pelaku dari golongan Maradika dan Wasembali ditikam hingga mati. Kemudian kepala, lengan bawah dan ujung tangannya, tungkai bawah dan ujung kakinya dipenggal lalu digantung di jalan-jalan menuju kota Muna. Sedangkan hukuman mati untuk wanita pelaku kejahatan, tubuhnya dibenam ke tanah hingga leher lalu kepalanya dilempari batu, hingga tewas.

Kemungkinan dengan pertimbangan dari segi etika, sehingga tak satupun contoh kasus ditampilkan dalam buku ini tentang mereka yang pernah terkena sanksi adat hukuman mati di Muna. Dibandingkan dalam beberapa hal, misalnya di Bab 23 tentang Tahyul, Jules Couvreur justeru memberi contoh dengan detail menyangkut nama dan status orang maupun lokasi kejadian.     

Sanksi adat hukuman mati tersebut semua telah ditiadakan setelah pihak kolonial Belanda masuk Muna tahun 1906.  Bahkan tahun 1910 dalam masa pemerintahan Lakina Muna (Raja Muna) La Ode Ahmad (1907 – 1914) Syarat Muna dibubarkan diganti dengan distrik-distrik. Terima kasih kepada Jules Couvreur yang telah mencatat dan membukukan khususnya ikhwal peradilan dan sanksi-sanksi adat yang pernah berlaku terhadap pelaku kejahatan tempo dulu di Muna. Terasa sangat membantu menyegarkan menatap kekinian Indonesia. Hebatnya buku!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun