Salah satu dinamika khas kehidupan warga di Kota Kendari, ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, kita dapat menyaksikan penjual sayuran dan lauk-pauk lesehan menggelar barang dagangannya di tepi-tepi jalan, emper-emper toko dan perkantoran, serta di mulut-mulut gang atau lorong yang padat permukiman. Menariknya, panorama tersebut hanya dapat disaksikan antara pukul 5 hingga pukul 7 pagi hari.
[caption id="attachment_340275" align="aligncenter" width="560" caption="Salah satu Mbak Sayur Lesehan pagi hari di poros Wuawua, kota Kendari/Ft: Mahaji Noesa"][/caption]
Keberadaan penjual sayuran dan lauk-pauk tersebut sangat disenangi khususnya oleh kalangan ibu-ibu rumah-tangga, lantaran mereka tidak perlu lagi harus bersusah payah ke pasar guna memperoleh sayuran segar dan bumbu-bumbu masak.
Para penjual sayur lesehan tersebut umumnya telah memiliki lokasi berpencar secara personal terutama lokasi tepi jalan sepanjang lebih dari 20 kilometer di Kota Kendari yang membentang dari arah Lepolepo (selatan kota) hingga Kendari Caddi (Kota Lama). Kesibukan kelompok ibu-ibu mengelilingi penjual sayur lesehan langganannya menjadi pemandangan menarik sebelum jalan-jalan protokol di Kota Kendari sibuk dengan kepadatan lalu-lalang kendaraan.
Penjual sayur lesehan seperti itu, menurut cerita ibu-ibu sekitar lapangan Benubenua, Kota Kendari sudah ada sejak tahun 80-an. Warga Kota Kendari sejak awal kehadirannya hingga saat ini menyebut para penjual sayur lesehan sebagai Mbak Sayur, karena para penjualnya umumnya wanita yang berasal dari lokasi permukiman transmigrasi asal Pulau Jawa dan Bali yang dimukimkan di arah selatan Kota Kendari dalam masa kepemimpinan Presiden Soeharto.
Sebutan Mbak Sayur tetap melekat sekalipun saat ini tampak para penjual sayur lesehan tersebut sudah banyak yang didampingi para suami saat berjualan.
Awalnya, jelas seorang ibu, langganan penjual sayur lesehan di pojok Jembatan Kendari Caddi, mbak-mbak penjual sayur lesehan di Kota Kendari umumnya berasal dari wilayah permukiman transmigrasi Landono (sekarang masuk wilayah kabupaten Konawe Selatan) sekitar 50 km arah selatan Kota Kendari. Tapi sekarang, katanya, sudah banyak juga dari lokasi permukiman transmigrasi lainnya seperti dari Konda, sekitar 20 km selatan Kota Kendari.
Dahulu, kenang seorang ibu yang sedang berbelanja sayur lesehan pagi hari di emperan toko depan Hotel Hilton, Wuawua, Kendari, para penjual sayur lesehan benar-benar hanya menjual berbagai jenis sayuran. Kini, juga mereka sudah menjual jenis lauk-pauk lain seperti tahu, tempe, hingga ikan asin. Umumnya ibu-ibu menyatakan harga jual dagangan para penjual sayur lesehan tidak jauh beda dengan harga di pasar-pasar umum.
[caption id="attachment_340278" align="aligncenter" width="560" caption="Penjual sayur lesehan di tepi poros jalan kota Kendari/Ft: Mahaji Noesa"]
Dahulu, jelas seorang Mbak Sayur yang meleseh di mulut sebuah lorong dekat kantor PLN Wuawua Kota Kendari, para penjual sayur benar-benar masuk Kota Kendari untuk menjual hasil kebunnya berupa sayur-mayur, buah-buahan, kacang-kacangan, dan umbi-umbian.
Sekarang, cerita Mbak Sayur yang mengaku berasal dari lokasi permukiman transmigrasi Desa Cialam Jaya, Konda, Kabupaten Konawe Selatan, semua sudah berubah. ‘’Hasil kebun yang dibawa paling sayur kangkung atau bayam. Selebihnya kita beli di Pasar Baruga. Mana ada ikan asing atau tempe dihasilkan di kebun,’’ katanya, lalu ngakak.
[caption id="attachment_340279" align="aligncenter" width="560" caption="Penjual sayur lesehan di pojok Lampu Merah Wuawua - Lepolepo kota Kendari/Ft: Mahaji Noesa"]
Dia mengatakan, sejak pukul 3 dinihari bersama rekannya setiap hari sudah meninggalkan Konda untuk berbelanja barang jualan di Pasar Baruga, yaitu pasar sayur dan hortikultura di wilayah selatan Kota Kendari. Setelah mengatur barang dagangan ia bersama 8 orang temannya diantar ke lokasi masing-masing tempat berjualan di Kota Kendari menggunakan mobil mikrolet langganan yang ditumpangi dari Konda. Mereka masing-masing membayar ongkos sewa Rp 15.000 per orang. Untuk pulang siang hari, masing-masing mencari mobil tumpangan umum dengan ongkos Rp 20.000.
Setiap penjual Mbak sayur lesehan melengkapi diri dengan bakul gendong. Pukul 7 pagi ketika toko dan kantoran mulai dibuka, tanpa dikomando para Mbak Sayur berkemas untuk segera meninggalkan lokasi jualannya masing-masing. Jika barang jualan belum habis, mereka terlihat masuk keluar permukiman menjajakan jualannya sebagai pedagang sayur bakulan.
Seorang Mbak Sayur mengaku, hasil dari jualan sayur secara lesehan setiap hari untungnya minimal dapat membeli gula dan kopi serta seliter beras. ‘’Belum ada yang berubah, sejak jaman Presiden Soeharto sampai Presiden Jokowi sekarang, tapi sudah beginilah kehidupan nasib warga trans yang harus disyukuri,’’ katanya, kemudian melayani seorang ibu yang mampir berbelanja mengendarai sedan berwarna putih.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H