Itu namanya nasionalisme terpaksa. Nasionalisme yang dilakukan tidak benar-benar dari hati. Kamu tetap berdiri tegak karena takut dihukum guru, atau takut dicap jelek lingkunganmu. Bukan karena rasa banggamu terhadap perjuangan pahlawan, bukan karena banggamu terhadap bangsa ini.
Semoga hanya saya yang berpikir demikian ya. Karena kalau tidak, berarti upacara bendera di Indonesia selama 67 tahun ini hanya proses formalitas yang memaksa kamu untuk menjadi robot penurut yang berbaris rapi menghadap jahitan kain merah putih.
Saat menulis tulisan ini, saya mendamba sebuah upacara bendera yang dimana justru pesertanya lah yang semangat untuk mengikuti jalannya upacara bendera, sesemangat seorang anak yang akan mendapatkan handphone baru dari Ayahnya.
Saya juga ingin upacara bendera yang dimana perangkat upacaranya sangat bangga bisa berada di depan mengatur jalannya upacara, sebangga seorang anak yang bisa menaikkan haji orang tuanya.
Selain itu, saya juga rindu merasakan panasnya kobaran api semangat peserta upacara karena dibakar pidato upacara yang menggelegar, semenggelegar suasana Istana Rahwana di Alengka Pura yang dibakar Sang Hanoman.
Pertanyaannya, kapan upacara bendera di Indonesia bisa seperti itu?
Mungkin nanti, saat orang-orang di Indonesia ini sadar bahwa upacara bendera bukan soal seberapa sering dilakukan, tapi seberapa penting untuk dilakukan. Pengertiannya seperti ini, saat ini upacara bendera dilakukan terlalu sering tanpa menjaga kesakralan upacara tersebut. Alhasil, upacara dilakukan dengan persiapan seadanya, tidak ada beban dan rasa tanggungjawab untuk mengadakan sebuah upacara bendera yang berkualitas. Contoh kecil, perangkat upacara dipilih secara asal hanya berdasarkan jadwal piket, dengan apresiasi terhadap perangkat upacara yang tidak terlalu besar. Pemberi pidato dalam upacara juga dipilih secara asal, mentok-mentok untuk kasus dalam sekolah yang dipilih untuk pidato adalah  kepala sekolah, wakil kepala sekolah, atau guru yang senior.
Ini ada sedikit saran yang bisa dipakai untuk mewujudkan harapan upacara bendera di masa depan yang berkualitas, berlaku untuk tingkat nasional sampai tingkat sekolah terpencil sekali pun.
- Upacara bendera dilakukan paling banyak 12 kali dalam setahun (misal sebulan hanya sekali), sehingga persiapan upacara bendera bisa dilakukan dengan matang.
- Perangkat upacara diseleksi dengan ketat, semuanya berhak mengikuti seleksi, tidak hanya anggota Paskibraka. Peserta yang terpilih mendapat apresiasi yang besar, misal untuk tingkat pelajar, setiap perangkat upacara di masing-masing sekolah di setiap kabupaten/kota akan mendapatkan piagam penghargaan yang ditandatangani bupati atau walikota, dimana piagam ini merupakan salah satu yang akan dipertimbangkan ketika melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Kalau sudah begini, menjadi perangkat upacara, meskipun hanya di tingkat sekolah, tetap akan menjadi sesuatu yang membanggakan dan diperebutkan.
- Pemberi pidato dalam setiap upacara juga harus dilatih dan diseleksi sebagaimana perangkat upacara, karena pidato inilah alat yang bisa digunakan untuk menyiram api generasi muda dengan bensin optimis terhadap bangsa ini. Oleh karena itu hal yang penting diperhatikan selain substansi pidato tersebut adalah penyampaian pidato berupa intonasi, tinggi rendah suara, gestur tubuh, dan lain lain, agar peserta upacara tidak ngantuk dan mengeluh kapan upacara akan selesai.
- Tinggalkan cara lama protokoler upacara yang membosankan. Masih betah dengan cara-cara basi rangkaian protokoler upacara? Kenapa tidak menggunakan cara baru yang lebih "nasionalis"? Misalkan saat masuknya pemimpin upacara dilakukan dengan memasukkan unsur budaya lokal setempat, seperti dengan menggunakan Reog Ponorogo khas Jawa Timur. Atau saat mengheningkan cipta, diganti dengan menonton video 10 menit yang dramatis tentang perjuangan para pahlawan Indonesia. Dan jangan lupa menekankan, pahlawan bukan hanya para pejuang kemerdekaan, tapi ada juga pahlawan setelah kemerdekaan, misal Atlet atau tokoh seperti Pak Raden. Bukankah hal seperti ini yang bisa membangkitkan rasa nasionalis?
Intinya adalah, buatlah upacara bendera menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu, sesuatu yang sakral, dan sesuatu yang membanggakan. Jangan lupa mengenalkan seni budaya lokal dengan menyisipkannya dalam rangkaian upacara bendera.
Stop melakukan hal yang menimbulkan citra bahwa NASIONALISME adalah MEMBOSANKAN. Dobrak cara lama, mari bangun NASIONALISME yang lebih segar!
Sudah pagi, mata ini sudah ga kuat menulis lebih lama lagi. Semoga upacara bendera Senin pagimu menyenangkan. Sekian terima kasih.