Lebih dari itu, peringatan Hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa untuk tetap mengingatkan bahwa peristiwa ini merupakan bagian penting dari sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Mengingatkan peristiwa perlawanan rakyat khususnya di Sulsel terhadap upaya intervensi penguasaan negara asing dalam kedaulatan negara Republik Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Berikut dikutipkan pointer prolog dan epilog timbulnya peristiwa pengorbanan 40.000 jiwa rakyat di Sulsel, diolah dari catatan Pusat Penkajian Kejuangan Bangsa Indonesia. Bahwa beberapa saat usai pernyataan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno – Hatta, 17 Agustus 1945 di Jakarta, tentara sekutu (Amerika, Inggris, dan Australia) sebagai pemenang perang dunia kedua atas tentara Jepang, masuk ke Indonesia dengan maksud untuk melucuti kekuasaan tentara Jepang serta membebaskan tawanan perang yang ada.
Pasukan gabungan militer sekutu pertama Brigadir 21 masuk kota Makassar pada 21 September 1945. Hanya dalam tempo 2 hari setelah mendarat, pasukan Sekutu dipimpin Mayor Gibson perwira militer asal Australia berhasil membebaskan sekitar 400 tawanan perang Jepang di Makassar. Anehnya, pada 23 September 1945 didatangkan lagi tentara sekutu dalam jumlah yang lebih banyak ke Makassar. Termasuk didalamnya ikut tentara NICA (Nederlands Indish Civil Administration)/Belanda.
Kehadiran tentara NICA membonceng militer Sekutu justeru berperilaku brutal. Tanggal 2 Oktober 1945 tanpa diketahui musababnya, tentara NICA melakukan penembakan terhadap rakyat di berbagai tempat dalam kota Makassar, seperti di wilayah Maricaya, Lajangiru, Kampung Pisang, dan Pattunuang. Hal serupa diulang pada 15 Oktober 1945, NICA menembaki rakyat tak berdosa di sejumlah lokasi dalam kota Makassar.
Dari tindakan mengerikan itulah bermula timbulnya reaksi perlawanan dari rakyat kota Makassar terhadap kehadiran tentara Sekutu dan NICA. Rakyat terutama kalangan pemuda spontan bersatu setiap saat jika ada peluang dan kesempatan melakukan serangan khususnya terhadap markas-markas tentara NICA di Makassar.
Kehadiran tentara NICA kemudian diketahui memang disetir oleh pemerintah Belanda yang ada di Jakarta, untuk kembali menguasai daerah bekas wilayah jajahannya di Indonesia, khususnya di Sulsel. Terbukti, setelah pihak Belanda berhasil menggencet sejumlah pimpinan tentara Sekutu yang tidak pro dengan aksi tentara NICA di Makassar, mereka mengambil-alih penguasaan militer Sekutu. Tentara NICA melakukan aksi-aksi penembakan terhadap rakyat dan para pimpinan serta anggota lasykar pejuang yang spontan terbentuk melakukan perlawanan di berbagai daerah di Sulsel.
NICA menangkap dan memenjarakan sejumlah tokoh berpengaruh pemimpin rakyat seperti Andi Mappanyukki dan Andi Pangerang Pettarani. Demikian terhadap banyak pemimpin kelasykaran, bahkan dilakukan tembak mati. Dalam suasana Indonesia sudah merdeka, pihak tentara NICA pada 5 April 1946 menangkap Gubernur Sulawesi Dr.G.S.S.J. Ratulangi dan diasingkan ke wilayah Irian Barat.
Namun begitu, semangat perlawanan rakyat dan pejuang mengusir tentara NICA dari Sulsel Selatan terus berkobar. Para pejuang Merah Putih menggagalkan dua kali rencana pertemuan yang akan diadakan pihak pemerintah Belanda di Malino (kini masuk kabupaten Gowa, Sulsel) untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT). Pembentukan NIT kemudian dilakukan di Denpasar, Bali, Desember 1946 menetapkan Sukowati sebagai presidennya dan Makassar sebagai ibukota NIT.
Sejarah mencatat, kala itu perlawanan rakyat dan pejuang kian berkobar di Sulsel. Markas dan kubu-kubu tentara NICA di berbagai daerah terus diserbu, menimbulkan banyak korban jiwa di pihak lawan. Atas restu Panglima Besar TNI Jend Soedirman, 24 Maret 1946 di Jogyakarta dibentuk Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) untuk melakukan ekspedisi ke Sulsel melakukan bantuan kepada rakyat dan pejuang melawan tentara NICA.
Tanggal 7 Desember 1946 pihak Belanda pun mendatangkan bantuan militer dipimpin Kapten RPP Westerling ke Makassar. Pasukan ini kemudian melakukan penembakan membabi-buta terhadap rakyat dan pejuang, tak hanya di kota Makassar tapi juga ke daerah-daerah lain di Sulsel. Mereka juga menjarah harta benda dan membakar rumah-rumah penduduk.
Dari kota Makassar, Sulsel, kala itu terbaca jelas tindakan pemerintah Belanda berusaha hendak kembali menjajah Indonesia yang baru saja menyatakan kemerdekaannya. Bukti nyatanya, saat tentara NICA dipimpin Westerling melakukan penembakan massal terhadap ribuan rakyat tak berdosa di kota Makassar pada tanggal 11 Desember 1946, justeru Spor, Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta mengeluarkan pernyataan keadaan darurat perang S.O.B (Staat Van Oorlog en Balaq) terhadap semua daerah yang berada di luar kekuasaan Belanda di Sulsel. Juga meliputi semua wilayah provinsi Sulawesi Barat sekarang, yang dahulu termasuk bagian dari provinsi Sulsel.