Tulisan ini adalah buah dari puncak kekesalan saya dan beberapa orang yang telah berkeluarga lainnya dalam mencari rumah idaman di daerah Sukoharjo dan Boyolali serta Karang Anyar.
Betapa tidak dengan anggaran suami yang sebetulnya masih lebih dari cukup untuk membeli sebuah rumah di kawasan perumahan dengan pertimbangan lingkungan yang teratur sampai sekarang hanya menjadi hasrat saja.
Saya dan mungkin beberapa orang lain sangat kecewa dengan pengembang yang seenaknnya saja membangun sebuah kawasan perumahan yang hanya terdiri dari beberapa unit rumah dengan luas tanah maksimal 85 m2, sementara yang lebih luas dari itu tidak ada. Adanya disuruh untuk membeli kelebihan tanah yang itupun sudah tak kebagian. Lebih mengecewakan lagi rata-rat cluster mini tak ada fasilitas umum dan fasilitas sosial yang disediakan oleh pengembang.
Sungguh ironis disaat pemerintah mencanangkan untuk membangun ribuan rumah murah tetapi justru perumahan dengan kedok cluster mini satu pintu semakin banyak bermunculan di daerah eks karesidenan Surakarta. Yang sungguh sangat tidak nyaman.
Pak menteri ini keburukan sistem cluster yang sekarang:
- Dengan dibangunnya perumahan cluster mini yang hanya satu pintu dijaga satpam. Otomatis privacy kami terganggu karena keluar masuk diawasi satpam.
- Banyak juga pengembang membangun perumahan cluster dengan model berderet dan sejajar hanya satu jalan dengan bentuk rumah berhadapan atau tunggal, yang sekali lagi sangat mengganggu privacy. Coba pak menteri bayangkan kalau seandanya bapak tinggal paling pojok rumah cluster di urutan deret 30, bagaimana bapak harus keluar masuk pintu satpam dengan diawasi oleh puluhan pasang mata para penghuni di deretan paling awal.
- Rumah cluster sangat buruk terhadap lingkungan sosial karena jarang warga berbaur dengan warga asli karena terhalang dengan sekat tembok.
- Seandainya ada rencana perumahan lagi di sebelah atau di belakang oleh pengembang lain maka akan ada jalan yang mubazir alias dikorbankan untuk perumahan baru tersebut. Bukankah akan lebih efektif jika model perumahan berskala besar seperti orde baru dulu. Jadi satu area tanah bisa diakses oleh warga siapa saja tanpa terkecuali dan banyak pintu keluar masuk.
- Pembangunan cluster mini rata-rata hanya pengembang bermodal kecil yang ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Bandingkan dengan jaman orde baru yang setiap pengembang ingin berinvestasi harus diseleksi secara ketat dan diharuskan membangun rumah lebih dulu sekian ratus unit sebagai percontohan untuk konsumen.
- Kecurangan pengembang yang sekarang adalah ketika kita ingin membeli rumah entah tunai atau kredit maka kita merogoh uang lebih dalam baru rumah dibangun dengan spesifikasi asal-asalan.
- Dengan bermunculannya pengembang modal kecil yang nekat membangun rumah maka banyak aspek-aspek lingkungan yang standar untuk sebuah perumahan di era orde baru tidak terpenuhi seperti pengurukan jalan yang tidak sempurna bahkan tidak di uruk yang mengakibatkan kebanjiran karena areal perumahan tersebut terletak di dataran rendah dibanding rumah-rumah penduduk yang lain.
- Sistem drainase dan pembuatan selokan serta septik tank rata-rata asal-asalan dan di masa mendatang mesti menimbulkan konflik dengan warga sekitar karena pembuangan air yang tak terpecahkan.
Demikian tulisan ini kami buat pak menteri, kepadamulah kami berharap untuk Menteri Perumahan Rakyat yang terhormat.
Apapun itu perumahan yang sekarang hanyalah berkedok cluster, sungguh jauh jika dibandingkan denganh perumahan model cluster di awal trend seperti di kawasan kota legenda yang memang untuk segmen kelas kantong tebal. Kami berharap pak menteri mengkaji kembali sistem pembangunan perumahan karena ulah mereka. Pemukiman rumah cluster abal-abal tersebut disamping menggangu kondisi lingkungan yang dinamis juga berpengaruh terhadap aspek sosial dan psikologis penghuninya.
Saya dan beberapa calon konsumen sangat mendambakam perumahan seperti contohnya perum Korpri Sukoharjo atau Perum Gagak Sipat Boyolali. Sungguh merupakan hunian yang sepantasnya sebagai sarana bersosialisasi sebagai hakekat manusia adalah makhluk sosial.
Demikian pak menteri. Terima kasih anda telah membaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H