22/04/2019
~Harist Setiawan~
Penampilan saya dan teman-teman dari Padepokan Persaudaraan Kembang di acara Donor Darah Fompa
Indonesia adalah negara dengan kekayaan, keberagaman, dan keindahannya yang luar biasa. Selain pepohonan, pemandangan, dan kesejukan, budaya pun tumbuh mememriahkan pesona bumi pertiwi ini. Warisan para leluhur, ritual, dan adat pun masih digenggam erat oleh beberapa lapisan masyarakat.Â
Namun malangnya, rasa cinta tanah air, semangat melindungi bangsa dan negara, menjaga keanekaragaman luntur sedikit demi sedikit, hilang sedikit demi sedikit. Semua dikalahkan oleh gengsi. Budaya barat bermunculan dan berteriak di daun telinga masyarakat "ini adalah budaya barumu, budaya barat". Hilang semua rasa cinta terhadap bangsa. Luntur sudah.
Walaupun banyak orang yang gengsi, banyak orang yang takut padaku, wkwkwkwkw. Tak membuat saya menjauhi seni yang saya cintai. Justru saya adalah salah satu penentang bagi orang yang gengsi terhadap seni dan budaya negaranya sendiri. Saya tak pernah memperdulikan gengsi. Ini bangsaku, ini tempat tinggal ku, dan ini budayaku. "Hargai seniku! maka akan ku hargai dirimu".Â
Salah satu seni yang melekat dalam jiwa  saya adalah seni pertunjukan Debus. Beberapa orang menyimpulkan bahwa seni ini merupakan seni yang sesat, bermain jin, menyiksa diri. Pasalnya, seni pertunjukan ini menampilkan pertunjukan yang extreme dan tidak masuk akal. Semua orang awam yang mendengarpun ikut mengambil kesimpulan. "Debus ini gak layak untuk dilihat".Â
Sedikit cerita, saya pernah tinggal dan dibesarkan di Cikampek tepatnya desa Kamojing. Dari kecil, saya sering sekali melihat pertunjukan yang sering kita sebut sebagai Debus ini. Pasalnya, setiap ada yang merayakan khitanan, pasti ada pertunjukan sisingaan. Setiap selesai arak-arakan menggunakan sisingaan tersebut, anggota sisingaan mulai menurunkan anak-anak yang ada diatas sisingaan dan melanjutkan menari di tengah lapang luas.Â
Penonton mulai menjauh ketika semua sisingaan selesai menari karena akan ada pertunjukan yang sangat spektakuler.Â
Suara pecut mulai terdengar menggelegar, beberapa orang mulai dilukai dengan benda padat seperti genting, bolham, tendangan, pukulan. Pertunuukan ini berlangsung selama berjam-jam. Siapa yang nonton? ya banyaknya bocah-bocah ingusan yang ga pernah ngebersiin ingusnya. Apakah kita semua menirukannya? tentu tidak kawan. Mereka hanya menonton.Â