[caption caption="Masih banyak komunitas warga sering melakukan ritual khusus di sekitar tiang bendera tua dalam komplek benteng Fort Rotterdam/Ft: Mahaji Noesa"]
Keberadaan 5 areal bastion bersudut lancip itulah yang membuat dinding benteng dari atas bagai bentuk seekor kura-kura sedang merayap ke pantai Selat Makassar. Bastion Bone ibarat kepala kura-kura, bastion Bacan dan bastion Buton sebagai kaki depan. Bastion Mandarsyah dan bastion Amboina sebagai kaki belakang.
[caption caption="Inilah sumur-sumur tua dalam komplek benteng Fort Rotterdam/Ft: Mahaji Noesa"]
Bastion-bastion di Fort Rotterdam memiliki jalan penghubung dibuat semacam parit bertrap terlindung menempel di dinding benteng bagian dalam. Pengunjung dapat berkeliling menyusur dinding benteng Fort Rotterdam melalui parit-parit tersebut. Berjalan menapak parit dapat mengenang kepanikan tentara kolonial bergerak dari bastion ke bastion yang dahulu disebut-sebut sekaligus menjadi tempat konsentrasi penembakan meriam-meriam jagur untuk menghalau serangan lawan, terutama berasal dari pihak kerajaan Gowa sebagai pemilik benteng.
Sejarah mencatat, banyak bangsawan kerajaan Gowa tidak setuju dengan Perjanjian Bungaya, 18 Nopember 1667, yang juga isinya menyerahkan benteng ke pihak kolonial. Sejumlah bangsawan memilih meninggalkan wilayah kerajaan dan melakukan perlawanan. Tersebut, antara lain, nama bangsawan Gowa, Karaeng Bonto Langkasa kerjasama Aru (Raja) Sengkang, La Maddukelleng, April 1739, memimpin penyerangan ke benteng Fort Rotterdam yang telah dikuasai kolonial. Sekalipun hanya dalam tempo sekitar 3 bulan dapat menguasai situasi, karena pihak kolonial kemudian mampu memukul mundur mereka dalam pertempuran 17 Juli 1739.
Selain bastion, terdapat 4 terowongan pendek tinggalan lama yang masih utuh, dapat disaksikan di Fort Rotterdam. Tiga terowongan berfungsi sebagai jalan penghubung dari areal benteng ke parit pertahanan yang menghubungkan antarbastion. Di antaranya terowongan yang menerobos bangunan di bastion Buton, terowongan menerobos bangunan dekat pintu gerbang di arah timur dinding benteng, dan terowongan di sekitar bastion Amboina. Terowongan yang satunya berlekuk leher angsa sehingga dari luar sepintas terlihat bagai lorong buntu. Terowongan ini dahulu merupakan jalan keluar masuk pintu gerbang utama di arah timur benteng yang kini ditutup karena di bagian luar terhempang bangunan pemukiman penduduk.
Juga masih ada 6 sumur tua sebagai sumber air tawar yang hingga kini masih dapat dilihat terpencar dalam komplek benteng Fort Rotterdam. Pelukis mantan pengasuh acara ‘Mari Menggambar’ di TVRI Makassar, Bachtiar Hafid, mengaku pernah menyimpan air yang diambil dari sumur tua di depan bangunan bastion Mandarsyah, diisi dalam sebuah botol plastik. Selama lebih tiga bulan air tersebut terlihat tetap bening, tidak berlumut.
Aneka sensasi, selain 4T-5B-6S, berkaitan dengan peristiwa sejarah dan ihwal kepurbakalaan dapat dirasakan jika berkunjung ke benteng Fort Rotterdam. Areal benteng masih merupakan ruang meditatif yang cukup baik memaknai keagungan peradaban maupun kegigihan perjuangan leluhur masa silam, guna menapaki perjalanan hari-hari ke depan bangsa lebih cemerlang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H