Mohon tunggu...
Albert Magnus Dana Suherman
Albert Magnus Dana Suherman Mohon Tunggu... Konsultan - Albert M. D. Suherman

Belajar sambil bermain, bermain sambil belajar. Mempelajari sebuah permainan tanpa mempermainkan sebuah pelajaran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memetik Semangat Kebangsaan dari Mendiang Para Tokoh (2/2)

11 Juli 2018   04:29 Diperbarui: 11 Juli 2018   10:18 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya di depan pintu masuk utama Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. (Dokumentasi pribadi)

Didalam pagar area makam terdapat makam K. H. Hasyim Asy'ari, seorang tokoh pendiri Nahdlatul Ulama dan cucunya yang juga presiden RI ke-4 yaitu K. H. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur, kemudian sejumlah makam keluarga dan para kiai. Sekali lagi saya merinding ditengah keramaian. Bukan merinding ketakutan, saya merasa penuh hormat menghadap makam para tokoh besar yang semasa hidupnya mengabdi untuk masyarakat. K. H. Hasyim Asy'ari selain berdakwah beliau juga ikut berjuang melawan penjajah. Hingga saat ini kita masih memperingati hari pahlawan tiap tanggal 10 November. Kita mesti ingat juga kisah kiai kharismatik ini. Kala itu beliau membuat fatwa, sebagai resolusi jihad, kepada seluruh umat Islam yang berada kira-kira radius 94 kilometer dari Surabaya untuk wajib ikut memerangi tentara Inggris. Rakyat berbondong-bondong menuju Surabaya dengan senjata seadanya. Pertempuran habis-habisan itu akhirnya berbuah manis. Tentara Inggris berhasil dipukul mundur. Hingga akhirnya beliau wafat di Pesantren Tebuireng karena pendarahan di otak dan meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan para santrinya.

Lain cerita dengan Gus Dur (Panggilan 'gus' dalam tradisi nahdliyin biasanya disematkan pada anak dari kiai pengasuh pesantren, yang memang disiapkan untuk menjadi pengasuh para santri, meski nantinya akan bergelar kiai juga) yang berjuang mengawali era reformasi. Sepak terjangnya di dunia pendidikan ketika menjadi guru dan kepala sekolah di sebuah madrasah membuat ia menjadi idola murid-muridnya. Gus Dur mendapat kesempatan untuk kuliah di Universitas Al-Azhar di Cairo, Mesir, dan pulang kembali ke Jombang untuk mengembangkan pesantrennya. Namanya semakin melejit dikalangan komunitas muslim Jawa Timur. Hingga akhirnya beliau dikenal secara nasional sebagai seorang tokoh muslim moderat.

Pada 1999 dalam sidang MPR, beliau terpilih menjadi Presiden RI ke-4. Meski kepemimpinannya hanya berjalan 3 tahun, namun dalam praktiknya beliau telah membuat banyak perubahan mendasar di negeri ini terutama terkait kesadaran pluralitas. Ya, Gus Dur dikenal rakyat Indonesia sebagai pejuang hak-hak kaum minoritas, terutama terkait kebijakannya untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam aturan itu, Presiden Soeharto menginstruksikan agar etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan adat istiadat tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga saja. Semenjak Inpres itu dicabut oleh Gus Dur, hari raya Imlek dilakukan secara meriah oleh etnis Tionghoa. Kemudian menambah agama Konghucu kedalam daftar agama yang diakui negara. Atas kebijakan dan pemikirannya yang terbuka beliau dijuluki sebagai 'Bapak Tionghoa Indonesia'. Gus Dur banyak sekali memperoleh penghargaan dari dalam dan luar negri karena dipandang sebagai pejuang HAM. Gelar doktor kehormatan banyak ia peroleh dari berbagai universitas di luar negeri.

Dibatasi pagar, saya duduk bersila persis didepan makam Gus Dur. Lantunan shalawat yang semula terdengar keras dari belakang, semakin lama semakin sayup karena saya larut dalam sebuah refleksi. Sungguh orang yang dikubur didepan saya telah mengajarkan bangsa ini arti pluralisme, bahwa negeri ini diisi oleh kemajemukan yang luar biasa. Bahwa kita tidak boleh menjadikan perbedaan sebagai halangan, melainkan sebuah rahmat. Bahwa bangsa ini akan semakin beradab ketika masyarakatnya mampu menghargai perbedaan. Bahwa ketika masyarakatnya mampu menghargai perbedaan, niscaya cita-cita masyarakat yang demokratis perlahan terwujud. Pada prasasti makam beliau ada sebuah tulisan, 'Disini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan' yang tertulis dalam empat bahasa, Bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan Mandarin. Prasasti itu mau mengambarkan sosok Gus Dur yang universal, yang dapat menghargai perbedaan, dan dapat diterima semua kalangan. Untuk kedua kalinya dihari yang sama, saya berdoa agar Sang Guru Bangsa diberi tempat yang elok di surga, dan gagasannya yang bijaksana mendapat porsi di hati rakyat Indonesia.

Bahwa bangsa ini akan semakin beradab ketika masyarakatnya mampu menghargai perbedaan. Bahwa ketika masyarakatnya mampu menghargai perbedaan, niscaya cita-cita masyarakat yang demokratis perlahan terwujud.

Hampir satu jam saya larut dalam renungan dan doa. Suasana disekitar makam semakin ramai oleh peziarah. Saya bangkit dan berdiri, kemudian menunduk dan berpamitan dalam hati, "Kulo pamit nggih Mbah Yai, Mbah Gus." Berjalan keluar pondok pesantren melalui koridor yang sama, saya mampir dulu ke sebuah toko yang dikelola para santri. Toko ini menjual cinderamata yang merupakan hasil karya tangan anak-anak santri. Kaos, jaket, tas, gantungan kunci, dan lain-lain hampir semua bergambar Gus Dur. Setelah sempatkan membeli kaos, saya berjalan santai keluar melalui koridor pesantren. Saya begitu menikmati suasana pondok ini, meski sayang sekali saya tidak bisa melihat langsung kegiatan para santri disini. "Kok rasanya betah ya?", suasananya tidak asing dan akrab sekali dengan saya, padahal ini kali pertama saya berkunjung. Maklum, saya dulu juga pernah mondok di Probolinggo walau hanya tiga tahun. Jadi ada perasaan akrab dan rindu juga ketika merasakan suasana yang kurang lebih sama.

Refleksi Semangat Kebangsaan

Menjawab pertanyaan seorang teman dari kolom chat WhatsApp hari itu, saya terpancing untuk berpikir kembali, mengenai apa yang saya cari dari perjalanan ziarah itu. Dalam tiap-tiap kunjungan, saya selalu sempatkan merenung dan berdoa. Dalam tiap renungan, kepala saya seperti flashback pada era ketika para tokoh tersebut masih hidup. Saya membiarkan pikiran saya terbuai dalam kisah-kisah kolosal yang menampilkan para tokoh tersebut menjadi aktor utama. Dalam kisahnya, para tokoh tersebut memberikan contoh yang dapat dijadikan sebuah teladan hidup. Memegang teguh nilai-nilai luhur untuk diterapkan dan disebarkan ke masyarakat. Merespon situasi dengan matang dan rasional demi hajat hidup orang banyak. Terkadang saya merasa bahwa sikap dan tindak-tanduk mereka terbilang ekstrim. Mengambil sebuah keputusan yang berat, lagi penuh resiko. Jelas penuh resiko. Untuk mempertahankan harga diri bangsa mereka rela mengerahkan seluruh kekuatan dirinya untuk bertarung melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan hingga mengorbankan nyawanya. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang banyak. Itulah yang kemudian menjadi sebuah titik penting dalam refleksi ini. Belajar mengedepankan kepentingan bersama, dan mengesampingkan kepentingan pribadi.

Sebagai seorang Tuanku Imam Bonjol, bisa saja beliau duduk santai menikmati hembusan mesra angin pegunungan Bukit Barisan. Toh, sebagai seorang tokoh yang dipercaya masyarakat, beliau bisa menjual rakyatnya untuk bekerja pada Belanda, kemudian bagi hasil. Ketimbang harus repot-repot mengumpulkan masa, melawan angkat senjata, dan sengsara dalam pembuangan. Sama saja dengan Bung Karno, sebagai anak bangsawan yang memperoleh pendidikan tinggi, akses ke dunia luar mudah sekali beliau dapatkan. Membaca situasi politik, mengemas barang-barang, dan mengajak keluarganya untuk hijrah ke Eropa misalnya. Tidak sulit kan? Ketimbang harus menjadi buronan musuh, ditawan dalam pembuangan, dan tertatih bertahan hidup. Begitu juga dengan Pangeran Jayakarta, Gus Dur, dan banyak pahlawan lain yang mungkin namanya tidak dikenal. Mereka pernah berada dalam persimpangan. Tetapi akhirnya jalan hidup yang mereka ambil adalah jalan yang berat untuk memperjuangkan kepentingan hidup orang banyak.

Teladan hidup berikutnya yang bisa kita petik adalah rasa kasih, rasa memiliki, dan merasa menjadi bagian dari masyarakat. Semua itu mereka torehkan melalui semangat kebangsaan. Semangat yang sebetulnya menjadi hak sekaligus menjadi kewajiban yang bagi setiap insan. Setiap insan tanpa terkecuali. Pengejawantahan sebuah semangat kebangsaan adalah bukan dengan menjadi nasionalis buta yang hanya meninggikan negara atau golongannya sendiri, melainkan melalui nilai-nilai positif yang sering kita anggap sepele. Menerima perbedaan misalnya. Sikap toleransi yang dapat dipelajari dari Gus Dur merupakan bentuk dari penerimaan terhadap perbedaan, bentuk dari kesadaran bahwa setiap manusia memiliki hak asasi yang sama, dan bahkan bentuk dari memuliakan Allah. Sebab seperti sering dikutip berbagai media, Gus Dur pernah berkata, "... dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk, karena begitulah Allah." Dengan ini Gus Dur mengajak bangsanya untuk berperilaku sebagaimana Allah mengasihi makhluk-Nya. Ini juga yang menjadi titik penting dalam refleksi ini. Menerima perbedaan sebagai bentuk dari semangat kebangsaan.

Ini juga yang menjadi titik penting dalam refleksi ini. Menerima perbedaan sebagai bentuk dari semangat kebangsaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun