Budaya negatif ini hampir menjadi efek langsung yang dapat dirasakan oleh para keluarga pemudik di kampung. Misalnya kita bisa saksikan seorang yang biasanya disebut alim di lingkungannya tetapi lantaran desakkan ekonomi dan dukungan negatif para pemudik yang tidak bertanggung jawab akhirnya mempengaruhi sosok yang semula dinggap alim menjadi ikut tercemar moralnya. Tak terkecuali mereka yang berada di lingkungan sekeliling keluarga pemudik terkadang menjadi korban efek dekadensi moral para pemudik.
Membaca Fenomena sosial baru yang mencekam
Derasnya arus balik ke kota bisa disebut urbanisasi dengan dalih apapun kenyataannya para pengikut baru yang diajak ke kota oleh para pemudik ini dari kampung untuk bekerja di kota. Sehingga kegiatannya berupa mobilitas penduduk. Dalam literatur kependudukan, fenomena seperti ini disebut migrasi berantai (chain migration).
Puncak kekawatiran kita sebenarnya karena sebagian besar pelaku urbanisasi bawaan para pemudik ini mereka minim keahlian dan berpendidikan rendah. Sementara Ibukota dan kota sekitarnya yang merupakan tujuan adalah kota industri dan jasa tentu saja hanya membutuhkan orang orang yang berkeahlian bukan seperti mereka.
Dari sinilah persoalan besar bermula. Sementara muaranya jelas akan menambah beban baru bagi pemerintah daerah yang bersangkutan. Banyak PR baru yang harus segera ditangani secara lebih serius kalau tidak akan mengancam menjadi preseden buruk pengelolaan kota yang bersangkutan.
Karena tentu menjadi makin menambah rumitnya berbagai persoalan sosial yang akan muncul. Mulai problem meningkatnya kemiskinan kota, kekumuhan, membengkaknya jumlah pekerja di sektor informal, tingkat pengangguran, kriminalitas, serta berbagai persoalan sosial lainnya.
Kalau dicermati, tidak terasa kita hidup dalam belenggu ancaman sosial yang berpotensi menjadi bencana sosial baru jika persoalan ini tetap dibiarkan tanpa solusi nyata. Karena menurut catatan Tempo, dari Indonesia Economic Quarterly, Juli 2013. Diketahui, saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan laju urbanisasi tercepat di Asia.
Pada 2011, proporsi penduduk daerah perkotaan di negeri ini mencapai 51 persen, dan pada 2025 diperkiran bakal mencapai 68 persen. Nah kita tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kurun sepuluh tahun ke depan jika sampai hari ini belum ada tanda tanda upaya solusi yang menggembirakan kita.
Jika urbinasasi merupakan proses alamiah yang tak bisa dihindari, dan bakal terus berlangsung. Namun solusinya belum bisa dianggap efektif, apalagi hanya berupa sekedar tindakan membatasi akses penduduk untuk bermigrasi ke kota ,seperti yang selalu dilakukan berupa operasi yustisia pasca lebaran,tentu bukanlah langkah yang efektif karena tidak menyelesaikan problem intinya.
Bagaimanapun pasti harus dicarikan formula yang pas berupa upaya upaya memajukan desa sebagai hulunya yang merupakan pokok permasalahan inti. Ya tentu bagaimanapun puncaknya berupa semua upaya nyata yang dapat meningkatkan produktivitas sektor pedesaan, pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan rakyat dan semua yang melingkupinya dengan disertai sektor pendukung lainnya supaya desa menjadi lebih menguntungkan bagi kehidupan mata pencaharian masyarakatnya.
Sehingga magnet kota akan secara otomatis akan beralih ke desa. Sampai indikatornya tercapai dengan seloroh warga desa “ngapain ke kota jika disini semua sudah ada,sudah lebih banyak peluang kerja dan menguntungkan,lebih nyaman dan nikmat hidup didesa ketimbang di kota”