Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Amanat Soekarno Terhadap Peristiwa 11 Desember di Sulsel

8 Desember 2015   20:45 Diperbarui: 8 Desember 2015   20:45 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Relief Monumen Korban 40.000 Jiwa di Kalukuang kota Makassar/Ft: Mahaji Noesa"][/caption]

Dua hari usai pelaksanaan Pilkada serentak pertama di lebih 200 kabupaten/kota di Indonesia, 9 Desember 2015, bendera Merah Putih akan dikibarkan setengah tiang di seluruh pelosok Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai tanda Hari Berkabung.

Pasalnya, pemerintah dan rakyat provinsi Sulsel sejak tahun 1986 sepakat menetapkan tanggal 11 Desember setiap tahunnya untuk diperingati sebagai hari bersejarah Peristiwa Korban 40.000 Jiwa Rakyat Indonesia di Sulsel untuk memperjuangkan terwujudnya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Bersamaan hari peringatan tersebut juga ditetapkan bendera kebangsaan agar dikibarkan setengah tiang.

Di era Orde Baru peringatan hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa terasa bergema setiap tahun. Beberapa hari jelang pelaksanaan peringatan, sering ada pemberitahuan dari panitia peringatan tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten kepada masyarakat luas di kota hingga pelosok desa untuk mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang pada 11 Desember. Monumen-monumen perjuangan berkaitan dengan Peristiwa Korban 40.000 Jiwa yang dibangun di berbagai daerah kabupaten/kota di Sulsel mendapat perhatian masyarakat karena umumnya semarak didandani dipugar dijadikan sebagai lokasi berbagai kegiatan sehubungan pelaksanaan upacara peringatan, termasuk ramai jadi sasaran ziarah oleh tak hanya keluarga pejuang, tapi juga masyarakat umum serta anak-anak dari bebagai tingkatan sekolah.

[caption caption="Papan petunjuk ke Monumen Korban 40.000 Jiwa di tepi Jl Pongtiku kota Makassar/Ft: Mahaji Noesa"]

[/caption]

Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini tampak semangat peringatan Hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa mulai memudar. Tak hanya terjadi terhadap warga di pelosok yang dahulu selalu terlihat begitu antusias memasang bendera setengah tiang di halaman-halaman rumah mereka pada setiap 11 Desember, tapi juga banyak kantor pemerintah dan swasta tidak lagi memperhatikan menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang sebagai penanda suasana berkabung di hari peringatan gugurnya puluhan ribu rakyat akibat berjuang tidak rela Kemerdekaan RI dikoyak oleh pihak bangsa asing. (Baca:http://www.kompasiana.com/mahajinoesa/mengapa-merah-putih-tak-dinaikkan-setengah-tiang_550ac63b813311e717b1e182 dan http://www.kompasiana.com/mahajinoesa/kahar-muzakkar-tetapkan-angka-korban-40-000-jiwa-di-sulsel_551ad971a33311e621b65ae9)

Mulai memudarnya kesadaran warga di Sulsel memeringati Hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa, boleh jadi karena peringatan yang dilakukan setiap tahun selama ini hanya lebih bersifat seremonial berupa bagi-bagi kado kepada keluarga pejuang, tanpa dikemas sebagai momentum upaya penebalan semangat kebangsaan serta penanaman sekaligus pengobaran jiwa, semangat dan nilai-nilai heroik rakyat dan para pejuang tempo dulu untuk bangsa negaranya kepada generasi pelanjut sesuai tuntutan kondisi jamannya.

Kita miris melihat generasi muda yang kebanyakan tidak lagi tertarik terhadap peringatan hari-hari bersejarah bangsanya, termasuk mulai kurang peduli terhadap tokoh-tokoh pejuang terdahulu. Akan tetapi kita juga tidak boleh terlalu harus larut hingga langsung ‘marah-marah’ misalnya, lantaran mengetahui lokasi anjungan sebelah selatan Pantai Losari Makassar yang dihiasi sekitar 20 Patung Tarso (Patung Kepala) Pejuang, tokoh-tokoh berjasa serta melegenda di Sulsel selama ini dijadikan sasaran lokasi percintaan oleh kalangan remaja terutama pada malam hari. Walikota Makassar Danny Pomanto yang ahli perencanaan kota itu sudah pasti paham, masih diiperlukan olah saji patung-patung tarso tersebut agar dapat lebih komunikatif menebar pesan atau riwayat masing-masing terhadap publik pengunjung.

[caption caption="Gerbang Munumen Korban 40.000 Jiwa Sulsel di Kalukuang kota Makassar/Ft: Mahaji Noesa"]

[/caption]

[caption caption="Panggung upacara monumen peristiwa Korban 40.000 Jiwa Sulsel di Kalukuang kota Makassar/Ft: Mahaji Noesa"]

[/caption]

Penebalan rasa cinta tanah air dan bela Negara, salah satunya dapat disuburkan melalui momentum banyaknya peringatan hari-hari bersejarah serta pengenalan terhadap tokoh-tokoh pejuang bangsa dari masa ke masa.

Lebih dari itu, peringatan Hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa untuk tetap mengingatkan bahwa peristiwa ini merupakan bagian penting dari sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Mengingatkan peristiwa perlawanan rakyat khususnya di Sulsel terhadap upaya intervensi penguasaan negara asing dalam kedaulatan negara Republik Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Berikut dikutipkan pointer prolog dan epilog timbulnya peristiwa pengorbanan 40.000 jiwa rakyat di Sulsel, diolah dari catatan Pusat Penkajian Kejuangan Bangsa Indonesia. Bahwa beberapa saat usai pernyataan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno – Hatta, 17 Agustus 1945 di Jakarta, tentara sekutu (Amerika, Inggris, dan Australia) sebagai pemenang perang dunia kedua atas tentara Jepang, masuk ke Indonesia dengan maksud untuk melucuti kekuasaan tentara Jepang serta membebaskan tawanan perang yang ada.

Pasukan gabungan militer sekutu pertama Brigadir 21 masuk kota Makassar pada 21 September 1945. Hanya dalam tempo 2 hari setelah mendarat, pasukan Sekutu dipimpin Mayor Gibson perwira militer asal Australia berhasil membebaskan sekitar 400 tawanan perang Jepang di Makassar. Anehnya, pada 23 September 1945 didatangkan lagi tentara sekutu dalam jumlah yang lebih banyak ke Makassar. Termasuk didalamnya ikut tentara NICA (Nederlands Indish Civil Administration)/Belanda.

Kehadiran tentara NICA membonceng militer Sekutu justeru berperilaku brutal. Tanggal 2 Oktober 1945 tanpa diketahui musababnya, tentara NICA melakukan penembakan terhadap rakyat di berbagai tempat dalam kota Makassar, seperti di wilayah Maricaya, Lajangiru, Kampung Pisang, dan Pattunuang. Hal serupa diulang pada 15 Oktober 1945, NICA menembaki rakyat tak berdosa di sejumlah lokasi dalam kota Makassar.

Dari tindakan mengerikan itulah bermula timbulnya reaksi perlawanan dari rakyat kota Makassar terhadap kehadiran tentara Sekutu dan NICA. Rakyat terutama kalangan pemuda spontan bersatu setiap saat jika ada peluang dan kesempatan melakukan serangan khususnya terhadap markas-markas tentara NICA di Makassar.

Kehadiran tentara NICA kemudian diketahui memang disetir oleh pemerintah Belanda yang ada di Jakarta, untuk kembali menguasai daerah bekas wilayah jajahannya di Indonesia, khususnya di Sulsel. Terbukti, setelah pihak Belanda berhasil menggencet sejumlah pimpinan tentara Sekutu yang tidak pro dengan aksi tentara NICA di Makassar, mereka mengambil-alih penguasaan militer Sekutu. Tentara NICA melakukan aksi-aksi penembakan terhadap rakyat dan para pimpinan serta anggota lasykar pejuang yang spontan terbentuk melakukan perlawanan di berbagai daerah di Sulsel.

NICA menangkap dan memenjarakan sejumlah tokoh berpengaruh pemimpin rakyat seperti Andi Mappanyukki dan Andi Pangerang Pettarani. Demikian terhadap banyak pemimpin kelasykaran, bahkan dilakukan tembak mati. Dalam suasana Indonesia sudah merdeka, pihak tentara NICA pada 5 April 1946 menangkap Gubernur Sulawesi Dr.G.S.S.J. Ratulangi dan diasingkan ke wilayah Irian Barat.

Namun begitu, semangat perlawanan rakyat dan pejuang mengusir tentara NICA dari Sulsel Selatan terus berkobar. Para pejuang Merah Putih menggagalkan dua kali rencana pertemuan yang akan diadakan pihak pemerintah Belanda di Malino (kini masuk kabupaten Gowa, Sulsel) untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT). Pembentukan NIT kemudian dilakukan di Denpasar, Bali, Desember 1946 menetapkan Sukowati sebagai presidennya dan Makassar sebagai ibukota NIT.

Sejarah mencatat, kala itu perlawanan rakyat dan pejuang kian berkobar di Sulsel. Markas dan kubu-kubu tentara NICA di berbagai daerah terus diserbu, menimbulkan banyak korban jiwa di pihak lawan. Atas restu Panglima Besar TNI Jend Soedirman, 24 Maret 1946 di Jogyakarta dibentuk Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) untuk melakukan ekspedisi ke Sulsel melakukan bantuan kepada rakyat dan pejuang melawan tentara NICA.

Tanggal 7 Desember 1946 pihak Belanda pun mendatangkan bantuan militer dipimpin Kapten RPP Westerling ke Makassar. Pasukan ini kemudian melakukan penembakan membabi-buta terhadap rakyat dan pejuang, tak hanya di kota Makassar tapi juga ke daerah-daerah lain di Sulsel. Mereka juga menjarah harta benda dan membakar rumah-rumah penduduk.

Dari kota Makassar, Sulsel, kala itu terbaca jelas tindakan pemerintah Belanda berusaha hendak kembali menjajah Indonesia yang baru saja menyatakan kemerdekaannya. Bukti nyatanya, saat tentara NICA dipimpin Westerling melakukan penembakan massal terhadap ribuan rakyat tak berdosa di kota Makassar pada tanggal 11 Desember 1946, justeru Spor, Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta mengeluarkan pernyataan keadaan darurat perang S.O.B (Staat Van Oorlog en Balaq) terhadap semua daerah yang berada di luar kekuasaan Belanda di Sulsel. Juga meliputi semua wilayah provinsi Sulawesi Barat sekarang, yang dahulu termasuk bagian dari provinsi Sulsel.

Angka Korban 40.000 Jiwa akibat peristiwa perlawanan terhadap tentara NICA di Sulsel pertama kali dinyatakan oleh Komandan TRIPS Letkol Kahar Muzakkar kepada Presiden RI Soekarno di Yogyakarta. Justeru peringatan Hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa Rakyat Indonesia di Sulsel pertama kali dilakukan di Yogyakarta, 11 Desember 1947.

Pemerintah provinsi Sulsel baru menetapkan secara resmi tanggal 11 Desember sebagai Hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa Rakyat Indonesia di Sulsel melalui Keputusan DPRD Provinsi Sulsel No.16/KPTS/DPRD/XII/1986 tertanggal 10 Desember 1986. Tanggal 11 Desember ditetapkan sebagai Hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa Rakyat Indonesia di Sulsel untuk diperingati setiap tahun secara hikmat dalam suasana berkabung, dan pada hari peringatan bendera kebangsaan dikibarkan/dipasang setengah tiang.

Dalam amanat Presiden Soekarno menyambut peringatan pertama Hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa Rakyat Indonesia di Sulsel, 11 Desember 1947, antara lain dikatakan: ‘’Mereka gugur agar kita hidup.’’

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun