Mohon tunggu...
maghfur rosyad
maghfur rosyad Mohon Tunggu... -

just be myself

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kado atau Ujian?

2 Mei 2011   02:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:10 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak mau menerima yang namanya hadiah atau sering disebut dengan nama kado. Kado identik dengan suatu hal yang sangat dinanti-nanti kedatangannya dan biasanya diberikan karena ada suatu hal yang spesial dan pastinya sangat indah saat membukanya. Sedangkan ujian identik dengan suatu hal yang menakutkan, mencemaskan, keluhan, dan segala hal yang beraroma negatif lainnya. Siapa juga sih yang mau menerimanya??

Sekarang bayangkan bila kita melulu menggunakan kata ujian saat diterpa kepahitan. Boro-boro kepikiran buat mencari hikmah, yang ada kita malah terpaku dengan kesulitan tersebut. Yang akhirnya kita merasa menjadi orang yang paling susah sedunia. Padahal kalau kita mau berpikir jernih dan menjabarkan segala peristiwa yang terjadi, sesungguhnya ujian itu kadarnya hanya setitik bila dibandingkan pembelajaran yang kita dapatkan. Ya, nikmat TUHAN jauh lebih besar bukan?

Kalau menggunakan kata kado gimana? Satu hal yang membuat kado itu menjadi indah adalah pada saat proses mengupas bungkusnya. Di sana akan timbul berbagai rasa, mulai dari rasa deg-degan, penasaran, was-was, senang, semua membuncah jadi satu sampai akhirnya kita melihat isinya. Bilapun nanti isinya di luar angan, pasti sudah tersembul rasa syukur bahwa kita telah diberi suatu hal yang gratisan.

Begitupun kala kita menghadapi pernik kehidupan. Jika mau dipikir lebih jauh, bukankah kita sedang berproses dalam membuka kado? Bungkus kado itu tidak selamanya satu lapis dan juga tidak selamanya tampilan bungkusnya sama dengan kualitas isinya. Ada yang luarnya bagus tapi diikuti dengan lapisan-lapisan kertas kado yang jelek dan berakhir dengan isi yang bagus. Ada yang luarnya jelek tapi dalamnya bagus. Adapula dari bungkus sampai isinya bagus dan ada juga yang bungkusnya jelek, isinya jelek juga (kalau begini delon deh jadinya, alias derita loe sendiri... hehe). Bila analogi tersebut ditampilkan dalam kehidupan maka kejadiannya akan seperti ini: hidup itu tidak selamanya enak, pada titik tertentu ada rasa eneg yang muncul ke permukaan. Di sini tugas kita mencontreng salah satu jawaban dengan konsekuensi khas yang mengikutinya: lari dari kenyataan atau lari kepada TUHAN?

Lari dari kenyataan akan menobatkan kita menjadi manusia yang kerdil, kalah, dan manusia yang hanya berani membaca soal tapi tidak berani melukiskan jawaban. Apalagi lari dari kenyataannya sampai mengakhiri hidup segala... nau'udzubillah min dzalik. Lari kepada TUHAN akan menjadikan kita orang yang berani membaca soal, berani melukiskan jawaban, sekaligus mempunyai kekuatan untuk menggrafir hikmah di hati dan langkah.

Dengan demikian, masihkah kita mau melabeli diri kita menjadi orang paling susah? masih terpikirkah untuk membaui hati kita dengan keluhan yang melemahkan? masih tegakah mulut kita untuk mencaci segala kegagalan? dan pastinya gak ada lagi ruang di jiwa kita untuk melagukan "aku tak sanggup lagi menerima derita ini. aku taksanggup lagi menerima semuanya..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun