Ketika 10 kabupaten/kota di Provinsi Aceh mengalami kesulitan pembiayaan membayar gaji pegawainya, sejumlah anggota DPR RI di Jakarta justru sibuk menggolkan anggaran sekitar Rp 1,1 triliun untuk membangun gedung kantor baru DPR-RI di Jakarta.
PETA INDONESIA/Ft: Google
Tak terdengar ada suara lantang dari wakil rakyat di DPR-RI termasuk dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam kaitan solusi atau petunjuk untuk mengatasi masalah keuangan yang dapat mengganggu jalannya pemerintah di Provinsi Aceh yang menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut.
Dan, ternyata tak hanya Aceh, menurut catatan Direktorat Anggaran Daerah ada 6 provinsi lainnya di Indonesia, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Maluku Utara sejak tahun 2010 lalu APBD-nya mengalami defisit murni (Kompas, 15/4/2011).
Selain itu, permasalahan berkaitan pembiayaan di APBD dialami Provinsi Bangka Belitung, 13 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Sementara ini, birokrasi pemerintahan daerah yang gemuk dinilai sebagai penguras besar APBD. Padahal perilaku korup aparat, nepotisme dan praktik-praktik kolusi di pemerintahan juga memberi banyak peluang bagi tergerogotinya APBD. Belum lagi akal-akalan di lingkungan birokrat yang seharusnya menjadi ‘Pelayan Rakyat’ justru banyak yang melakukan praktik ‘Penguras Rakyat.’
Terdapatbanyak proyek yang dibangun di sejumlah daerah (melalui pembiayan APBD) diprogramkan dengan tujuan meningkatkan pendapatan suatu daerah, justru hanya indah dalam rancangan nihil dalam kenyataan realisasi.
Bahkan ada proyek yang dibangun dengan pokok pikiran sebagai sumber penambah Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun setelah dibangun justru menambah beban anggaran. Sebagai contoh, pembangunan sebuah pabrik penggilingan padi dengan investasi lebih dari Rp 30 miliar di sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam kajian usulannya, pabrik tersebut dapat membantu terutama masyarakat petani dengan biaya giling padi yang murah dan menghasilkan beras kualitas. Namun dalam kenyataannya, setelah pabrik selesai dibangun petani tetap tak bergeser menggunakan mesin-mesin penggilingan lama. Alasannya, biaya giling di mesin giling baru justru lebih mahal, yang kualitas hasilnya tak jauh beda dengan mesin-mesin giling yang digunakan petani selama ini.
Akibatnya, mesin giling yang dibangun dengan investasi dari APBD tak berfungsi sebagaimana diharapkan dalam rancangan awal. Bahkan dalam beberapa tahun sejak dibangun justru menuntut adanya pembiayaan APBD sampai miliaran rupiah hanya sebagai biaya pemeliharaan, untuk menyelamatkan pabrik mesin giling padi itu tidak cepat menjadi ‘besi tua’. Akan tetapi sudah bertahun mandeg dan tak produktifnya mesin giling padi ini tak ada juga pihak yang menggugatnya.
Di balik proyek ini ada cerita pengejaran pengusulan proyek yang sesungguhnya tidak feasible namun tetap digolkan, lantaran adanya hitung-hitungan fee yang diperoleh dari alokasi anggarannya bagi orang-orang di lingkungan birokrasi. Termasuk, berkaitan dengan penjualan tanah milik ‘aparat daerah’ untuk dijadikan sebagai lokasi pembangunan pabrik giling padi tersebut.
Tidak sedikit pula cerita dari balik proyek APBD yang gigih diperjuangkan sebagai salah satu mesin pencetak uang PAD di daerah yang justru ketika selesai dibangun, hanya membebani APBD setiap tahun berkaitan dengan alokasi pembayaran cicilan utang dana pihak ketiga yang digunakan daerah membangun proyek tersebut.
Persoalan-persoalan seperti ini sebenarnya juga harus mendapat perhatian dari para anggota DPD dan DPR RI sebagai wakil rakyat. Masalahnya jangan sepenuhnya dilimpahkan kepada pemerintah daerah atau pihak DPRD setempat untuk mengatasinya. Apalagi kalau pihak Pemda dan fihak DPRD yang justru ikut bertingkah laku ‘miring’ dalam penetapan dan pemanfaatan APBD.
Provinsi Aceh, Sulawesi Tenggara, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat dan Maluku Utara sampai saat ini masih merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejumlah pajak yang dipungut dari daerah ini juga memberi kontribusi yang tidak kecil dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Termasuk dana sekitar Rp 1,1 triliun yang ngotot diperjuangkan bagi pembangunan gedung baru DPR-RI di Jakarta.
Melemahnya pendanaan APBD di sejumlah provinsi/kabupaten/kota di Indonesia saat ini, tentu saja, jika tak segera diatasi akan berpengaruh besar terhadap jalannya pemerintahan di daerah-daerah yang bersangkutan. Gilirannya, sudah pasti akan mengeroposkan Indonesia, negara yang kini birokrasinya masih menjadi lapangan empuk bermainnya para koruptor.
Anggota DPR-RI, lebih-lebih para anggota DPD harus memberikan stressing terhadap masalah melemahnya APBD di sejumlah daerah sebagai ancaman berbahaya yang muaranya dapat melemahkan semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Anggota DPD dan DPR-RI semestinya langsung menampik ucapan dari pejabat eksekutif yang menyatakan defisitnya APBD menjadi tanggung jawab penuh daerah untuk mengatasinya. Bagi anggota DPR-RI seharusnya mau menutup persoalan gonjang-ganjing penolakan terhadap pembangunan kantor baru DPR-RI bernilai lebih Rp 1,1 triliun, dan konsen membantu mencarikan solusi mengatasi masalah defisit APBD yang dihadapi sejumlah daerah, termasuk berupaya mencegah agar defisit tidak meluas ke daerah lainnya.
Indonesia sekarang ini terdiri atas 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota. Pajak rakyat dan penghasilan sumberdaya alam dari daerah-daerah itulah yang memberikan kontribusi terhadap APBN. Termasuk yang digunakan untuk membayar gaji semua aparat pemerintahan, serta para anggota legislatif Indonesia di semua tingkatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H