Jean-Paul Sartre
Tom mulai berbicara dengan nada rendah. Dia harus terus bicara, karena kebungkamannya membuat dia tak bisa mengenali diri sendiri; dan aku sempat berpikir ia tengah berbicara kepadaku, tapi nyatanya ia sama sekali tak menoleh ke arahku. Kurasa dia takut melihat kondisiku yang pucat dan berkeringat, kulitku berubah keabu-abuan: kini aku dan dia tak ada bedanya, seolah menatap sosok diri dalam cermin. Akhirnya, Tom mengalihkan pandangannya kepada sang dokter Belgia yang masih punya kehidupan untuk disyukuri. “Kau mengerti?” tanya Tom. “Aku sihtidak mengerti.” Aku ikut berbicara dengan suara rendah, nyaris berbisik. Kutatap sang dokter Belgia. “Kenapa? Apa yang tidak kau mengerti?” “Sesuatu akan terjadi pada kita, tapi masih ada yang membingungkanku.” Aku mencium bau aneh dari tubuh Tom. Sepertinya hidungku lebih sensitif dari biasanya. Aku mengerutkan dahi. “Nanti juga kau akan mengerti.” “Maksudku, tak ada kejelasan tentang besok,” katanya penasaran. “Aku tahu aku harus memberanikan diri, tapi aku juga perlu tahu … Gini deh, besok mereka akan menggiring kita ke lapangan. Oke. Mereka akan berdiri di hadapan kita. Berapa banyak orang yang akan berdiri di hadapan kita?” “Entahlah. Lima atau delapan. Tidak lebih dari itu.” “Baiklah. Katakan saja ada delapan orang. Lalu, seseorang akan memberi aba-aba ‘Bidik!’ dan aku akan menatap delapan buah moncong senapan diarahkan ke wajahku. Saat itu, aku akan memikirkan tembok di belakangku, berharap aku bisa menghilang ke dalamnya, dan karena itu aku akan terus mendorongkan tubuhku ke belakang, melawan tembok … sekuat tenaga, dan tembok itu takkan berkutik, persis seperti dalam mimpi burukku. Aku bisa membayangkan semua itu. Seandainya kau tahu apa yang ada dalam bayanganku.” “Sudah!” kataku. “Aku juga bisa membayangkannya.” “Pasti rasanya sakit sekali. Kau tahu, kudengar mereka dilatih untuk membidik mata dan mulut kita agar wajah kita tak lagi berbentuk,” kata Tom secara mekanik, seolah ia sedang menggambarkan proses teknis pengeboran minyak. “Belum-belum aku sudah bisa merasakan luka yang akan bersarang di wajahku, sekujur tubuhku; sudah sejam ini aku merasakan nyeri di kepala dan leherku. Bukan nyeri sungguhan—justru lebih parah dari itu. Ini yang akan kurasakan besok pagi. Setelah itu apa yang akan terjadi?” Aku sangat mengerti apa maksud Tom, tapi aku tidak mau mengakuinya. Aku juga merasa nyeri, seakan tubuhku dinaungi oleh ribuan luka kecil. Aku tidak bisa mendiamkan luka-luka ini. Namun aku sama seperti Tom: tidak bisa menganggap luka-luka tersebut sebagai hal yang terlalu penting. Setidaknya, untuk saat ini. “Setelah itu,” kataku, “kau akan mati.” Tom mulai menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri sambil terus mengawasi gerak-gerik sang dokter Belgia. Namun tampaknya sang dokter tak mendengarkan pembicaraan kami. Aku tahu kenapa dia datang ke dalam sel tahanan kami; dia ingin tahu isi pikiran kami; ia datang untuk memerhatikan reaksi fisik kami, fisik yang sekarat dalam teror—meski belum ada luka yang bersarang di tubuh kami. “Rasanya seperti sedang berada dalam mimpi buruk,” kata Tom. “Pikiranku ingin fokus ke hal lain, dan entah kenapa aku masih punya harapan bahwa besok aku masih bisa ‘diselamatkan’, atau setidaknya aku bisa mengerti mengapa semua ini terjadi padaku, tapi mendadak hal positif itu hilang, pergi dan meninggalkanku begitu saja. Berkali-kali kukatakan pada diri sendiri bahwa setelah semua ini berakhir takkan ada yang tersisa untukku, baik di dunia ini maupun dunia berikutnya. Tapi aku tak mengerti apa arti semua itu. Apa maksudnya tak ada yang tersisa bagiku? Lantas kemana aku pergi? Terkadang aku hampir bisa mengerti … namun, setelah itu aku kembali teringat akan peluru yang akan merajam tubuhku, ledakan bubuk mesiu, serta sakit tak terhingga yang akan kurasakan. Aku ini orang yang materialis, asal kau tahu; aku tidak gila. Tapi kuakui ada yang salah dengan pikiranku. Aku terus-terusan melihat mayatku sendiri; dengan mata dan kepalaku sendiri. Aku harus membiasakan diri dan menerima kenyataan bahwa aku takkan melihat dunia ini lagi sementara hidup orang lain terus berjalan seperti biasa. Tapi, bagaimana caranya? Manusia tidak diprogram dengan pola pikir macam itu, Pablo. Percayalah padaku: sudah semalaman ini aku terjaga menunggu sesuatu. Namun ini beda lagi: kejadian ini akan berlalu dan kita takkan bisa berbuat apa-apa untuk menyiapkan diri.” “Diamlah,” kataku. “Kau mau kupanggilkan pendeta?” Tom tak menjawab. Kuperhatikan dia punya kecondongan berlaku seperti seorang Nabi dan memanggilku dengan sebutan ‘Pablo’, lalu berbicara dengan nada datar. Aku tidak suka tingkahnya itu: tapi mungkin semua warga Irlandia bersikap sama. Aku curiga kini tubuhnya menguarkan bau air seni. Pada dasarnya, aku tidak terlalu bersimpati terhadap Tom, dan kurasa aku tak perlu bersimpati terhadapnya—lagipula kami tengah menghadapi siksaan yang sama, sekarat bersama. Tapi terhadap tahanan atau tersangka lain, perasaanku berbeda. Misalnya, terhadap Ramon Gris. Namun, di antara Tom dan Juan, aku justru merasa kesepian; meski menurutku itu lebih baik. Ramon mungkin bisa membuat hatiku lebih tergerak. Walaupun aku berusaha untuk merubah hatiku sekeras batu agar tak perlu merasa melankolis menyambut ajal. Tom terus berbicara, mulutnya berkomat-kamit seperti mesin rusak. Aku yakin ia berbicara agar otaknya dapat berhenti berpikir. Dan seperti pria-pria uzur yang menderita penyakit prostat, tubuh Tom sungguh menguarkan bau air seni. Sebenarnya, kalau mau diakui, aku setuju dengan Tom—aku bisa saja mengiyakan semua perkataannya tadi: memang benar, tak ada yang alami tentang kematian. Dan karena aku juga akan segera mati, aku tak melihat ada sedikit pun hal alami di sekelilingku—termasuk onggokan debu batu bara, kursi kayu yang memanjang, atau wajah jelek Pedro. Namun aku tak suka jika pikiranku sejalan dengan pikiran Tom—walau aku juga sadar bahwa semalaman ini kami akan memikirkan hal yang sama di waktu yang sama. Kutatap profilnya dari samping, dan untuk pertama kalinya ia tampak begitu asing bagiku: di wajahnya terlukis ekspresi kematian. Mendadak harga diriku terluka: selama 24 jam terakhir aku hidup berdampingan dengan Tom, mendengarkan ocehannya, menanggapi teori-teorinya, dan aku tahu tak ada kesamaan antara aku dan dia. Namun sekarang kami tampak seperti saudara kembar, hanya karena kami akan mati sama-sama. Tom menggamit tanganku tanpa menatapku. “Pablo, benarkah bahwa semua hal dalam hidup ini akan berakhir?” Kutarik tanganku dari dalam genggamannya dan berkata, “Lihatlah ke bawah.” Di antara kedua kakinya ada genangan air yang cukup lebar, sementara dari ujung celananya terlihat ada cairan yang terus menetes. “Memang ada apa?” tanya Tom, ketakutan. “Kau kencing di celana,” kataku. “Itu tidak benar,” ujarnya marah. “Aku tidak kencing di celana. Aku bahkan tidak merasakan apa-apa.” Sang dokter Belgia menghampiri kami. Ia pura-pura serius dan bertanya: “Apa Anda merasa tak enak badan?” Tom tak menjawab. Sang dokter menatap genangan air di antara kedua kaki Tom dan diam seribu kata. “Aku tidak tahu air apa itu,” kata Tom memburu. “Tapi aku tidak takut. Aku berani sumpah—aku tidak takut.” Sang dokter tak menjawab. Tom bangkit berdiri dan beranjak ke sudut ruangan untuk buang air kecil. Tak lama kemudian, ia kembali seraya mengancing celananya, dan duduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sang dokter mencatat sesuatu di buku catatannya. Aku, Tom, dan Juan mengawasi sang dokter karena ia adalah satu-satunya yang akan pulang ke rumah dalam keadaan hidup besok pagi. Tidak seperti kami yang sudah sekarat, sang dokter adalah wujud dari hidup itu sendiri. Perilakunya menunjukkan seorang manusia yang masih hidup, dan akan terus hidup—meski tak untuk selamanya. Ia menggigil di dalam sel tahanan ini; dan tubuhnya tampak sehat. Sementara itu, kami bertiga tak bisa merasakan tubuh kami sama sekali—atau setidaknya tidak sama dengan bagaimana sang dokter bisa merasakan tubuh dia. Aku ingin meraba selangkanganku, tapi tak berani; kupandangi sang dokter yang tengah menyeimbangkan tubuh di atas kaki, menggerak-gerakkan otot tubuhnya, menyongsong hari esok dengan tenang. Memandangi sosok sang dokter, kami bagai tiga bayangan haus darah, dan kami ingin menyedot hidupnya bak kaum vampir. Akhirnya, sang dokter menghampiri Juan. Apa yang ingin dia lakukan sekarang? Merasakan leher Juan untuk tujuan profesional, atau ia justru mengikuti semangat profesinya sebagai seorang sukarelawan? Jika sang dokter bertindak sebagai seorang sukarelawan, malam itu adalah kali pertamanya. Sang dokter mengelus kepala dan leher Juan. Pemuda itu membiarkan dirinya disentuh oleh sang dokter, walau matanya terus mengawasi gerak-gerik sang dokter, dan tiba-tiba Juan menarik tangan sang dokter seraya menatapnya lama-lama. Juan menggenggam tangan sang dokter Belgia di antara kedua tangannya sendiri dan ia merasa tak ada yang spesial dari tangan sang dokter—kedua tangan Juan yang berwarna keabuan mengapit erat kedua tangan sang dokter yang gemuk dan kemerahan. Aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya, dan Tom juga pasti sudah mengantisipasi hal yang sama: tapi sang dokter Belgia tak curiga sama sekali, malah tersenyum penuh iba. Tak lama kemudian, Juan menarik tangan sang dokter lebih dekat ke mulutnya dan mencoba untuk menggigit. Sang dokter segera menarik tangannya dari dalam genggaman Juan dan—karena tersentak kaget—punggungnya menubruk tembok di belakang. Untuk waktu yang singkat, sang dokter menatap kami dengan mata nanar seolah ia sedang berada di dalam cerita horor: ia pasti mengerti bahwa kami bukan laki-laki biasa seperti dia. Aku tak kuasa menahan tawa dan membuat salah satu petugas keamanan terlonjak terbangun. Petugas keamanan yang lain masih tertidur, namun ketika terbangun matanya yang lebar tampak kosong. Aneh, tiba-tiba aku merasa rileks dan girang pada waktu bersamaan. Aku tidak mau memikirkan apa yang akan terjadi saat fajar menyingsing, ataupun soal kematian. Semua ini tak masuk akal. Aku hanya punya kata-kata atau kekosongan. Namun begitu aku berusaha memikirkan hal lain, kubayangkan moncong senapan terarah ke wajahku. Aku sudah merancang eksekusi mati-ku sendiri setidaknya sebanyak 20 kali; bahkan sekali aku sempat berpikir aku benar-benar telah mati—pasti aku tertidur sesaat. Kubayangkan para prajurit menyeretku ke tembok dan aku memberontak ingin lepas; aku minta diampuni, dibebaskan. Lalu aku bangun dengan napas ngos-ngosan dan mengawasi sang dokter Belgia: aku takut aku sempat berteriak dalam tidur dan mengganggu ketenangan semua orang. Namun saat aku membuka mata, kuperhatikan sang dokter tengah mengelus kumisnya sendiri, tanpa memerhatikan sesuatu hal mencurigakan. Kalau aku benar mau, kurasa aku pasti bisa tidur sebentar; sudah 48 jam aku terjaga tanpa tidur nyenyak. Kini aku uring-uringan. Tapi aku tidak mau kehilangan dua jam terakhir dalam hidupku: mereka akan datang menjemputku begitu fajar tiba, dan aku harus mengikuti mereka. Dalam keadaan mengantuk, aku bisa ditembak mati tanpa sadar aku sedang dihukum mati—aku tidak mau mati dengan cara begitu. Aku tidak mau mati seperti binatang, aku ingin mengerti kematianku sendiri. Lalu, aku juga takut dihampiri mimpi buruk. Maka, aku bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir, mencari ide, memikirkan masa lalu-ku. Segerombol kenangan berjejalan ke dalam kepala: ada yang menyenangkan, ada yang menyedihkan. Ada serentetan wajah dan kejadian yang kuingat. Seorang matador yang terluka di Valencia di hari libur, misalnya; atau wajah salah satu pamanku; wajah Ramon Gris. Aku ingat hidup yang telah kujalankan: bagaimana aku menganggur tanpa pekerjaan selama 3 bulan di tahun 1926; bagaimana aku nyaris mati kelaparan. Aku ingat suatu malam aku duduk di atas bangku di Granada: aku belum makan selama tiga hari. Aku marah, tidak ingin mati. Episode itu menghadirkan senyum di wajahku. Betapa bertekadnya aku mengejar yang namanya kebahagiaan, wanita, serta kebebasan. Untuk apa? Aku ingin membebaskan negara Spanyol, aku mengagumi Francisco Pi y Margall, seorang tokoh politik beraliran liberal sekaligus penulis berkebangsaan Spanyol. Aku bergabung dengan gerakan anarki, bahkan angkat suara di pertemuan-pertemuan umum: aku menggeluti semuanya dengan serius seolah kematian tak ada artinya bagiku. Saat itu aku yakin hidupku masih jauh dan panjang, dan kini aku berpikir semua itu tak lebih dari sebuah kebohongan besar. Segala usahaku tak ada artinya lagi karena sekarang sudah selesai. Aku sekarang bertanya-tanya bagaimana mungkin aku bisa berjalan tegak selama ini, tertawa dengan para gadis-gadis: seandainya aku tahu akan mati seperti ini, takkan sudi aku memperjuangkan gerakan itu. Sekarang hidupku berada tepat di depan wajahku, ditutup seperti sebuah tas—walau semua di dalamnya belum ada yang selesai. Aku coba menghakimi situasi ini. Ingin kuyakini bahwa hidup tetap indah apa adanya. Namun aku tak bisa menghakimi situasiku sendiri; aku telah menghabiskan sebagian besar hidupku menantang keabadian, dan karena itu aku tak mengerti apa-apa. Aku tidak kehilangan apa-apa: meski ada banyak hal yang seharusnya kurindukan, seperti rasa manzanilla atau waktu yang kuhabiskan berenang di sungai kecil di dekat Cadis saat musim panas tiba—sayangnya kematian telah mengeruhkan segalanya. Sang dokter Belgia mendadak mendapatkan ide cemerlang. “Teman-teman,” ia mengumumkan. “Apabila diijinkan oleh administrasi militer, saya akan berlaku sebagai pengirim pesan bagi kalian—surat atau suvenir bagi mereka yang mencintai kalian.” Tom bergumam. “Saya tidak punya siapa-siapa.” Aku tak mengatakan apa-apa. Tom menunggu sesaat sebelum melemparkan tatapan ke arahku dengan penasaran. “Tak ada yang ingin kau ceritakan pada Concha?” “Tidak.” Aku benci pembicaraan dari hati-ke-hati macam ini, terutama di tengah situasi yang pelik—tapi aku sadar bahwa satu-satunya alasan kenapa Tom menanyakan hal ini adalah karena aku sempat menyebut nama Concha dalam pembicaraan kami kemarin malam. Harusnya aku tak banyak bicara, lebih bisa mengendalikan diri. Selama setahun aku dan Concha menjalin hubungan asmara. Semalam, aku rela memberikan apa saja yang aku miliki demi melihatnya sekali lagi, bahkan untuk lima menit saja. Itu sebabnya aku menyinggung namanya dalam pembicaraanku dengan Tom semalam, karena perasaan rindu itu ternyata lebih kuat daripada keyakinanku untuk tetap tenang, terkendali. Namun sekarang aku tak punya hasrat untuk bertemu dengan wanita itu, karena tak ada yang tersisa untuk kukatakan kepadanya. Aku bahkan tak mau merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku: karena tubuhku kini menjijikkan, kulitku berubah keabu-abuan dan keringat membalut sekujur tubuh—lebih dari itu, aku tidak yakin tubuh Concha bisa membuatku lebih tenang dari sekarang. Kehadirannya justru akan memperburuk segalanya. Saat Concha mendapat kabar tentang kematianku nanti, dia pasti menangis dan merasa putus asa selama berbulan-bulan. Tapi seberat apapun cobaan yang harus dia lalui, ujung-ujungnya toh aku yang harus mati. Kubayangkan sepasang matanya yang indah, pancarannya yang lembut. Ketika Concha memandangku ada sesuatu yang terlintas di antara kami berdua. Namun kini semua itu telah berakhir: jika ia memandangku sekarang, takkan ada lagi yang terlintas di antara kami. Aku terperangkap dalam kemalangan ini seorang diri. Tom juga sendirian, tapi untuk alasan yang berbeda. Duduk dengan kaki bersila, ia kini menatap ke arah kursi kayu dengan bibir menyunggingkan sebuah senyuman; seperti orang yang terpana. Ia menjulurkan tangannya untuk menyentuh permukaan kursi, pelan, hati-hati, seolah takut mematahkan bagian-bagian kursi kayu tersebut; lalu ia menarik tangannya dengan cepat dan tubuhnya kontan gemetar. Jika aku jadi dia, aku takkan berusaha menghibur diri dengan cara menyentuh permukaan kursi kayu itu; aku yakin hanya orang berkebangsaan Irlandia saja yang melakukan hal konyol seperti ini, meski aku juga menemukan teori baru tentang sifat benda-benda mati: mereka lebih mudah dihilangkan, dilenyapkan, dihapus eksistensinya dari muka bumi—dan karena itu tidak sepadat biasanya. Bagiku, cukup rasanya memandangi kursi kayu, lampu, serta tumpukkan debu batu bara untuk tahu bahwa sebentar lagi aku akan mati. Tentunya, aku tidak bisa berpikir jernih tentang kematian di saat seperti sekarang, tapi aku bisa melihat kematian di mana-mana, bertengger di atas benda-benda mati, atau di wajah dan tubuh orang-orang di sekitarku—bagaimana mereka menarik diri saat berada di hadapanku, seperti orang-orang yang sibuk berbisik di samping ranjang kematian seseorang. Tom menyentuh kematiannya sendiri di atas kursi kayu tadi. Dalam kondisi seperti ini, jika ada seseorang yang datang menghampiriku membawa berita bahwa aku bisa pulang ke rumah diam-diam, atau menyelamatkanku dari kematian, reaksiku pasti dingin dan kasar. Setelah menunggu selama beberapa jam, atau beberapa tahun, waktu tak lagi mempunyai batasan—karena ilusi yang selama ini kumiliki bahwa aku bisa hidup selamanya kini sudah hilang entah ke mana. Sekarang tak ada lagi yang bisa kuandalkan, tempat menggantung nasib, harapan; dan karena itu aku merasa lebih tenang. Namun bukan ketenangan yang baik, melainkan ketenangan yang buruk—karena tubuhku bisa melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, tapi aku tak lagi ada di dalamnya; tubuhku berkeringat dan menggigil tanpa ada aba-aba dariku. Aku harus menyentuh dan memeriksa tubuhku untuk tahu apa yang sedang terjadi—seolah tubuh ini bukan milikku. Terus terang, masih bisa kurasakan tubuhku tenggelam dalam lautan nestapa, jatuh ke dalam jurang neraka, seperti saat manusia berada di atas pesawat yang menukik tajam ke tanah, jantungku berdebar tak karuan. Tapi bahkan itu pun tak bisa meyakinkanku bahwa aku memang benar masih hidup, masih bernapas. Semua yang dilakukan tubuhku tidak sinkron dengan apa yang ada dalam pikiranku. Selebihnya, tubuhku diam saja—dan aku hanya merasa beban fisik tubuhku, seolah aku terikat di punggung binatang raksasa. Pernah sekali kuletakkan tanganku di atas celana dan kurasakan celanaku lembab; tapi aku tak tahu apakah celanaku lembab karena air seni atau keringat, dan karena was-was aku pun membuang air kecil di atas tumpukkan debu batu bara. Sang dokter mengeluarkan sebentuk jam dari dalam saku, menatapnya. Ia berkata, “Sudah jam tiga-tiga-puluh.” Brengsek! Pasti dia sengaja mengumumkan hal itu. Tom kontan tersentak; kami sama sekali tak terpikir waktu akan berjalan begitu cepat; kini malam menyelimuti kami bagai gumpalan tanpa bentuk, aku bahkan tak ingat kapan hari berganti menjadi malam. Juan berteriak histeris. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi, maka ia memohon dengan sangat: “Aku tidak mau mati. Aku tidak mau mati.” Ia berlari mengelilingi sel tahanan seraya melambaikan kedua tangan di udara, sebelum akhirnya jatuh terpuruk di atas salah satu hamparan karpet sambil menangis tersedu-sedu. Tom mengamati teman satu selnya dengan sepasang mata yang sarat akan duka, tanpa menunjukkan sedikit pun niat untuk menenangkan Juan. Pada titik ini, tak ada gunanya bagi kami untuk menenangkan Juan: teriakan pemuda itu lebih lantang daripada suara kami berdua, dan ia bersikap sangat kontradiktif. Ibarat orang sekarat, Juan memerangi penyakitnya dengan menunjukkan gejala demam yang berlebihan. Menurutku, penyakit baru bisa dibilang sangat berbahaya apabila tak ada gejala apa-apa. Juan meratapi nasibnya: aku bisa lihat bahwa dia hanya mengasihani dirinya sendiri; dia bahkan tidak memikirkan tentang kematian sama sekali. Untuk sedetik, satu detik saja, aku juga ingin menumpahkan segala kekhawatiran dan ketakutan yang tersimpan dalam dada dengan cara menangis sejadi-jadinya, bahkan sekedar untuk mengasihani diriku sendiri. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: aku melirik ke arah Juan, menatap sepasang pundaknya yang ringkih terguncang oleh isak-tangisnya, dan aku merasa seperti robot, tanpa perasaan: aku tak punya belas kasihan. Aku menggumam pada diriku sendiri: “Aku ingin mati dengan cara yang bersih.” Tom bangkit berdiri, melangkah menuju titik dalam ruangan yang terletak tepat di bawah bukaan bundar di langit-langit sel, menunggu tibanya subuh, ditandai oleh secercah sinar mentari. Aku ingin mati dengan cara yang bersih, bathinku—dan hanya itu yang terus menghantui pikiranku. Namun sejak sang dokter mengumumkan waktu setempat, waktu terasa bagai air yang mengucur setetes demi setetes. Ketika kudengar suara Tom, suasana di luar sel tahanan kami masih sangat gelap. “Apa kau bisa mendengar langkah mereka?” Derap langkah para prajurit di lapangan luas terdengar jelas sampai ke dalam sel tahanan mereka. “Ya.” “Apa yang mereka lakukan? Mereka mana bisa menembak dengan baik di tengah kegelapan seperti ini?” Tak berapa lama, suara derap kaki tadi pun sirna. “Pagi telah tiba,” ujarku pada Tom. Pedro terbangun dari tidur, menguap, dan meniup cahaya lilin yang menerangi kerangka lampu minyak. Ia berkata pada sesama petugas keamanan di sampingnya, “Dingin sekali.” Gudang tempat kami ditahan tampak keabuan. Tidak jauh, kami mendengar desing peluru yang dimuntahkan dari mulut senapan. “Mereka sudah mulai,” kataku pada Tom. “Mereka pasti melakukannya di lapangan luas di belakang gedung.” Tom meminta sebatang rokok dari sang dokter. Aku tidak ingin merokok ataupun minum minuman beralkohol. Mulai saat itu, prajurit-prajurit di luar sana tak henti-hentinya menembakkan peluru dan menimbulkan kegaduhan. “Kau sadar ‘kan apa yang sedang terjadi?” tanya Tom. Ia ingin menambahkan sesuatu pada kalimatnya, tapi ia memilih untuk diam—matanya menatap ke arah pintu sel. Tak lama, pintu itu terbuka dan seorang Letnan melangkah masuk ditemani empat orang prajurit. Tom serta-merta menjatuhkan batang rokoknya. “Steinbock?” Tom tidak menjawab. Pedro menunjukkan jarinya ke arah Tom. “Juan Mirbal?” “Di atas karpet.” “Ayo, bangkit berdiri,” perintah sang Letnan. Juan tidak bergerak sedikit pun. Dua orang prajurit mengangkatnya dengan cara meletakkan satu tangan di bawah ketiaknya, membantunya berdiri. Tapi Juan terjatuh lemas saat para prajurit itu melepaskan pegangan mereka. Kedua prajurit tadi mendadak jadi ragu. “Dia bukan yang pertama kali jatuh sakit,” sahut sang Letnan. “Kalian berdua gotong dia; nanti di bawah juga dia akan dirawat.” Sang Letnan kemudian menatap Tom. “Ayo.” Tom menjejakkan kakinya di atas lantai sel tahanan dan melangkah gontai di antara dua orang prajurit yang ditugaskan untuk menjaganya. Dua prajurit lain mengikuti dari belakang, mengangkat Juan dengan satu tangan diletakkan di bawah ketiak pemuda itu. Juan tidak pingsan; matanya terbuka lebar dan airmata jatuh bercucuran di pipinya. Ketika aku juga ingin melangkah keluar, sang Letnan menghentikanku. “Anda yang bernama Ibbieta?” “Ya.” “Tunggu di sini; mereka akan datang menjemputmu nanti.” Setelah itu, sang Letnan dan ke empat orang prajurit pergi meninggalkan sel tahanan—diikuti oleh sang dokter Belgia dan dua orang tahanan. Aku dibiarkan sendiri. Aku tidak mengerti apa yang akan terjadi padaku, tapi sebaiknya apapun yang ingin mereka lakukan terhadapku dapat dilakukan secepat mungkin. Telingaku menangkap suara letusan senjata setiap beberapa hitungan detik; dan tubuhku gemetar saat mendengar letusan tersebut. Aku ingin berteriak atau menjambak rambutku sendiri. Tapi aku memaksa diri untuk sekedar mengatupkan rahang mulut sambil mendorong kedua tangan ke dalam saku celana agar nanti aku mati dengan cara yang bersih, tanpa pergulatan, tanpa dendam. Sejam kemudian, mereka kembali datang untuk menjemputku. Aku digiring ke lantai satu, ke dalam sebuah ruangan sempit yang menguarkan bau cerutu, serta yang suhu panasnya menyesakkan dada. Dua orang petugas keamanan duduk sambil mengepulkan asap rokok, setumpuk kertas tergeletak di atas pangkuan mereka. “Anda yang bernama Ibbieta?” “Ya.” “Di mana Ramon Gris?” “Aku tidak tahu.” Petugas yang sedang menginterogasiku bertubuh pendek dan tambun. Ia memandangku tajam dari balik kacamatanya. “Coba kemari,” katanya padaku. Aku menghampirinya. Ia bangkit berdiri dan memegang kedua lenganku, menatapku lekat-lekat sehingga membuatku gugup. Ia juga mencubit lenganku dengan sekuat tenaga—tapi bukan untuk menyakitiku. Itu hanya sebuah permainan: ia ingin membuatku merasa terintimidasi. Selain itu, ia juga mengembuskan napasnya yang berbau tak sedap tepat di hadapanku. Kami saling berhadapan seperti itu untuk sesaat. Aku ingin tertawa rasanya. Tidakkah ia tahu bahwa orang yang sekarat tak mudah diintimidasi? Karena tak berhasil menakut-nakutiku, petugas itu mendorongku ke belakang dan kembali duduk di kursi. “Kami akan menukar hidupnya dengan hidup Anda. Kalau Anda memberitahukan kami di mana posisi Ramon Gris, maka kami akan membebaskan Anda,” katanya. Meski membawa cambuk dan mengenakan sepatu bot, kedua pria ini juga akan mati cepat atau lambat. Entah kapan, tapi tidak lama setelah aku mati. Kini mereka sibuk mencari-cari nama di dalam lembaran kertas di atas pangkuan mereka, tugas mereka adalah mengejar para tersangka untuk dipenjarakan atau ditakut-takuti; mereka juga memiliki pendapat kuat tentang masa depan negara Spanyol serta tentang hal-hal serius lainnya. Kegiatan mereka menginterogasi tahanan tampak aneh dan kasar bagiku; aku tidak bisa bersimpati terhadap mereka. Menurutku mereka itu gila. Pria yang bertubuh pendek masih terus mengawasiku dari sudut matanya, menepis ujung cambuk ke atas sepatu. Semua gerakannya seolah ingin mengindikasikan bahwa ia adalah mahluk yang berbahaya. “Jadi? Anda mengerti?” “Saya tidak tahu Ramon Gris ada di mana,” jawabku. “Saya pikir tadinya dia ada di Madrid.” Petugas keamanan yang lain mengangkat tangannya di udara dengan malas. Kemalasan ini juga disengaja. Aku berhasil menembus tembok kepura-puraan mereka dan terkejut mendapatkan betapa mereka menikmati permainan kecil ini. “Kami beri Anda waktu seperempat jam untuk memikirkannya lagi,” kata si petugas keamanan. “Bawa dia ke ruang cucian, dan giring dia kembali kemari lima belas menit dari sekarang. Jika dia masih menolak untuk memberi informasi—jangan sungkan untuk langsung mengeksekusi dia di tempat.” Mereka tahu benar apa yang sedang mereka lakukan: setelah menunggu semalam suntuk, kini mereka akan membuatku menunggu satu jam lagi. Lalu, tadi saat aku ditinggalkan sendiri di dalam sel tahanan, mereka menghukum mati Tom dan Juan. Sekarang mereka membawaku ke ruang cucian: mereka pasti sudah menyiapkan skenario ini sejak semalam. Mereka begitu yakin aku akan menyerah dan akhirnya memberikan informasi yang mereka inginkan. Tapi mereka salah besar. Di dalam ruang cucian, aku duduk di atas kursi pendek karena aku merasa begitu lemah. Di situ aku mulai berpikir. Bukan tentang tawaran mereka, karena tentu saja aku tahu di mana Ramon Gris berada; ia bersembunyi bersama sepupunya, sekitar 4 kilometer jauhnya dari kota ini. Aku juga tahu aku takkan mungkin membocorkan informasi tersebut kecuali aku disiksa hidup-hidup (tapi tampaknya prajurit tadi tidak memikirkan kemungkinan ini). Semua tindakan mereka begitu teratur dan terukur, hingga aku hilang selera. Tidak lagi tertarik pada permainan mereka. Walau begitu, aku masih penasaran terhadap tindak-tandukku sendiri. Mengapa aku begitu rela mati demi Ramon Gris? Aku tidak lagi mempunyai rasa hormat terhadap Ramon Gris. Persahabatanku dengannya telah mati sejak menjelang subuh tadi, bersamaan dengan matinya cintaku terhadap Concha, bersamaan dengan matinya hasratku untuk hidup. Memang aku sangat menjunjung tinggi Ramon Gris: karena dia memiliki karakter yang spesial. Tapi bukan itu alasan aku rela mati menggantikannya; hidupnya tidak lebih berarti dari hidupku; tidak ada hidup yang lebih berarti dari hidup orang lain. Mereka akan membuat siapa saja berdiri memunggungi tembok dan menembakinya hingga mati; baik aku yang berdiri di sana atau Gris atau siapapun juga, sama saja. Aku tahu Ramon Gris akan lebih berguna bagi kemakmuran negara ini daripada diriku; tapi setelah dipikir-pikir, untuk apa aku memikirkan kepentingan nasional, ataupun anarki? Tak ada hal di dunia yang sepenting itu. Namun di sini juga aku berada: walau aku bisa saja menyelamatkan diri asal aku mau menyerahkan lokasi Ramon Gris—tapi aku menolak untuk melakukan itu. Betapa lucu situasi ini; betapa keras kepalanya aku. Memikirkan ini, aku jadi agak senang. Seolah menang. Mereka kembali datang menjemputku di ruang cucian dan membawaku kepada kedua petugas keamanan yang tadi menginterogasiku. Seekor tikus berlari cepat dari bawah kakiku dan membuatku tersenyum. Aku berbalik menatap salah satu anggota parlemen yang tengah duduk di hadapanku, dan berkata, “Kalian lihat tikus itu tadi?” Ia tidak menjawab, malah tampak sangat serius. Aku ingin tertawa, tapi kutahan hasrat itu karena aku takut begitu aku mulai tertawa maka aku takkan sanggup berhenti. Petugas keamanan itu memiliki kumis tebal di atas bibirnya. “Anda harus mencukur kumis Anda,” kataku padanya. “Dasar idiot.” Menurutku alangkah lucunya petugas ini membiarkan kumis tumbuh lebat di bagian wajahnya. Mendengar celotehanku, ia pun menendangku. Dan aku diam saja. “Gimana,” kata si petugas yang bertubuh tambun. “Sudah Anda pikirkan?” Kutatap mereka dengan pandangan penasaran, seolah mereka adalah sepasang serangga langka. “Saya tahu lokasi dia: di taman pemakaman. Entah di dalam peti atau di dalam gubuk penggali kuburan.” Semua itu hanya lelucon. Aku ingin melihat mereka bangkit berdiri, mengencangkan tali ikat pinggang, dan sibuk melancangkan perintah berdasarkan informasi palsu yang kuberikan. Benar saja, mereka buru-buru bangkit berdiri. “Ayo. Molés, kumpulkan lima belas prajurit dari pasukan Letnan Lopez,” kata petugas yang bertubuh tambun, sebelum beralih menghardik aku. “Kalau Anda hanya mengecoh kami, akan ada hukumannya; tapi jika Anda jujur, kami akan membebaskan Anda.” Mereka pergi tergesa-gesa dan aku dititipkan pada dua orang penjaga. Dari waktu ke waktu, aku menorehkan senyum di wajah—memikirkan situasi mereka yang tengah mengejar bayang-bayang semu. Aku merasa heran dan licik. Kubayangkan mereka mengangkat batu-batu nisan, membuka peti satu demi satu. Aku membayangkan situasi ini seolah aku berperan sebagai orang lain: salah satu pahlawan, sementara para petugas keamanan sibuk mengelilingi taman pemakaman—betapa lucu! Setengah jam kemudian, si petugas keamanan yang bertubuh pendek nan tambun kembali ke dalam ruang interogasi sendirian. Aku sudah yakin ia akan memberikan perintah bagi prajuritnya untuk mengeksekusi diriku. Yang lain pasti masih berkutat di taman pemakaman. Si petugas menatapku lekat-lekat. Ia tidak tampak malu-malu sama sekali. “Bawa dia ke lapangan bersama yang lain,” katanya memberi instruksi pada para penjaga. “Setelah operasi militer dilakukan, pengadilan umum akan menentukan nasibnya.” “Kalau begitu…mereka tidak akan…menembak saya?…” “Untuk saat ini, tidak. Apa yang terjadi nanti bukan urusan saya.” Aku masih tidak mengerti. “Tapi kenapa…?” tanyaku. Si petugas keamanan hanya mengangkat bahu tanpa memberikan jawaban jelas, sementara para penjaga menggiringku pergi. Di tengah lapangan luas, ada sekitar seratus tahanan, terdiri dari wanita, anak-anak, dan beberapa pria lanjut usia. Aku melangkah ke tengah-tengah rerumputan di pusat lapangan—bingung, kaget. Di siang hari, mereka membiarkan kami makan di ruang makan massal. Dua atau tiga orang menanyaiku macam-macam. Aku pasti kenal dengan mereka, tapi aku tak banyak bicara: aku bahkan tidak tahu aku ada di mana. Menjelang malam, mereka mendorong sepuluh tahanan baru ke tengah lapangan. Aku mengenali Garcia, si tukang roti. Katanya: “Beruntung sekali kau! Aku tidak menyangka akan melihatmu dalam kondisi hidup.” “Mereka menjatuhkan hukuman mati terhadapku,” kataku. “Lalu mereka berubah pikiran. Aku juga tak tahu kenapa.” “Mereka menangkapku pukul dua siang tadi,” kata Garcia. “Kenapa?” Garcia bahkan tak ada sangkut-pautnya dengan politik. “Entahlah,” katanya. “Mereka menangkap siapa saja yang tidak setuju dengan jalan pikiran mereka.” Kemudian ia menurunkan nada bicaranya. “Mereka juga menangkap Ramon Gris.” Aku mulai gemetar. “Kapan?” “Tadi pagi. Ramon Gris mengacaukan segalanya. Ia meninggalkan persembunyiannya bersama sepupunya di hari Selasa karena sebuah pertengkaran yang meletup di antara keduanya. Sebenarnya masih banyak tempat persempunyan yang tersedia, yang disediakan banyak orang baginya—tapi dia tidak mau berhutang budi kepada orang lain. Dia bilang, ‘Aku ingin bersembunyi di rumah Ibbieta, tapi mereka sudah menangkapnya, jadi aku akan bersembunyi di taman pemakaman.” “Di taman pemakaman?” “Ya. Bodoh sekali dia. Tentu saja para petugas menggeledah seisi taman tadi pagi, dan Ramon Gris tertangkap. Mereka menemukan dia di dalam gubuk penggali kuburan. Ramon Gris melepaskan tembakkan ke arah petugas keamanan dan akhirnya mereka menahan dia.” “Di taman pemakaman!” Kepalaku berputar hebat dan aku terjatuh duduk di atas tanah: aku tertawa sekeras-kerasnya hingga airmata jatuh berlinang di pipi. ———————— Catatan: >> JEAN-PAUL SARTRE adalah seorang filsuf, penulis, dan aktivis asal Perancis. Di tahun 1964, ia dinobatkan sebagai pemenang Penghargaan Nobel Sastra, namun ia menolak. Kisah ini, yang aslinya bertajuk ‘The Wall’, diterbitkan di tahun 1933 dalam sebuah koleksi cerita pendek berjudul sama. Baik cerita individu, maupun koleksinya, dianggap sebagai karya eksistensialis terbaiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H