Mohon tunggu...
Albert Magnus Dana Suherman
Albert Magnus Dana Suherman Mohon Tunggu... Konsultan - Albert M. D. Suherman

Belajar sambil bermain, bermain sambil belajar. Mempelajari sebuah permainan tanpa mempermainkan sebuah pelajaran.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Gereja Katolik dalam Tanggapannya terhadap Hukuman Mati

3 Agustus 2018   22:08 Diperbarui: 5 Agustus 2018   13:49 1968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Fransiskus memimpin Misa Paskah di Basilika St. Petrus (Foto:Reuters)

Perubahan Pandangan dan Sikap Gereja

Baru-baru ini Kamis, 2 Agustus 2018, Paus Fransiskus pemimpin umat Katolik sedunia kembali membuat pernyataan terbuka tentang penolakannya terhadap hukuman mati dan mengajak seluruh pejabat-pejabat berwenang khususnya para politikus Katolik untuk menyerukan abolisi penerapan hukuman mati. Beliau sendiri meminta agar gereja mengubah ajaran resminya untuk mencerminkan bahwa hukuman mati seharusnya tidak diperbolehkan. Upaya ini sudah kerap diungkapkan beliau dalam beberapa kesempatan, baik pertemuan internasional, maupun pertemuannya dengan narapidana.

"Hukuman mati bertentangan dengan rencana Allah bagi individu, masyarakat, dan keadilan yang penuh kasih-Nya.", serunya melalui video dalam Pembukaan Kongres Dunia Melawan Hukuman Mati yang keenam di Oslo, Norwegia tahun 2016.

Dalam hal ini, Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo juga menyampaikan keprihatinannya terhadap pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sebelum eksekusi tahap ketiga di Lapas Nusakambangan. Baginya hukuman mati mencederai kemanusian yang adil dan beradab, sila kedua Pancasila.

Dalam sejarah panjangnya Gereja Katolik (selanjutnya disingkat GK) secara perlahan mengubah sikapnya terhadap pelaksanaan hukuman mati. Menilik beberapa dokumen yang terkait hukuman mati, GK pernah menerima hukuman mati sebagai hukuman yang benar. 

Yang pertama, Surat Paus Innocentius III kepada Uskup Agung Tarragonta pada tahun 1210 isinya, "Kuasa sipil dapat, tanpa dosa berat melaksanakan pengadilan darah, asalkan mengadili dengan adil, tidak karena benci, dengan arif, tidak tergesa-gesa.". Yang kedua pada Katekismus Romawi yang terbit berdasarkan Konsili Trente tahun 1566 berbunyi, "Bentuk pematian sah merupakan wewenang otoritas sipil yang diserahi kuasa atas hidup dan mati; dengan pelaksanaan legal dan yudisial mereka menghukum orang bersalah dan melindungi orang tak bersalah.".

Dalam dua dokumen klasik yang disebutkan di atas, maka GK mendukung pelaksanaan hukuman mati, dan menyerahkannya pada otoritas sipil yang berwenang sebagai upaya untuk menjaga ketertiban masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi politik, sosial, dan budaya masyarakat pada abad pertengahan yang kerap diwarnai peperangan sebagai cara ampuh untuk melakukan penaklukan terhadap pihak lawan (yang dianggap bersalah). Sehingga hukuman mati terhadap orang bersalahpun diamini oleh GK.

Berikutnya terjadi perubahan sikap GK yang tertuang dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) No. 2266 tentang Kehidupan Dalam Kristus yang selesai disusun pada 11 Agustus 1992 isinya, "Pembelaan kesejahteran umum masyarakat menuntut agar penyerang dihalangi untuk menyebabkan kerugian. Karena alasan ini, maka ajaran Gereja sepanjang sejarah mengakui keabsahan hak dan kewajiban dari kekuasaan politik yang sah, menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan, tanpa mengecualikan hukuman mati dalam kejadian-kejadian yang serius... ." Selengkapnya lihat disini. Dilanjutkan pada KGK No. 2267 isinya, "Sejauh cara-cara tidak berdarah mencukupi untuk membela kehidupan manusia terhadap penyerang dan untuk melindungi peraturan resmi dan keamanan manusia, maka yang berwenang harus membatasi dirinya pada cara-cara ini, karena cara-cara itu lebih menjawab syarat-syarat konkret bagi kesejahteraan umum dan lebih sesuai dengan martabat manusia."

Pada tahap ini GK mulai berpendapat bahwa hukuman mati adalah cara terakhir bagi orang yang bersalah, dengan menimbang-menimbang cara hukuman lain selain hukuman mati. 

Otoritas yang berwenang diharapkan mendahulukan hukuman-hukuman 'tidak berdarah' sebelum secara terpaksa melaksanakan hukuman mati. Dikutip dari ensiklik Paus Yohanes Paulus II Evangelium Vitae No. 56 (25 Maret 1995) isinya, "Jelaslah bahwa, untuk tujuan-tujuan yang ingin dicapai (melindungi masyarakat), sifat dan tingkat hukuman harus dievaluasi dan diputuskan dengan hati-hati, dan tidak boleh langsung ekstrim mengeksekusi pelaku kecuali dalam kasus-kasus kebutuhan mutlak: dengan kata lain, ketika tidak mungkin sebaliknya membela masyarakat." Selengkapnya dapat dilihat disini.

Sampai pada tulisan ini dibuat, GK masih berpegang pada KGK No. 2266 dalam merespon fenomena hukuman mati. Menjadikan hukuman mati sebagai pertimbangan paling akhir dalam memvonis orang yang bersalah, apabila cara 'tidak berdarah' mustahil dilakukan untuk melindungi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun