Mohon tunggu...
Mahadi Sitanggang
Mahadi Sitanggang Mohon Tunggu... Jurnalis - Seorang jurnalis

Jurnalis Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Medan Tinggal di Pematangsiantar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Becak Siantar

5 Februari 2016   00:35 Diperbarui: 5 Februari 2016   01:16 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Becak Siantar, Kereta Perang di Jalur Kenangan

BSA -- Birmingham Small Arms -- kereta perang besutan Inggris di era tahun 1937 sampai 1956 itu ternyata bukan satu-satunya jenis kendaraan perang yang pernah mengaspal di jalanan Kota Pematangsiantar. Kompatriotnya sebagai sepeda motor tangguh buatan Inggris untuk kepentingan militer, juga pernah menderu memberi warna di Kota Pematangsiantar.

Sayangnya, umur kereta perang itu tidak setangguh BSA yang sejak tahun 1956 sudah menjadi angkutan umum roda tiga, becak. Perjalanan mesin-mesin perang yang menghiasi jalanan Kota Pematangsiantar itu masih melekat kuat dalam kenangan Muhammad Darwin (63), penduduk Jalan Seram Kelurahan Bantan Siantar Barat.

Semangatnya berputar kencang saat menceritakan sejarah mesin-mesin itu menjadi angkutan umum yang melegenda menjadi “Becak Siantar”.

“Sekarang yang ada tinggal BSA. Namun dahulu bukan ini saja jenisnya yang jadi becak atau milik pribadi. Ada Triumph 750 cc, Albert John Stevens (AJS), Matchless, Ariel dan Norton. Semuanya keluaran Inggris,” kenangnya. Tidak adanya ketersediaan suku cadang mesin-mesin itu, kata dia, menjadi cikal bakal kepunahannya hingga nyaris tidak ada tersisa satupun di Pematangsiantar.

Suku cadang mesin-mesin itu memang tidak bisa dimodifikasi dengan suku cadang mesin sepeda motor yang lain.

“Itulah sisi kelemahannya. Jika suku cadangnya rusak, kami mencari bangkai dari kendaraan sejenis. Onderdil yang bisa digunakan, itulah yang dipasang. Demikian seterusnya, sampai akhirnya tidak ada lagi bangkai kereta sejenis untuk menyuplai kereta yang rusak. Akhirnya semua kereta itu – selain BSA – hilang dari Pematangsiantar,” ungkap pemilik BSA berkapasitas 600 cc itu.

Meniru Mobil ABRI GAZ Buatan Rusia

Tidak seperti kebanyakan becak di seantero tanah air, dengan gandengan terbuka atau penutupnya dapat dilipat, becak Siantar memiliki gandengan dengan penutup permanen berbahan terpal sebagai atap, bagian depan terdiri dari plat besi dengan kaca di sisi depan dan bagasi terbuka di bagian belakang.

Bentuk yang bertahan sampai sekarang itu, idenya datang dari seorang pemilik Becak bernama Pak Kampret. “Awalnya becak Siantar juga seperti becak-becak lainnya. Terbuka dan dapat dilipat. Namun tahun 1959, senior kami Almarhum Pak Kampret, mendapatkan ide dari mobil dinas ABRI waktu itu. Kalau tidak salah, waktu itu ABRI ada menggunakan kendaraan Jip GAZ buatan Rusia. Dari bentuk mobil inilah, Pak Kampret memulai idenya dan mendapat dukungan semua kawan-kawan. Jadilah bentuk becak Siantar seperti sekarang ini,” jelas Muhammad Darwin.

Seiring waktu, pemilik dan peminat becak BSA semakin banyak di Pematangsiantar. Tidak tanggung-tanggung, BSA dalam jumlah besarpun didatangkan dari pulau Jawa. Keterlibatan rekan-rekan mereka yang waktu itu bertugas di militer, punya andil besar mendatangkan mesin-mesin perang itu ke Pematangsiantar.

“Waktu itu kami punya teman yang bertugas di militer. Dari dia inilah kami mendapatkan informasi, kalau BSA, Triumph, Norton, Ariel dan AJS bisa didapatkan dengan mudah di pulau Jawa. Perburuanpun dimulai, sampai akhirnya Siantar menjadi gudang BSA untuk Indonesia,” kenang dia lagi.

Namun sebelum ide Pak Kampret itu datang, ide menjadikan kereta-kereta perang itu menjadi angkutan roda tiga datang dari seorang putra Batak. Sayangnya, Muhammad Darwin lupa marga dari pemilik ide itu.

“Ide memasang gandengan untuk penumpang itu datangnya dari teman kami, orang Batak. Tapi saya lupa, apa marganya. Penyempurnaannya seperti sekarang ini, dari Pak Kampret,” ujarnya.

Spare Part Motor Jepang dan Truk

Seiring waktu berjalanan, kereta-kereta perang itu semakin tua. Satu persatu, spare partnya mulai aus dan tidak berfungsi. Perlu peremajaan agar suara khas bariton BSA dan kompatriotnya yang lain itu bisa menjadi angkutan yang ditunggu-tunggu setiap hari di persimpangan jalan.

“Kami mulai susah mencari spare partnya. Selain memang sudah tidak ada lagi dijual, spare part dari bangkai mesin sudah habis semua. Namun kami tidak putus asa. Khususnya untuk BSA, kami akhirnya menemukan solusi mengatasi kelangkaan suku cadang ini,” terang Muhammad Darwin yang juga mekanik untuk mesin BSA.

Untuk urusan piston dan block-nya, pemilik maupun mekanik BSA dapat menggunakan piston dan block mesin mobil buatan jepang. Demikian juga dengan kain kopling dan kampas rem, milik salah satu jenis truk bisa mereka modifikasi dan cocok untuk BSA mereka. “Untuk yang benar-benar baru ada juga tapi bukan khsusus untuk BSA. Seperti rantai sepeda motor jepang ada yang cocok untuk BSA. Tali rem dan tali kopling Vespa sangat cocok untuk BSA. Selain panjang, juga sangat kuat. Untuk platina dan karbu, suku cadang motor jepang ada yang cocok, tapi berpengaruh pada tenaga maupun konsumsi bahan bakarnya,” tuturnya.

Tergeser Sepeda Motor Jepang Hingga Kehilangan Identitas

Jumlah becak Siantar – BSA – yang pernah tercatat di tahun 1990-an ada sekira 1986 unit, dengan silinder 250 cc, 350 cc, 500 cc sampai 600 cc. Waktu itu, Zulkifli Harahap sebagai Wali Kota Pematangsiantar dikenal sangat peduli dengan nasib BSA terlebih penarik BSA – abang becak.

“Kami dikumpulkan waktu itu sekalian dicatat total BSA yang ada di Siantar. Itu masih jumlah yang tercatat. Belum yang tidak tercatat. Tapi sekarang mungkin sekitar 200 unit saja,” kenang Darwin.

Seorang rekan Darwin, yang ditemui saat menunggu sewa di seputaran Jalan Diponegoro Pematangsiantar, juga mulai prihatin dengan eksistensi si kereta perang pemberi nafkah itu.

“Sudah mulai sedikit jumlah kami. Kalau adapun, keretanya bukan BSA. Sudah banyak yang menggunakan sepeda motor baru buatan jepang dan cina. Mungkin faktor sulitnya suku cadang tadi, mereka beralih membeli kendaraan yang masih baru,” ujar Pak Dudung (71) sedikit lesu.

Kehadiran mesin-mesin baru itu, kata dia, tidak bisa dilarang. Apalagi pemiliknya juga rekan-rekan mereka yang sebelumnya menunggangi BSA. Walau dia akui, nilai sejarah akan identitas becak Siantar tidak sama antara BSA dengan merk jepang sekarang. “Inikan peninggalan perang dunia II, sudah pasti sangat bersejarah. Banyak turis asing yang datang ke Siantar ini bedecak kagum setiap naik becak saya. Terlebih kalau dia dari Inggris. Soalnya, mereka tahu. Pabriknya saja sudah lama tutup di sana, tapi di sini mesinnya masih mampu mengejar mobil,” ujar Dudung yang memiliki nama lengkap Abdullah Sani itu.

Walau mulai tergeser produk Jepang dan mereka tidak mampu berbuat apapun untuk menyelamatkan BSA, kedua senior soal BSA di Siantar itu prihatin dengan semakin hilangnya ciri khas becak Siantar. “Salah satu ciri becak Siantar itu ada pada warnanya. Dominan biru dan kuning dengan warna merah, hijau dan coklat menghiasi.

Namun sekarang, dampak dari tidak adanya perhatian pemerintah, masuklah perusahaan seluler. Dicatlah becak-becak itu mengikut warna khas mereka. Hilanglah salah satu atribut yang menjadi identitas becak Siantar. Saya hanya bisa bersedih melihatnya. Apalagi teman-teman pasti disodorkan sejumlah uang untuk merubah warna itu. Itu pilihan yang tidak bisa diganggu. Mungkin karena menyangkut kebutuhan hidup,” kata Darwin.

Tinggal 5 sampai 10 Tahun Lagi untuk Bertahan

Banyaknya peminat BSA untuk koleksi pribadi, menjadi tantangan besar sekarang ini. Situasi itu diperkeruh dengan semakin sulitnya konsumen pengguna jasa becak. Angkutan umum yang sudah memasuki jalan-jalan sempit dan sepeda motor yang mudah didapat dengan cara kredit, menjadikan becak Siantar lebih sering menjadi jilatan matahari di pinggiran jalan.

“Kalaupun bisa bertahan paling lama 5 sampai 10 tahun. Soalnya banyak yang mencari BSA ini. Harga termurah saja sekarang dalam kisaran Rp 25 juta dan yang pernah saya dengar, milik teman saya bisa terjual Rp 80 juta,” ujar Pak Dudung.

Besarnya angka untuk satu unit BSA itu, dikuatirkan akan menggoda para pemilik BSA untuk menjualnya dan menggantikan dengan becak besutan Jepang atau Cina yang bisa ditebus jauh lebih murah. “Bertahan dari godaan itu, satu-satunya cara menyelamatkan BSA dari Siantar. Namun sampai kapan bisa bertahan, karena godaan uang dalam jumlah yang cukup besar terus berdatangan. Namun saya sudah tekadkan, sebesar apapun tawaran itu, menjual BSA tidak akan saya lakukan,” tegas Darwin yang mengaku BSA-nya pernah ditawar Rp 60 juta oleh seorang kolektor.

Mesin-mesin tangguh dengan suara gahar seperti Triumph, Ariel, AJS, Norton, Matchless hanya kenangan bagi pemilik BSA. Era modern, kejayaan mesin-mesin kemenangan pasukan tempur Perang Dunia II itu masih bisa tergambar dari saudaranya -- Birmingham Small Arms (BSA) – yang masih mempertontonkan keangkeran dan keangkuhannya mampu melewati pergantian zaman.

Mesin-mesin sebagai saksi dan juga bagian dari pelaku kekejaman perang itu mulai tergilas mesin modern. Godaan rupiah para kolektor mulai meredupkan semangat melestarikan BSA sebagai ciri kendaraan di Pematangsiantar.

Kereta perang yang dahulu penuh gempita kemenangan itu menderu di jalur untuk dikenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun