[caption caption="Patung Sultan Hasanuddin berkuda di benteng Fort Rotterdam/ Ft: Mahaji Noesa"][/caption]Berwisata ke kota metropolitan Makassar tak lengkap rasanya apabila tidak mengunjungi benteng Fort Rotterdam. Lokasi properti lawas tinggalan abad XVI ini berada di pusat kota, sekitar 300 meter di arah barat kantor Balaikota Makassar. Selain taksi, dapat dijangkau menggunakan bus angkutan umum trans Mamminasata maupun angkutan kota (angkot) Petepete. Sampai sekarang tak ada pungutan biaya masuk bagi pengunjung.
Pasca dilakukan revitalisasi benteng tiga tahun lalu, tak hanya turis mancanegara tapi juga selalu padat pengunjung lokal, warga kota, dan warga dari antarkabupaten kota di Sulawesi Selatan. Pun setiap hari ramai didatangi warga asal provinsi lain di Indonesia.
Terdapat museum Lagaligo di areal Fort Rotterdam, menyajikan lebih 6.000 koleksi benda sejarah dan purbakala. Lebih dari itu, sebagai situs banyak hal yang dapat diapresiasi ihwal sejarah dan kepurbakalaan saat berada dalam benteng seluas lebih 3 hektar tersebut.
Dinding benteng yang kokoh terbuat dari susunan puluhan ribu balok batu alam, menguatkan bukti sejak masa silam tingkat kemajuan olah pikir dan rangcang bangun nenek moyang bangsa Indonesia sudah cukup tinggi.
Berbentuk trapesium dengan empat sudut lancip, denah benteng menyerupai seekor kura-kura sedang merayap. Dengan panjang keliling dinding lebih 600 meter, tinggi 4 hingga 6 meter, tebal antara 2 hingga 3 meter, dapat dibayangkan saat-saat benteng dibangun juga ditopang semangat serupa ketika  leluhur membangun Candi Borobudur di Yogyakarta jaman masih serba manual mengandalkan tenaga manusia.
Benteng Fort Rotterdam satu-satunya benteng tersisa dari 12 benteng yang pernah ada dalam masa Kerajaan Gowa. Dibangun ketika Raja Gowa IX, I Mannutungi Daeng Matanre Karaeng Tumapaqrisi Kallonna berkuasa (1510-1546). Awalnya, seperti halnya benteng Somba Opu, benteng induk pertama dibangun tahun 1512 tempat istana raja, setelah pusat Kerajaan Gowa dipindahkan dari Tamalate (wilayah agraris) ke wilayah pesisir pantai Maccini Sombala (Somba Opu), dinding benteng dibuat menggunakan gundukan tanah.
[caption caption="Sejumlah properti abad XVII yang terpelihara di benteng Fort Rotterdam/Ft: Mahaji Noesa"]
Saat Raja Gowa X, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung yang dijuluki Karaeng Tunipalangga Ulaweng berkuasa (1546 – 1565), kemudian mulai dilakukan renovasi mengganti dinding-dinding benteng dengan menggunakan susunan batu bata (tanah lempung yang dibakar) dan potongan batu-batuan alam (andesit).
Melalui sejumlah karya seniman pelukis supranatural Bahtiar Hafid yang terpajang di Sanggar Ujungpandang Visual Art Fort Rotterdam, terhayalkan perubahan bentuk suasana benteng dengan konstruksinya dari abad ke abad. Abad XVI hingga abad XVII, terlukis rumah-rumah adat etnik Makassar tampak ramai di dalam lingkungan benteng yang menjadi pemukiman kalangan raja serta para petingginya.
[caption caption="Denah benteng Fort Rotterdam bagai kura-kura merayap/Ft: Mahaji Noesa"]