Kulihat pagi-pagi dia bangun sebelum yang lain bangun. Dia beranjak menuju dapur untuk mempersiapkan sarapan. Hal ini setiap hari yang dia  lakukan. Dia tidak marah  walaupun sendirian mengurus semua, kemudian membangunkanku. Dibelainnya rambutku meskipun umurku juga sudah pantas bergelar seperti dia.Â
Dia duduk di tempat tidurku dan berkata secara halus. Hal ini masih saja dia lakukan hingga dewasa dengan tulus tanpa bosan. Seorang ibu pastinya sayang kepada anak-anaknya. Masih kuingat dulu, ketika masih kecil dia  menggendongku setiap aktivitasnya, bahkan aku tidak mau untuk ditinggal tatkala dia ingin keluar untuk mencari sesuatu. Masih teringat jelas saat diriku sakit dia menggendongku sambil mengayuh sepedanya tanpa lelah. Pada saat itu kami belum mempunyai sepeda motor, jadi ibu mengayuh sepedanya untuk membawaku ke tukang pijet. Sudah menjadi kebiasaan saat aku sakit pertolongan pertama adalah pijet setelah itu baru ke bidan. Tukang pijet menjadi sangat familiar dengan aku dan ibu hampir sering mendatangi rumahnya karena waktu itu kondisi tubuhku mudah terkena penyakit.Â
Rumah tukang pijet lumayan jauh ibu harus mengayuh dengan keras ketika melewati jalan menanjak. Ada dua jalan  menanjak yang harus dilalui ibu. Jalanpun masih bebatuan dan terjal. Ibu menggendongku dan mengayuh sepedanya seorang diri, bapakpun tidak mau tahu tentang keadaaanku, bahkan saat tubuhku sangat lemah dan harus dibawa kerumah sakit bapak tidak tahu. Saat itu tukang pijet tidak berani memijatku dengan alasan demam tinggi dan bu bidan juga tidak mau menyuntikku dengan alasan sama. Bu bidan menyarankan untuk membawaku kerumah sakit. Ku lihat mata ibu mulai memerah, aku yang sejak itu berumur empat tahun sempat merasakan kesedihan ibu. Maafkan anakmu ini bu.
Ibu selalu mengerjakan sesuatu sendiri, aku yang sering membantah ibu terkadang sampai mengeluarkan air matanya. Iya, aku sangat nakal sewaktu kecil. Masih kuingat, saat itu kami  sekeluarga pergi kerumah nenek (ibu dari bapak). Pada saat itu masih mengayuh sepeda yang jaraknya sangat jauh dari rumah kami. Ketika mau pulang, kebetulan melewati pasar kecil, aku kepincut dengan sandal, padahal aku baru saja dibelikan. Aku menangis dengan keras, bahkan orang-orang di pasar melihatku. Ibu langsung menggendongku dan memaksaku serta menaikkaku di atas sepeda.Â
Dalam perjalanan aku masih menangis dengan keras, bahkan  aku berdiri dibelakang ibu. Orang-orang yang di belakang heran dan kaget melihat kelakuanku. Bahkan salah satu yang di belakang adalah tetangga desa dan dia penjual es dawit yang sering di lewati ketika pulang ke rumah nenek. Beranjak dewasa penjual dawit itu masih saja ingat, dia bercerita saat kejadian di pasar. Dia bertanya kepada ibu, ''apakah anakmu masih nakal seperti dulu? Ibuku menjawab ''ya....masih bu'' sambil tersenyum.
Kelakuan bisa dibilang sangat nakal dan apapun yang menjadi keinginanku jika tidak terpenuhi aku akan mengamuk dan menangis dengan keras. Meskipun seperti itu, Ibu masih tetap saja sabar dan mencoba untuk memenuhi kebutuhanku. Dia masih tetap memasak buatku, masih memberiku uang jajan tanpa bosan. Semakin dewasa aku mulai sadar bahwa kasih sayang ibu tanpa batas. Air mata ini akan menetes tatkala mengingat masa kecil.
Kasih sayang itulah hadiah terindah yang sangat beharga buatku. Hadiah yang tidak bisa dinilai dengan materi. Itu yang menurutku hadiah teridah ibu kepada anaknya. Ibu yang selalu mengutamakan kepentingan anakknya dari pada kepentingan dirinya sendiri. Saat lebaran tiba dia membelikan baju anaknya terlebih dahulu, bahkan dia mencari-cari uang demi menyenangkan hati anaknya. Meskipun bapak jarang memberinya uang ibu tetap mencari uang sendiri demi memberi makan kepada kami. Dia tidak  pernah bosan.
Kini umurnya menua saat kutinggal ke jogja dia berumur 42 tahun. Mungkin ini berat, tapi aku menginginan udara yang berbeda dan ingin mengasah kemampuanku di kota lain. Lulus SMA, keinginan kuliah sempat gagal, tetapi keinginanku sangatlah kuat dan keras. Orang tua tidak setuju jika diriku kuliah di Jogja.Â
Namun, aku selalu berdoa untuk kuliah di Jogja. Tidak disangka aku mendapatkan beasiswa kuliah di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Kabar ini menyebar di desa. Ibu yang tadinya tidak setuju dengan pilihanku menjadi setuju. Ibu bahkan bangga dengan diriku. Saat pergi ke Jogja untuk pertama kalinya ibu rela bepuasa agar perjalanan ke Jogja lancar tanpa ada halangan apapun. Air mataku menetes kala itu. Ibu mengatakan tidak bisa memberikan apa-apa kecuali mendoakan agar aku menjadi anak sukses.
Banyak cerita yang berkesan dan menguras air mata saat mengenang kasih sayang ibu. Ibu adalah segalanya bagiku tanpanya apalah aku ini. Ibu yang tulus ihklas memberikan  segalanya untuk kebahagiaan anaknya. Kadang sengaja tidak memberi kabar malah memberi kabar kepada orang lain. Kadang kala pernah mengatakan i love u kepada orang lain dari pada ibu, pernah mengatakan sayang kepada orang lain ketimbang ibu.
 Mana yang paling beharga orang lain atau ibu? Jelas ibu, tetapi masih saja ada orang lain yang lebih bearti dari pada ibu. Maafkan anakmu ini ibu. Anakmu berjanji akan membahagiakanmu. Hal itu sudah tercatat dalam buku diaryku beberapa tahun yang lalu. Dalam buku diaryku aku menulis aku rela tidak bahagia di masa remajaku asalkan untuk membahagiakan ibu. Hal itu masih kuingat jelas dalam memoriku, bahwa aku sangat mencintainya dan menyayanginya.
Ibu terimakasih atas semuanya,maafkan anakmu. Terimakasih atas hadiah kasih sayang yang tidak akan pernah kulupakan hingga menutup mata. Maafkan anakmu ini belum bisa membahagiakanmu ibu. I Love U ibu. Terima kasih telah merawatku dan membesarkaku dengan kasih sayangmu yang tulus. Kasih sayangmu adalah kado terindah untukku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H