Komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukelleng yang terletak sekitar 200-an meter arah selatan Lapangan Merdeka di Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sekaligus merupakan lokasi pusara Raja Kutai Kertanegara Ing Martadipura Ke-14, Sultan Adji Muhammad Idris.
[caption id="attachment_165688" align="aligncenter" width="640" caption="Bupati Wajo H.A.Burhanuddin Unru saat menerima gelar Tumenggung Kapitan Jaya dari Sri Sultan H.Adji Mohammad Solehuddin 2 di Pendopo Kerajaan Kukar/Ft: Istimewa "][/caption]
Di dalam komplek makam yang baru saja mengalami pemugaran atas bantuan Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur tersebut, keseluruhan terdapat lima makam selain makam Arung Siengkang Lamaddukkelleng yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No.109/TK/1998 tanggal 6 Nopember 1998.
Bentuk nisan kelima makam tersebut berbeda satu dengan lainnya. Nisan Lamaddukelleng yang wafattahun 1765 hanya berupa bongkahan batu yang digeletakkan di atas makam. Sedangkan makam Sultan Adji Muhammad Idris yang berdinding batu ditinggikan, nisannya menyerupai kelopak daun berukir.
[caption id="attachment_165689" align="alignright" width="300" caption="Lima pusara dalam komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng di Kota sengkang/Ft: Mahaji Noesa"]
Makam La Tombong To Massekutta yang diperkirakan wafat tahun 1762, salah seorang putera Lamaddukkelleng, batu nisannya dibentuk menyerupai hulu keris (badik) berukir. Nisan dua makam lainnya yang juga tebuat dari batu alam, satu berbentuk perisai, dan satunya segi empat.
Dari Komplek Makam Lamaddukkelleng yang telah berlantai marmer ini kita dapat memandang vieuw indah pusat Kota Sengkang dengan Masjid Agung Ummul Qura yang menaranya dibangun berada di areal Lapangan Merdeka, dipisah jalur jalan poros menuju ke arah Kabupaten Soppeng.
Berada persis di tepi jalur utama Kota Sengkang, sepanjang waktu lingkungan komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng tak pernah sepi. Apalagi hanya sekitar 25 meter di seberang jalan, terletak sejumlah kantor dinas dalam lingkup Pemkab Wajo. Sedangkan di bagian belakang serta sisi kiri-kanan komplek diapit bangunan perkantoran dan perumahan penduduk.
Pemugaran makam Lamaddukkelleng yang menggunakan konstruksi atap tradisional Bugis tersebut, tampak menambah menawan kawasan pusat Kota Sengkang yang beberapa kali berturut dianugerahi penghargaan Piala Adipura untuk kategori Kota Kecil. Kota Sengkang sendiri dikenal dengan julukan sebagai Kota Sutera, lantaran wilayah di pesisir Danau Tempe inilah pusatnya pertenunan sarung sutera di Provinsi Sulawesi Selatan.
‘’Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara memberikan kita bantuan Rp 400 juta untuk melakukan pemugaran komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng yang didalamnya juga terdapat makam Raja Kutai Sultan Muhammad Idris,’’ jelas Bupati Wajo, Drs.H.Andi Burhanuddin Unru,MM dalam suatu kesempatan berbincang di Kota Sengkang.
Bupati yang merupakan putera dari Bupati Wajo pertama (1966- 1978) di Kabupaten Wajo, Kol (Purn TNI) H.Andi Unru, jika ditelisik silsilahnya juga merupakan cucu dari Lamaddukkelleng. Lantaran kakek dari kakeknya adalah Talebbe Ali Arung Ujung adalah Ranreng Tua yang pernah memerintah di Ujung Kalakka, Tosora.
Tak heran jika Medio 2011, pihak kesultanan Kutai Kertanegara secara khusus memberikan gelar panglima tertinggi ‘Tumenggung Kapitan Jaya’ kepada Bupati Wajo, H.Andi Burhanuddin Unru. Ritual pemberian gelar didahului dentuman meriam di Pendopo Kerajaan Kutai Kertanegara In Martadipura tersebut dilakukan langsung oleh pemangku kerajaan KutaiSri Sultan H.Adji Mohammad Solehuddin 2.
Pemberian gelar tersebut dilakukan, setelah sebelumnya pihak Pemerintah Kukar melakukan kunjungan ke Kabupaten Wajo dan berziarah ke makam Sultan Adji Muhammad Idris di kompleks makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng. Diperoleh keyakinan yang kuat, sejak masa lalu ada hubungan kekeluargaan yang sangat erat masyarakat di Kabupaten Wajo dengan penduduk di wilayah Kutai Kertanegara.
[caption id="attachment_165690" align="alignleft" width="307" caption="Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, karya pelukis supranatural Drs.Bachtiar Hafid/Ft: Mahaji Noesa"]
Dalam riwayat perjuangan Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, sangat jelas paparan dengan bukti kesejarahan yang kuat bahwa anak dari pasangan Mata Esso Lamadettia Arung Peneki (ayah) dan We Tenri Ampa (ibu) ini kawin dengan seorang puteri bangsawan Kutai. Lamaddukkelleng diperkirakan sudah menjelajah di wilayah Pasir, Kutai tahun 1714.
Mungkin itulah sebabnya Lamaddukelleng yang pasukan armada lautnya sangat ditakuti pihak Belanda pada abad XVII di perairan Indonesia Timur, perairan Filipina dan Selat Malaka, juga dapat diangkat sebagai Sultan Pasir alias Arung Pasere. Memerintah selama sekitar 10 tahun(1726 – 1736), sebelum ia kembali menjadi Arung Wajo (Raja Wajo)di kampung halamannnya (kini wilayah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) dari tahun 1736 – 1740.
Sultan Adji Muhammad Idris yang memerintah sebagai Sultan Kutai tahun 1732 – 1739 merupakan anak mantu, lantaran mempersunting salah seorang anak, puteri dari Lamaddukkelleng.
Ketika mertuanya, Lamaddukkelleng terdesak oleh serangan Belanda saat menjadi Arung Wajo, Sultan Adji Muhammad Idris meninggalkan tahtanya di Kutai datang ke Wajo bersama pasukannya untuk membantu perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Diiperkirakan pada awal tahun 1739.
Belum ditemukan data yang pasti apa penyebab Sultan Adji Muhammad Idris wafat. Namun sejarawan Unhas, Prof.Dr.H.A.Zainal Abidin Farid (alm) dalam bukunya ‘Kiat-kiat Kepahlawanan La Maddukkelleng Arung Matoa Wajo dalam Usaha Mengusir Orang-orang Belanda dari Makassar dalam peperangan melawan Belanda di Makassar’’ terbitan Pemkab Wajo (1994), memperkirakan Sultan terluka dalam suatu perang ketika dilakukan penyerangan terhadap Belanda di Makassar, lalu dibawa kembali ke Wajo, kemudian wafat serta dimakamkan di kampung halaman mertuanya.
Almarhum Sultan Adji Muhammad Idris yang kemudian tercatat dalam catatan lama di Sulawesi Selatan dengan gelarDarise Daenna Parasi Petta Kutai Petta Matinro ri Kawanne. Ada juga catatan yang menyebut Titian Aji dikaitkan dengan wafatnyaSultan Adji Muhammad Idris. Apakah nama itu merupakan sebutan lama yang menjadi lokasi tempat pemakaman yang kini menjadi komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng di Kota Sengkang atau lokasi dimana Sultan wafat ketika melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, masih dibutuhkan penelusuran data yang pasti.
Jika diperhatikan dari bentuk kelima makam yang ada di komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, maka boleh jadi makam Raja Kutai Sultan Adji Muhammad Idris yang pertama dikebumikan di lokasi tersebut. Tak hanya dilihat dari deretan makam Sultan yang letaknya paling utara, tapi juga dari bentuk makam yang terlihat dibuat lebih istimewa dari bentuk makam lainnya. Hal itu boleh terjadi, dengan asumsi, ketika Sultan Adji Muhammad Idris dimakamkan, sang mertua yang berkuasa sebagai Arung (Raja) Wajo, Lamaddukkelleng masih hidup.
Dalam seminar sejarah yang sudah dilakukan beberapa kali oleh Pemkab Kukar, termasuk pernah dilakukan di Kota Makassar menghadirkan narasumber sejumlah sejarawan nasional, disimpulkan perjuangan Sultan Kutai Sultan Adji Muhammad Idris sangat layak ditetapkan juga sebagai Pahlawan Nasional. Satu-satunya Sultan yang rela meninggalkan tahta kerajaan di Kutai untuk berjuang lintas daerah melawan kolonialis Belanda. Suatu sikap nasionalisme yang tinggi telah diperlihatkan Sultan Adji Muhammad Idris pada masanya. Sayangnya, usulan menjadikan Sultan Kutai ke-14 ini untuk menjadi Pahlawan Nasional belum juga tarsahuti oleh pemerintah pusat.
Mengenang perjuangan para raja-raja nusantara masa lalu, termasuk berkait dengan silsilahnya, menurut Bupati Wajo H.Andi Burhanuddin Unru bukan berarti kita akan kembali seperti jaman feodal atau jaman raja-raja dahulu.
‘’Tapi kita ingin kekuatan dan semangat persatuan nasional yang sudah diperlihatkan para leluhur masa lalu, dapat terus hidup menyemangati kondisi sekarang dalam membangun bangsa dan negara. Di Kabupaten Wajo khususnya, sejak dulu tidak dikenal pemimpin warisan. Karena itu dalam lambang daerah Kabupaten Wajo ada kutipan pesan leluhur yang dinyatakan dalam bahasa Bugis Maradeka To WajoE Ade’na Napopuang – Orang-orang Wajo itu hidup merdeka hanya adat atau aturan yang disepakati yang dipertuan,’’ jelasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H