Mohon tunggu...
Mahadir Mohammed
Mahadir Mohammed Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Mahadir Mohammed; seorang penggiat literasi (kembul.id) di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Di Momentum Pilkada 2020, Mahasiswa Berpihak kepada Siapa?

20 September 2020   21:15 Diperbarui: 20 September 2020   21:27 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

DI MOMENTUM PILKADA 2020,"MAHASISWA" BERPIHAK KEPADA SIAPA?

Oleh : Mahadir Mohammed

"Indonesia tidak tersusun dari batas peta, tapi gerak dan peran besar oleh kaum muda".
(Najwa Shihab)

Menjadi mahasiswa bukan berarti hanya belajar digedung-gedung akademisi nan megah saja. Saban hari hanya mendengar ceramah para dosen yang kadang-kadang mulai lupa terhadap realitas yang terjadi diluar sana. Menjadi mahasisawa memiliki beban moral yang kadang-kadang  melebihi daya tampung pundaknya sendiri. Memiliki misi peradaban, misi perubahan yang orientasinya terhadap masa depan. Yang bukan hanya berfikir dalam skala 5 tahunan, tetapi berpikir dalam skala peradaban.

Jika sedikit kita refleksi sejarah, lahir gerakan terpelajar pada era kebangkitan nasional 1908, sebagai respon terhadap keterbelakangan. Gerakan kaum terpelajar pada momentum sumpah pemuda 1928, sebagai respon terhadap kolonialisme. Kemudian muncul gerakan terpelajar pada tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1998, sebagai respon terhadap ototarianisme Orde Baru.

Baiklah, pembaca yang budiman. Saya tidak mau kita berlarut-larut dalam romantimse sejarah. Mari kita sadar, buka mata dan fikiran untuk melihat realitas hari ini. Dulu para mahasiswa  begitu kritis, reaktif dan berani. Bagaiman dengan peran mahasiswa sekarang? Peran dan kontribusi apa yang telah diberikan? Akankah mahasiswa juga ikut diam-diam saja dalam momentum Pilkada 2020 mendatang? Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut mari kita telurusi tulisan saya ini.

Hari ini para mahasiswa penuh dengan perhitungan, sehingga terkadang menghilangkan nalar dalam membaca realitas sosial. Memang tidak adil memandingkan satu generasi dengan generasi lainnya, karena situasinya sudah berbeda. Tapi walaupun ruang dan waktu sudah berbeda oleh perkembangan zaman, ada hal yang tidak boleh berubah dari mahasiswa. Tidak boleh hilang lenyap begitu saja, yaitu semangat. Semangat perjuangan dalam setiap hembusan nafasnya haruslah sama, dari satu generasi kegenerasi berikutnya.

Melihat penyelenggaraan pilkada yang akan dilaksanakan, bertepatan pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang, ini merupakan pilkada paling berat dalam sejarah pilkada yang ada dibangsa kita, karena kita menghadapi dua tantangan besar. Pertama; tantangan pandemi dan kedua; tantangan ekonomi.

Oleh karena itu. Mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah harus ambil peran di dalam situasi yang dipandang tidak aman. Mahasiswa harus berpihak terhadap keadaan. Dalam situasi seperti ini, mahasiswa tidak boleh berdiam diri, harus melakukan kontrol terhadap jalannya demokrasi, karena mahasiswa sebagai kaum intelektual yang diharapkan mampu  berfikir secara kritis di tengah krisis. Mandat terbesar mahasiswa adalah sebagai penyambung aspirasi, terutama dalam momentum pilkada ini.

Melihat situasi sepeti ini, mahasiswa sebagai salah satu komoditi terbesar di negeri ini yang jumlahnya mencapai 7 juta jiwa. Sudah sepatutnya angkat bicara untuk berpihak. Dan memang tidak ada salahnya di dalam iklim demokrasi jika mahasiswa berpihak. Mahasiswa tidak boleh netral. Tapi disini perlu ditegaskan bahwa, keberpihakan mahasiswa haruslah kepada kebenaran, karena kebenaran adalah ide dan jalan juang perjuangan mahasiswa.

Aspirasi yang disampaikan mahasiswa bukanlah aspirasi yang membuat mahasiswa terlibat objek para politisi, menjadi objek partai politik dan mudah terlibat politik praktis.  Politiknya mahasiswa sejatinya adalah politik nilai. Nilai seperti apa? Tentu nilai yang ditangkap atas keresahan bersama ditengah-tengah masyarakat, bukan golongan-golongan tertentu.

Memang di dalam negara demokrasi kita memiliki hak dipilih dan memilih, sudah dijamin di dalam konstitusi, seperti yang tertuang didalam UU Nomor 39 Tahun 1999, pasal 43 ayat 1. "Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih..". Bunyi pasal tersebut sudah jelas ada jaminan secara yuridis yang melekat bagi setiap warga negara untuk melaksanakan hak keberpihakannya kepada siapapun.  

Namun, hal itu bukan berarti dengan semena-mena mengatas namakan suatu entitas untuk mudah berpihak kepada partai politik. Terutama bagi mahasiswa. Jika hal itu yang terjadi, maka mahasiswa akan mudah menjadi corong partai, akan menjadi kacung bagi kekuasaan. Yang tentunya hal ini mengingkari sejarah dan peran independensi gerakan mahasiswa secara keseluruhan. Dan akhirnya sama saja mahasiswa seperti politisi, yang bersuara atas kepentingan politis. Yang berteriak lantang bukan karena keresahan masyarakat secara keseluruhan, tapi karena suruhan oleh kaum elit yang mengincar kekuasaan.

Bicara tentang pilkada artinya berbicara mengenai keberpihakan hak suara. Dan tentunya keberpihakan suara mahasiswa itu haruslah kepada rakyat. Bukan kepada partai politik.


Dalam hal ini saya tidak menyalahkan jika ada sebagian mahasiswa yang mengunakan entitas kemahasiswaannya untuk mengkampanye calon-calon tertentu atau bersekutu dengan kubu manapun dalam kontestasi pilkada. Namun, tidak etis rasanya sebagai kaum intelektual terlibat politik partisan. Ini bisa menghianati sejarah pergerakan mahasiswa dalam perjalanan sejarahnya, yang selalu berusaha untuk selalu berada di tengah-tengah dari partai politik maupun dengan kekuasaan. Jika ada gerakan mahasiswa seperti itu, berarti mahasiswa tidak punya pengetahuan untuk melihat politik sebagai ranah nilai yang ideal.

Gerakan mahasiswa harus menjadi gerakan yang profesional. Ranah profesional disini bukan menjadikan mahasiswa sebagai broker politik salah satu calon. Malah jika itu yang terjadi, sama saja mahasiswa melanjutkan tradisi lama dari pada aktivis 98 yang banyak mengambil jalur-jalur menjadi broker para calon. Jika tradisi itu yang dilanjutkan, maka hal ini bisa menjadi masa depan suram bagi mahasiswa sebagai sebuah gerakan. Yang kehilangan orientasi dan ketinggalan zaman. Dan banyak terlibat dengan politik praktisan.

Mahasiswa tetaplah harus menjadi gerakan yang strategis, gerakan pertengahan yang menjadi Changes in Balance bagi partai politik ataupun kekuasaan, di tengah carut marut politik yang dipandang meresahkan. Jika masyarakat sudah mulai kehilangan kepercayaan terhadap tingkah laku para politisi terutama pada saat menghadapi pandemi. Setidaknya ada gerakan kaum terpelajar yang selalu berpihak dan membersamai masyarakat dalam kegelisahan. Dan memang itulah tugas sejatinya mahasiswa. Selamat berjuang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun