Mohon tunggu...
Maggie Tiojakin
Maggie Tiojakin Mohon Tunggu... -

Maggie Tiojakin adalah seorang jurnalis dan penulis fiksi pendek. Karyanya telah dimuat di berbagai media massa baik lokal maupun internasional, seperti The Jakarta Post, Boston Globe, Writers' Journal, Eastown Fiction, Asia News Network (ANN), dan lain sebagainya. Saat ini dia berdomisili di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Hiburan: Fiksi Lotus, Teresa

3 Mei 2010   07:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:26 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Italo Calvino

Aku menjauh dari trotoar, berjalan mundur beberapa langkah dengan wajah tengadah, lalu dari tengah jalan, seraya mengatupkan kedua tangan agar membentuk corong di sekitar mulut, aku berteriak sekeras-kerasnya: “Teresa!” Bayangan tubuhku berusaha bersembunyi dari sinar bulan yang temaram, jatuh bagai gumpalan kelam di kakiku. Seseorang melintas di jalan yang sama. Sekali lagi aku berteriak: “Teresa!” Pria asing yang barusan kebetulan lewat berkata, “Kalau kau tidak berteriak lebih keras, dia takkan mendengarnya. Mari kita berdua mencoba. Aku hitung sampai tiga, dan di hitungan ke-tiga kita teriak berbarengan.” Lalu ia memberi aba-aba: “Satu, dua, tiga.” Dan serentak kami menarik pita suara setinggi-tingginya: “Tereeeeeeeeeeeesaaa!” Sekelompok muda-mudi dalam jumlah yang tak terlalu banyak juga kebetulan melintas di jalan yang sama. Mereka baru saja kembali dari bioskop atau café di ujung jalan, dan tak sengaja melihat kami berdua yang sibuk teriak-teriak. Kata mereka, “Ayo, kami juga akan membantumu.” Setelah itu, mereka ikut berdiri di tengah jalan, dan beramai-ramai kami berteriak: “Te-reee-saaa!” Seorang lain lewat lagi dan bergabung dengan kami; seperempat jam kemudian, ada sekitar dua puluh orang bergerombol di tengah jalan. Setiap beberapa menit, ada saja yang mampir dan ikut berteriak bersama kami. Ternyata, mengatur agar kami bisa berteriak ramai-ramai secara terpadu bukanlah hal yang mudah. Pasti ada di antara kami yang mulai berteriak sebelum hitungan ke-tiga, atau yang berteriak terlalu panjang—meski, ujung-ujungnya, kami sukses menghasilkan teriakan yang lantang. Kami pun setuju bahwa saat meneriakkan nama Teresa, suku kata awalnya, “Te” harus diteriakkan dengan rendah dan panjang; suku kata tengahnya, “re”, tinggi dan panjang; sementara suku kata akhirnya, “sa”, rendah dan pendek. Hasilnya, lumayan. Hanya ada sedikit kekeliruan di antara mereka yang salah mencetuskan nada. Setelah berlatih sebanyak puluhan kali, kami pun mulai bisa menghasilkan teriakan terpadu; namun baru saja kami merasa puas terhadap hasil teriakan itu, seseorang mendadak melontarkan pertanyaan. Dari suaranya, kuperkirakan orang itu berkulit pucat dengan bintik-bintik pigmen tersebar di pipi. “Apa kau yakin dia ada di rumah?” tanya orang itu. “Tidak.” “Wah, repot kalau begitu,” sahut yang lain. “Apa kau lupa membawa kunci pintu?” “Sebenarnya,” kataku. “Aku bawa kok kunci pintu apartemen.” “Lantas,” kata mereka. “Kenapa kau tidak langsung naik saja?” “Aku tidak tinggal di sini,” kataku. “Aku tinggal di sisi kota yang lain.” “Nah, kalau begitu, siapa yang tinggal di sini?” tanya orang yang kulitnya pucat tadi. “Aku sendiri tidak tahu,” kataku. Mendengar jawabanku, kerumunan orang di sekitarku tampak sedikit kecewa dan kesal. “Tolong jelaskan pada kami,” kata seseorang yang suaranya agak tajam. “Sedang apa kau di sini memanggil-manggil nama Teresa?” “Menurutku, kita bisa memanggil nama lain atau mencoba tempat lain,” kataku. Kerumunan itu menunjukkan reaksi sangat kesal. “Kuharap kau tidak sedang mempermainkan kami,” ancam orang berkulit pucat tadi. “Apa,” kataku, tidak senang dituduh seenaknya. Aku menatap ke yang lain untuk menunjukkan niat baikku. Mereka bungkam seribu bahasa. Detik dan menit berlalu, wajah mereka memerah karena malu. “Oke,” kata seseorang dengan nada positif. “Lebih baik kita memanggil nama Teresa sekali lagi, lalu kita pulang.” Akhirnya, kami meneriakkan nama itu sekali lagi. “Satu, dua, tiga, Teresa!”—tapi teriakan itu tidak terlontar dengan baik. Setelah itu, mereka pun berpencar pulang, ke arah yang berbeda-beda. Aku sudah membalikkan tubuh ke arah persimpangan ketika kudengar suara lain berteriak lantang: “Tee-reee-sa!” Pasti ada di antara kami yang masih berdiri di jalan itu. Berteriak lantang. Dasar keras kepala. ———————————- Catatan: * Karya ini bertajuk “The Man Who Shouted Teresa”, ditulis oleh Italo Calvino, seorang jurnalis dan penulis fiksi pendek (juga novel) asal Italia. Pertama kali diterbitkan dalam koleksi fiksi pendek-nya yang berjudul “Numbers in the Dark” tahun 1996. >> ITALO CALVINO merupakan salah satu penulis Itali yang karyanya paling banyak diterjemahkan di seluruh dunia. Ia meninggal di usia 61 (tahun 1985). Hak Cipta © Italo Calvino, Fiksi Lotus 2010. Tidak untuk diperjual-belikan, digandakan, atau ditukarkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun