Mohon tunggu...
Maggie Tiojakin
Maggie Tiojakin Mohon Tunggu... -

Maggie Tiojakin adalah seorang jurnalis dan penulis fiksi pendek. Karyanya telah dimuat di berbagai media massa baik lokal maupun internasional, seperti The Jakarta Post, Boston Globe, Writers' Journal, Eastown Fiction, Asia News Network (ANN), dan lain sebagainya. Saat ini dia berdomisili di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hiburan: Fiksi Lotus > Menembus Batas

26 April 2010   05:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:35 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah lucu dan mencekam dari salah satu penulis kenamaan Inggris, Saki, tentang persiteruan keluarga dan persahabatan. Mengambil setting di daerah Pegunungan Carpathian, di tengah indahnya hutan-hutan pegunungan, di mana para pemburu biasa mencari mangsa buruannya. Penasaran? Baca kisahnya di bawah ini, persembahan Fiksi Lotus. ------------------------------

Saki

Di tengah rimbunnya pepohonan dalam sebuah hutan lebat di belah timur tebing Pegunungan Carpathian*, seorang pria berdiri tegap mengawasi sekelilingnya. Saat itu musim dingin, dan ia tampak seolah sedang menunggu monster hutan datang menghampirinya, dalam jangkauan pandangannya, agar kemudian dapat ia bidik dengan senapan berburunya. Namun mangsa yang ditunggunya tak kunjung datang; Ulrich von Gradwitz terpaksa berpatroli di sekitar hutan gelap demi menemukan musuh besarnya. Daerah perhutanan milik keluarga Gradwitz tergolong sebagai salah satu yang terluas di kota itu dan merupakan habitat populer bagi rusa-rusa liar; dan meskipun sebaris area lahan hutan yang letak geografisnya sedikit curam melingkari tepian pegunungan tidak dikenal sebagai habitat rusa liar maupun lokasi berburu yang aman, bagian itu adalah yang paling sering diperebutkan para pemilik tanah di sana. Dulu, saat kakek Ulrich masih hidup dan menguasai area perhutanan ini, ada sebuah kasus hukum yang menarik perhatian orang banyak menyangkut kepemilikan sebaris area lahan hutan tersebut. Pihak yang merasa tanahnya direbut tidak pernah merasa puas terhadap keputusan pengadilan, dan selama tiga generasi hubungan antara kedua belah pihak tak ubahnya musuh bebuyutan yang bertekad untuk saling menghabisi. Skandal perebutan tanah secara ilegal pun terus berlangsung selama puluhan tahun. Persiteruan hebat itu pun akhirnya menjadi masalah pribadi sejak Ulrich resmi dinobatkan sebagai kepala keluarga Gradwitz; dan satu-satunya pria di dunia ini yang ia benci dengan seluruh jiwa dan raga adalah Georg Znaeym, penerus pertikaian antar-keluarga mereka dan seorang pencuri rusa liar yang punya kebiasaan menerobos perbatasan lahan milik keluarga Gradwitz. Pertikaian itu mungkin tidak perlu diperpanjang sampai sekarang atau diselesaikan bertahun-tahun lalu kalau saja kedua pria tersebut tidak menyimpan dendam kesumat terhadap satu sama lain. Dulu, saat masih kanak-kanak, mereka sudah menyimpan rasa benci yang tak terhingga terhadap satu sama lain; lalu saat mereka tumbuh dewasa, keduanya saling menyumpahi hidup satu sama lain agar tertimpa bencana; dan di malam musim dingin seperti sekarang, Ulrich telah menyatukan semua staf-nya untuk menjaga daerah perhutanan keluarganya di tengah kelamnya malam. Ia melakukan ini bukan untuk menangkap rusa liar; melainkan untuk menangkap para pencuri yang ia curigai telah menerobos garis perbatasan lahan. Sekelompok rusa liar yang biasanya berlindung di dalam gua saat terjadi badai angin kini berlarian tanpa aturan—dari gerakan mereka Ulrich menebak bahwa sekelompok rusa itu merasa resah, tidak aman, hingga mereka menolak untuk beristirahat. Tentu saja ada elemen pengacau di dalam hutan itu, dan Ulrich bisa menebak dari mana datangnya. Ulrich pun memisahkan diri dari kelompok penjaga yang sengaja ia posisikan di atas bukit guna menyergap siapa saja yang berniat menerobos garis perbatasan atau mencuri rusa-rusa liar di dalam properti keluarga Gradwitz—sementara ia menelusuri area lain jauh di bawah tebing curam di tengah jerat serasah**, menatap jauh ke atas ke arah batang-batang pohon sambil mendengarkan suara desau angin yang menggelinjang menerpa ranting-ranting pepohonan. Di mana para pengacau itu? Jika saja di tempat gelap dan sepi ini ia tak sengaja berpapasan dengan Georg Znaeym, berhadapan dengan satu sama lain tanpa ada yang tahu—Ulrich tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Tapi itu adalah harapan dia selama ini, sesuatu yang selalu ia bayangkan. Lalu, ketika ia melangkah hati-hati mengitari batang pohon beringin, mendadak ia dihadapkan kepada pria yang ia cari. Kedua musuh bebuyutan itu berdiri menatap satu sama lain untuk waktu yang lama, diselumuti oleh kesunyian yang mendalam. Masing-masing membawa senapan, dan masing-masing dari mereka juga sangat benci terhadap satu sama lain hingga ingin saling membunuh. Kini kesempatan yang mereka tunggu telah tiba—namun sebagai warga yang berpendidikan mereka tidak bisa begitu saja menembak seorang tetangga dengan darah dingin tanpa mengatakan sepatah kata pun, kecuali kalau memang terjadi pelanggaran hukum yang bisa dibuktikan atau terlontar kata hinaan yang tak termaafkan. Tetapi sebelum keraguan itu akhirnya memicu tindakan yang nanti disesali, tiba-tiba saja alam menunjukkan rencananya sendiri. Badai yang tengah menerpa mengakibatkan tumbangnya pohon beringin di sisi mereka, mengeluarkan suara yang menggelegar di atas kepala, hingga batang pohon berukuran raksasa itu terjatuh pasrah ke atas tanah. Ulrich von Gradwitz jatuh terpelanting dengan sebelah tangan telipat ke belakang, tertimpa tubuhnya sendiri, kebal rasa; sementara tangan yang lain tersangkut dalam jalinan ranting-ranting pepohonan; serta kedua kaki tercekat di bawah tumpukkan cabang pohon yang tumbang. Untung saja ia mengenakan sepatu bot yang biasa ia pakai untuk berburu—karena sepasang sepatu itu menyelamatkan kedua kakinya hingga tak remuk tertimpa cabang pohon. Namun, tetap saja, meskipun kakinya tak remuk, tulang kakinya mengalami trauma yang cukup berat hingga ia tak mampu bergerak sampai ada seseorang yang datang menyelamatkannya. Ranting yang mencuat dari cabang pohon mengiris kulit wajahnya, dan Ulrich terpaksa mengedipkan matanya berkali-kali demi menyingkirkan tetesan darah yang berkumpul di bulu matanya. Setelah itu, ia baru bisa melihat dengan jelas akibat dari bencana kecil barusan. Terbaring di sisinya, dengan jarak begitu dekat hingga mereka bisa bersentuhan, adalah Georg Znaeym, masih hidup namun tengah berjuang untuk mengangkat tubuhnya dari himpitan cabang-cabang pohon beringin yang tumbang. Di sekeliling mereka cabang dan ranting pohon dalam berbagai ketebalan serta ukuran bertumpuk pasrah menyerupai bangkai kapal yang karam di dasar laut. Lega karena masih hidup namun kesal terhadap kondisinya sekarang mendorong Ulrich untuk menuturkan serangkaian kutukan terhadap dirinya sendiri serta rasa terima kasih terhadap Yang Kuasa. Georg yang pengelihatannya agak terganggu karena darah yang terus menetes dari kepala berhenti berusaha membebaskan diri dari himpitan cabang-cabang pohon untuk sesaat dan mendengarkan keluhan serta kalimat syukur yang keluar dari bibir Ulrich. Hal itu membuatnya tertawa. “Jadi kau masih hidup, tapi kau tetap terjebak,” teriak Georg. “Terjebak dengan cepat lagi. Ho, lucu sekali, Ulrich von Gradwitz terperangkap di dalam hutan curiannya. Ternyata di dunia ini masih ada keadilan!” Georg tertawa lagi, lebih keras, lebih kejam, seraya mengolok-olok musuhnya. “Aku terperangkap di hutanku sendiri,” balas Ulrich. “Saat orang-orangku datang untuk membebaskan kita, kau akan berharap kau tak pernah mencoba mencuri tanah tetangga—memalukan sekali perbuatanmu itu.” Georg tertegun sesaat, lalu membalas dengan tenang: “Kau yakin saat orang-orangmu datang, kau masih hidup? Orang-orangku juga ada di hutan ini sekarang, tidak jauh dariku, dan MEREKA akan datang duluan kemari untuk membebaskanku. Saat mereka menarikku dari himpitan cabang-cabang pohon ini, takkan sulit bagi mereka untuk menggulingkan batang pohon raksasa ini tepat di atas tubuhmu. Orang-orangmu akan datang dan menemukanmu dalam keadaan mati tertimpa batang pohon beringin. Lalu, agar terlihat sopan, aku akan menyampaikan bela sungkawa terhadap keluargamu.” “Bagus juga idemu,” kata Ulrich penuh amarah. “Orang-orangku sudah diperintahkan untuk mengikuti jejakku dalam waktu 10 menit sejak aku pergi, dan kuperkirakan setidaknya 7 menit telah berlalu sejak tadi. Saat mereka membebaskan aku—aku akan ingat baik-baik idemu. Tapi karena tujuanmu kemari adalah untuk mencuri hewan-hewan piaraanku, maka kurasa aku takkan bisa mengirimkan pesan bela sungkawa terhadap keluargamu.” “Bagus,” kata George, “bagus sekali. Kita bisa bertengkar sampai mati—kau dan aku dan orang-orang kita, tanpa ada campur tangan penerobos di antara kita. Semoga kau mati dan dijatuhkan bencana, Ulrich von Gradwitz.” “Begitu pula untukmu, Georg Znaeym—tukang curi lahan dan rusa.” Kedua pria berbicara dengan nada pahit seolah terkalahkan, karena masing-masing dari mereka tahu bahwa akan memakan waktu cukup lama sebelum orang-orang mereka datang menemukan mereka, atau bahkan terpanggil untuk mencari keberadaan mereka: bahkan tak penting orang-orang siapa yang akan datang terlebih dahulu ke lokasi kejadian. Sekarang keduanya sudah berhenti berusaha melepaskan diri dari jeratan cabang-cabang pohon yang menimpa tubuh mereka; Ulrich membataskan tenaganya hanya untuk menggerakkan tangannya yang bebas ke saku jaketnya guna mengambil sebentuk wadah anggur. Tetapi sialnya, bahkan setelah ia berhasil mengambil wadah minuman itu, ia masih butuh waktu cukup lama untuk bisa membuka tutup botol tersebut dan menuangkan cairan di dalamnya ke dalam mulut. Untung saja saat itu musim dingin baru dimulai, hingga salju yang turun tidak terlalu banyak, dan mereka tidak terlalu menderita berada di alam terbuka. Meski begitu, cairan anggur yang diteguk Ulrich berhasil menghangatkan tubuhnya serta membangkitkan semangatnya, dan ketika ia menoleh ke arah musuh bebuyutannya itu dadanya mendadak dipenuhi oleh rasa simpati, menyaksikan pria itu mengerang kesakitan dan didera oleh lelah. “Apa kau bisa meraih botol ini jika kulemparkan ke arahmu?” tanya Ulrich tiba-tiba; “masih ada sedikit anggur di dalamnya, dan dalam kondisi seperti ini kita harus bisa bertahan dengan apa saja yang kita miliki. Mari minum, bahkan jika malam ini salah satu dari kita harus mati.” “Aku tidak bisa melihat apa-apa; terlalu banyak darah kental di sekitar mataku,” kata Georg. “Lagipula aku tak sudi minum anggur dengan musuhku.” Ulrich terdiam selama beberapa menit, berbaring mendengarkan siulan angin. Sebuah ide perlahan-lahan tumbuh di kepalanya, ide yang semakin menguat setiap kali ia menatap ke arah lawan bicaranya, yang tengah memerangi rasa sakit dan kelelahan yang hinggap di tubuh. Dihimpit oleh rasa sakit dan lelah luar biasa, Ulrich juga mendapati rasa bencinya terhadap Georg perlahan-lahan mulai terkikis. “Hey, tetangga,” katanya pada Georg, “jika orang-orangmu datang duluan, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Aku sudah berubah pikiran. Jika orang-orangku duluan sampai kemari, kau adalah orang pertama yang harus mereka bantu, seolah kau adalah tamuku. Kita telah bertengkar seumur hidup kita hanya gara-gara sebaris kecil hutan ini, di mana pepohonan bahkan tak bisa berdiri tegak di tengah halauan angin. Berbaring di sini, malam ini, aku mulai berpikir bahwa selama ini kita bertingkah seperti orang bodoh; masih banyak yang bisa kita lakukan daripada memperebutkan masalah lahan. Tetanggaku, jika kau bersedia mengubur pertikaian kita—aku ingin memintamu untuk menjadi sahabatku.” Georg Znaeym terdiam untuk waktu yang sangat lama hingga Ulrich berpikir bahwa lawan bicaranya itu mungkin pingsan diakibatkan luka-luka yang ia derita. Tapi kemudian ia angkat suara, pelan dan terbata: “Semua orang di daerah ini akan menggosipkan dan menatap kita dari ujung kepala sampai kaki kalau sampai kita berkendara ke tengah kota bersama. Tak ada orang di kota ini yang pernah melihat kedua keluarga kita akur berbicara dengan satu sama lain sebagai sahabat. Dan adakah kau bayangkan kedamaian yang akan kita ciptakan di antara para penjaga hutan jika kita akhiri persiteruan kita malam ini juga? Lalu, jika kita memutuskan untuk berdamai, maka takkan ada pihak luar yang bisa menerobos ke dalam daerah perhutanan ini … Kau bisa datang dan menginap di rumahku, dan aku bisa bertamu di istanamu sekali-sekali … Aku juga takkan pernah berburu di lahanmu, kecuali saat kau mengundangku untuk berburu di sana; dan kau bebas datang berburu bersamaku di rawa-rawa tempat bersembunyinya unggas liar. Di seluruh daerah propinsi takkan ada yang bisa menghentikan perdamaian kita. Tak pernah terlintas di kepalaku untuk melakukan apapun kecuali membencimu seumur hidupku, tapi sekarang aku bersedia merubah pikiranku tentang banyak hal—setidaknya setengah jam belakangan ini. Lalu kau tawarkan botol anggurmu … Ulrich von Gradwitz, aku dengan sukacita menerima persahabatanmu.” Untuk sementara, kedua pria itu jatuh bungkam; mungkin memikirkan perubahan-perubahan yang akan terjadi antar kedua keluarga mereka menyusul perdamaian ini, yang tentunya menutup semua drama persiteruan yang telah menyita hidup keluarga mereka selama tiga generasi. Di tengah hutan yang dingin dan kelam, sementara angin berembus menghantam ranting-ranting pepohonan, bersiul merayu batang-batang pohon, keduanya terbaring pasrah menunggu bantuan yang akan membebaskan mereka dari kemalangan. Masing-masing dari mereka pun berdoa agar orang-orang mereka segera datang, supaya mereka bisa saling menunjukkan kepada satu sama lain kemurahan hati mereka untuk memperlakukan satu sama lain sebagai sahabat. Ketika angin berhenti bertiup selama beberapa menit, Ulrich memecah keheningan. “Mari kita berteriak minta tolong,” katanya. “Di tengah kesunyian ini suara kita mungkin bisa bergema cukup jauh.” “Suara kita takkan mampu menembus kumpulan pepohonan dan semak belukar,” kata Georg. “Tapi kita bisa mencoba. Bersama-sama, ya.” Keduanya kemudian berteriak sekeras mungkin dan selama mereka mampu. “Sekali lagi, bersama-sama,” kata Ulrich beberapa menit kemudian, setelah panggilan pertama mereka tak membuahkan hasil. “Aku tak mendengar apapun kecuali angin yang mengganggu,” kata Georg serak. Selama beberapa menit ke depan, mereka kembali terbungkus dalam hening; lalu Ulrich memekik riang. “Aku melihat ada beberapa sosok yang melewati hutan. Mereka mengikuti jejak kakiku di pinggiran bukit.” Kedua pria itu pun lantas berteriak selantang mungkin. “Mereka mendengar kita! Mereka sudah berhenti. Sekarang mereka melihat kita. Mereka berlari menuruni bukit untuk menghampiri kita,” pekik Ulrich dengan hati meletup senang. “Ada berapa orang yang kau lihat?” tanya Georg. “Aku tidak bisa melihat dengan jelas,” kata Ulrich. “Sekitar sembilan atau sepuluh orang.” “Kalau begitu mereka adalah orang-orangmu,” kata Georg. “Aku hanya membawa tujuh orang bersamaku.” “Mereka bergerak secepat mungkin—orang-orang pemberani,” kata Ulrich lega. “Apa mereka orang-orangmu?” tanya Georg. “Apa mereka orang-orangmu?” Georg mengulang pertanyaannya dengan tidak sabar karena Ulrich tak menjawab. “Bukan,” kata Ulrich seraya mencetuskan tawa idiotik yang memecah suasana, keluar dari kerongkongan manusia yang terbalut teror. “Lantas siapa mereka?” tanya Georg cepat, berusaha mengedipkan matanya untuk melihat apa yang tidak ingin dilihat teman sependeritaannya. “Serigala.” ———– Catatan: * Pegunungan Carpathian memanjang di antara Eropa Tengah dan Timur, melengkung seperti busur sepanjang 1,500 km. ** serasah adalah guguran segala cabag pohon, daun, ranting, bunga, dan buah. >> Kisah ini bertajuk ‘The Interlopers’ karya Saki, diterbitkan pertama kali pada tahun 1919. Saki adalah nama pena dari Hector Hugh Munro, seorang penulis asal Inggris yang dikenal kepiawaiannya dalam menulis fiksi pendek hingga bakatnya sering disandingkan dengan bakat penulis kenamaan lainnya, O. Henry.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun