Mohon tunggu...
Mohamad AB
Mohamad AB Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan

Menulis untuk bertutur kata...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama featured

Membaca Fenomena Sosial yang Mencekam dari Arus Mudik

22 Juli 2015   22:52 Diperbarui: 30 Juni 2016   14:06 6707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya belum tuntas kita berlebaran, tak terasa kini sudah diajak terburu buru untuk bersiap pulang kembali balik ke Ibu kota, menjadi peserta arus balik. Tak beda dengan arus mudik, arus balik tetap menjadi fenomena sosial yang menarik. Sorotan media banyak mengarah pada gegap gempita nya arus balik ini, saksikan segala hiruk pikuknya bisa jadi malah lebih grengseng daripada arus mudiknya. Kenapa bisa terjadi ?

Karena alasan klasik kalau pemudik pulang pasti membawa kawan untuk merantau ke Ibu Kota,nah jika satu orang membawa satu kawan dan jika sampai satu juta pemudik membawa temen berarti akan terjadi penumpukan arus balik sampai dua kali lipatnya atau lebih.

Bicara soal dampak arus mudik, kita bisa bedakan dua macam, dampak positif dan dampak negatif. Dampak potitifnya antara lain:

1. Secara sosiologis, meningkatkan ketahanan bangsa

Bangsa yang kuat tercipta dari keluarga yang kuat, keluarga yang kuat tercipta dari pribadi yang kuat. Berarti masing masing kita adalah penentu kekuatan sebuah bangsa.Membuat desain kekuatan bangsa tidak akan lepas dari peran kita selama ini, jika kita abai dengan budaya hidup berkeluarga, bersifat cuek, masa bodoh dan tidak peduli sesama anggota keluarga maka persatuan keluarga akan terancam, maka jika ini secara keseluruhan dialami sebuah bangsa maka akan tercipta kelemahan sebuah bangsa. 

Sehingga silaturrahmi menjadi perekat dan menciptakan ketahanan bangsa.Paling mudah jika kita masing masing keluarga mengalami perpecahan,pertikaian dan itu terjadi secara massal maka tentu akan melemahkan ketahanan bangsa secara keseluruhan.

2. Secara ekonomi memajukan Roda Perekonomian daerah sekitar

Jika pemudik datang kita baru akan merasa grengsengnnya dari sikapnya yang dermawan lihat saja,jika mereka  memberikan dana tali asih kepda sanak famili, keluarga terdekat. Jika satu pemudik bisa memberikan dana kepada lima orang misalnya maka tidak bisa dibayangkan jika sajua juta pemudik maka akan melahirkan kebahagiaan bagi lima juta penduduk kampung disekitarnya. Inilah efek langsung pemudik bagi perekonomian desa setempat.Nah efek berantai ini akan tercipta jika dana tali asih ini dibelanjakan dilingkungan desa setempat.

Multiplayer efek ini bisa dirasakan para pedagang, penjual jasa, industri makanan,industri kerajian tangan,usaha perhotelan, hiburan, tempat wisata dll. Bahkan jika kita bisa menanyakan beberpa bank lokal yang berada disekitar warga asal pemudik maka akan lebih bisa menjelaskan seberapa besar dana yang dikucurkan ke daerah dari para pemudik di Kota Besar melalui jasa tranfers dan jasa pengiriman uang lainnya.

3. Menciptakan kesinambungan Generasi Pekerja

Kita sering menyaksikan kehidupan pekerja ketika mudik kekampung ,apa yang dilakukan? Ternyata setelah mereka melakukan prosesi mudik seperti yang lainnya ketika mereka pulang balik ternyata akan membawa kawan untuk bekerja di Ibukota.Fenomena ini bisa disebut menciptakan tenaga kerja baru lagi,atau bisa disebut regenerasi secara alamiah.

4. Pendidikan langsung bagi para keluarga pemudik

Pemudik yang yang berhasil mengadu untung hidup diIbukota akan menjadi contoh yang baik dan panutan bagi para anggota keluarga yang ditinggalkan dikampungnya setidaknya para calon pekerja migran, yang akan menyusul bekerja merantau di Ibu kota. Sering secara tidak langsung para pemudik ini mendidik tentang kiat kiatnya supaya bisa sukses mengadu untung dan menaklukan ganasnya Ibu kota. 

Nah yang paling terasa ialah pemudik ini juga menjamin kelangsungan pendidikan keluarganya yang ditinggalkannya sebai bukti sikap kepeduliannya dan menunjukkan kesuksesannya menjadi pekerja di Ibukota. Maka caranya sangat positif dengan langsung tanggap memberikan solusi jika mengalami kesulitan biaya pendidikan. Misalnya dengan memberikan beasiswa, biaya pendidikan, biaya sekolah bagi para anggota keluarga, sanak famili, keluarga besarnya.

Sementara dampak negatif yang sering muncul antara lain:

1. Budaya negatif Ibukota terbawa ke kampung

Mudik adalah pulang kampung nah bagi para pemudik yang mestinya tetap diingat adalah norma yang biasa berlaku dikampung akan tetap berlaku dan tidak berubah meskipun lama sudah ditinggalkan. Sedang kebiasan yang dilakukan di Ibukota sangat berbeda dari asalnya dikampung. Ada kebiasan buruk yang menjadi tradisi negatif yakni pola pergaulan bebas,sikap berpakaian yang kurang nomatif dll. 

Apa yang sering terjadi, adalah kebiasaan masa bodoh, justru akan merasa dikampungnya sendiri sehingga menjadikan mereka berbuat sesuka hati. Namun  kebiasaan ini dilakukan hanya sebatas mereka yang kurang sadar lingkungan, kurangnya tingkat pendidikan dan wawasan religius yang bersangkutan.

2.Efek negatif dari kebiasaan Buruk pekerja migran Ibukota

Salah satu budaya jelek yang terkadang bisa kita temukan di pekerja di migran di Ibukota misalnya kebiasaan ngumpul bareng untuk menghilangkan segala problema hidup di ibukota. Jika para pekerja ini ngumpul jadi satu kelompok maka yang akan dilakukan biasanya ada selipan minuman keras sebagai penghangat keakraban diantara mereka, meskipun ini tidak selalu terjadi. 

Nah sayangnya kebiasaan buruk ini terkadang terbawa saat kumpul dikampung dengan mengajak kawan kawan di kampung untuk menikmati munuman keras bersama sama. Maka sulit bagi kita mengatakan ini sebagai sesuatu yang negatif karena ternyata mereka yang telah sukses ini juga melakukan hal yang sama.

3.Budaya Negatif dekadensi moral yang sulit dicegah

Budaya negatif ini hampir menjadi efek langsung yang dapat dirasakan oleh para keluarga pemudik di kampung. Misalnya kita bisa saksikan seorang yang biasanya disebut alim di lingkungannya tetapi lantaran desakkan ekonomi dan dukungan negatif para pemudik yang tidak bertanggung jawab akhirnya mempengaruhi sosok yang semula dinggap alim menjadi ikut tercemar moralnya. Tak terkecuali mereka yang berada di lingkungan sekeliling keluarga pemudik terkadang menjadi korban efek dekadensi moral para pemudik.

Membaca Fenomena sosial baru yang mencekam

Derasnya arus balik ke kota bisa disebut urbanisasi dengan dalih apapun kenyataannya para pengikut baru yang diajak ke kota oleh para pemudik ini dari kampung untuk bekerja di kota. Sehingga kegiatannya berupa mobilitas penduduk. Dalam literatur kependudukan, fenomena seperti ini disebut migrasi berantai (chain migration).

Puncak kekawatiran kita sebenarnya karena sebagian besar pelaku urbanisasi bawaan para pemudik ini mereka minim keahlian dan berpendidikan rendah. Sementara Ibukota dan kota sekitarnya yang merupakan tujuan adalah kota industri dan jasa tentu saja hanya membutuhkan orang orang yang berkeahlian bukan seperti mereka.

Dari sinilah persoalan besar bermula. Sementara muaranya jelas akan menambah beban baru bagi pemerintah daerah yang bersangkutan. Banyak PR baru yang harus segera ditangani secara lebih serius kalau tidak akan mengancam menjadi preseden buruk pengelolaan kota yang bersangkutan. 

Karena tentu menjadi makin menambah rumitnya berbagai persoalan sosial yang akan muncul. Mulai problem meningkatnya kemiskinan kota, kekumuhan, membengkaknya jumlah pekerja di sektor informal, tingkat pengangguran, kriminalitas, serta berbagai persoalan sosial lainnya.

Kalau dicermati, tidak terasa kita hidup dalam belenggu ancaman sosial yang berpotensi menjadi bencana sosial baru jika persoalan ini tetap dibiarkan tanpa solusi nyata. Karena menurut catatan Tempo, dari Indonesia Economic Quarterly, Juli 2013. Diketahui, saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan laju urbanisasi tercepat di Asia. 

Pada 2011, proporsi penduduk daerah perkotaan di negeri ini mencapai 51 persen, dan pada 2025 diperkiran bakal mencapai 68 persen. Nah kita tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kurun sepuluh tahun ke depan jika sampai hari ini belum ada tanda tanda upaya solusi yang menggembirakan kita.

Jika urbinasasi merupakan proses alamiah yang tak bisa dihindari, dan bakal terus berlangsung. Namun solusinya belum bisa dianggap efektif, apalagi hanya berupa sekedar tindakan membatasi akses penduduk untuk bermigrasi ke kota ,seperti yang selalu dilakukan berupa operasi yustisia pasca lebaran,tentu bukanlah langkah yang efektif karena tidak menyelesaikan problem intinya.

Bagaimanapun pasti harus dicarikan formula yang pas berupa upaya upaya memajukan desa sebagai hulunya yang merupakan pokok permasalahan inti. Ya tentu bagaimanapun puncaknya berupa semua upaya nyata yang dapat meningkatkan produktivitas sektor pedesaan, pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan rakyat dan semua yang melingkupinya dengan disertai sektor pendukung lainnya supaya desa menjadi lebih  menguntungkan bagi kehidupan mata pencaharian masyarakatnya.

Sehingga magnet kota akan secara otomatis akan beralih ke desa. Sampai indikatornya tercapai dengan seloroh warga desa “ngapain ke kota jika disini semua sudah ada,sudah lebih banyak peluang kerja dan menguntungkan,lebih nyaman dan nikmat hidup didesa ketimbang di kota”

*Dari berbagai sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun