[caption caption="inilah bangunan buatan Jepang di benteng Fort Rotterdam/Ft: Mahaji Noesa"][/caption]Awalnya, di dalam komplek benteng Fort Rotterdam terdapat banyak rumah panggung khas etnik Makassar tempat bermukim kalangan raja-raja Gowa beserta keluarga dan para petinggi kerajaan. Suasana lingkungan damai dan asri tatkala benteng masih berbentuk segi empat polos, terlihat melalui hasil terawangan seniman pelukis supranatural Bachtiar Hafid yang dituangkan dalam serial lukisan Benteng Fort Rotterdam dari Abad ke Abad.
Benteng buatan leluhur kerajaan Gowa tersebut diambil masuk dalam kekuasaan pihak kompeni Belanda seusai ditandatangani Perjanjian Bungaya, 18 Nopember 1667, antara Gubernur Jenderal Belanda Cornelis Jansen Speelman dengan Raja Gowa XVI Sultan Hasanuddin. Â
Akan tetapi bangunan milik kerajaan di dalam benteng, diperkirakan baru mulai dibongkar setelah pihak kompeni memilih benteng Fort Rotterdam sebagai markas pertahanan, usai membumihanguskan benteng Somba Opu, benteng induk kerajaan Gowa di delta muara Sungai Jeneberang, tahun 1669.[caption caption="Bangunan bergaya portugis ini yang pernah dijadikan gereja dalam masa kolonial di benteng Fort Rotterdam/Ft: Mahaji Noesa"]
[caption caption="Lantai bawah gedung bergaya Portugis kini dijadikan ruang pameran tetap di benteng Fort Rotterdam/Ft: Mahaji Noesa"]
Bangunan-bangunan baru didirikan kompeni secara permanen, ditata berderet mengelilingi dinding bagian dalam benteng. Bangunan dibuat semua dua lantai dengan ukuran bervariasi sesuai fungsinya. Konstruksi atapnya bersudut lancip tinggi, dan model pintu serta jendela berukuran besar. Seperti terlihat dapat bertahan awet melalui pemeliharaan hingga sekarang dalam usia lebih dari 300 tahun.
Melalui foto-foto dukumentasi yang dibuat antara tahun 1901 hingga 1932, terekam jelas suasana lingkungan dalam komplek benteng Fort Rotterdam banyak ditumbuhi pohon pelindung berukuran besar, menghutan. Sejumlah warga kota Makassar masih mengingat hingga tahun 50-an terdapat banyak pohon kelapa dalam tumbuh di komplek benteng. Pucuk-pucuknya tinggi menjulang, dikatakan terlihat dari luar benteng. Dalam catatan pascakemerdekaan RI, antara tahun 1950 hingga 1969 areal benteng pernah dijadikan sebagai lokasi pemukiman rakyat dan tentara.
[caption caption="Gedung lawas yang dijadikan museum Lagaligo dalam komplek benteng Fort Rotterdam/Foto: Mahaji Noesa "]
[caption caption="Suasana di sisi barat areal benteng Fort Rotterdam/Ft: Mahaji Noesa"]
Benteng kerajaan Gowa yang pernah diduduki pihak asing dari tahun 1667 hingga 1945, baru dapat dipugar kembali tahun 1973. Pemugaran dilakukan atas bantuan dana dari Kementerian Kebudayaan, Rekreasi dan Sosial Belanda. Diberikan setelah Pangeran Belanda berkunjung ke kota Makassar (waktu itu masih bernama kota Ujungpandang), 19 hingga 22 Pebruari 1973.
Pemugaran dilakukan terhadap 15 bangunan di Fort Rotterdam yang sebagian besar konstruksi atap, dinding, dan lantainya mengalami kerusakan berat. Pekerjaan pemugaran dilaksanakan CV Sinar Karya, kala itu mendapat pengawasan ketat dari Badan Pengawas Pembangunan (BPP) yang terdiri atas Gubernur Sulsel H Achmad Lamo, Walikota Makassar HM Dg Patompo, Kepala DPU Provinsi Sulsel Ir H Latekko Tjambolang, Kepala Perwakilan Departemen P dan K Provinsi Sulsel Agussalim Makodompit MA, dan Asisten Kepala Perwakilan Departemen P dan K Sulsel Bidang Kebudayaan Drs. A.Abubakar Punagi. Pemugaran dilaksanakan mulai Nopember 1973, dapat diselesaikan April 1974. Nama-nama BPP tersebut dikutipkan kembali mengenang dedikasi mereka melancarkan pekerjaan kali pertama penyelamatan benteng yang sudah terancam rusak berat.
Melalui revitalisasi benteng Fort Rotterdam dan Museum Lagaligo tahun 2012, lingkungan benteng ikut ditata dalam suasana sebagai taman modern di antara gedung-gedung lawas. Bahkan atas bantuan pemerintah pusat, di dinding luar arah selatan Jl WR Supratman yang masih merupakan zonasi benteng, dibangun sebuah taman Ruang Terbuka Hijau (RTH) dilengkapi kanal yang tembus ke laut. Kanal terlihat seringkali beriak bagai sungai alami di antara areal benteng dan tepian taman.Â
[caption caption="Sebuah prasasti dengan relief Singa di benteng Fort Rotterdam/Ft: Mahaji Noesa"]
Sensasi pemukiman berarsitektur neo gotic Eropa abad pertengahan, itulah menjadi salah satu daya tarik pengunjung tak bosan berulang mengunjungi benteng Fort Rotterdam. Inilah benteng purba tersisa masih tegak anggun dengan properti lawas di tengah pesatnya pertumbuhan bangunan modern berasesori abad millenium di kota metropolitan Makassar.
Dalam catatan sejarah, sebuah bangunan bergaya Portugis di tengah areal benteng pernah difungsikan sebagai gereja. Artinya, bangunan yang sekarang lantai bawahnya dijadikan sebagai ruang pamer tetap dan lantai 2 dijadikan sebagai aula, sebenarnya merupakan gereja pertama yang pernah ada di kota Makassar. Lantaran gereja Katedral yang dianggap sebagai gereja tertua di kota Makassar dibangun dalam tahun 1898, abad XIX.
Tatkala balatentara Jepang merajai perang Asia Timur Raya, tahun 1942 mendarat di kota Makassar, menguasai benteng Fort Rotterdam dijadikan sebagai pusat pelatihan bahasa dan pertanian. Sekalipun hanya dalam waktu singkat, pasukan dari negeri Sakura tersebut harus menyerah, kalah Perang Dunia II atas tentara Sekutu tahun 1945. Namun kehadirannya juga tetap meninggalkan jejak monumental di benteng Fort Rotterdam. Terdapat sebuah gedung dibangun dengan sejumlah ruang untuk melengkapi kebutuhan sarana perkantoran, berdekatan dengan bastion Mandarsyah. Bangunan tidak bertingkat buatan Jepang tersebut sampai sekarang juga masih terawat awet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H