Perawat akan banyak ditemui di tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dan balai-balai kesehatan yang tersebar di berbagai kota. Lantas, bagaimana dengan tempat-tempat terbatas yang dihuni oleh sekelompok orang tertentu seperti di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)? Jika dalam rumah sakit ada ratusan perawat, di puskesmas dan balai kesehatan ada puluhan perawat, maka di lapas umumnya hanya ada satu ada dua orang perawat saja, yang melayani jumlah klien (warga binaan) ratusan orang.
Pada umumnya tugas perawat di Lapas sama dengan perawat di puskesmas. Mereka membuka pelayanan setiap hari untuk warga binaan yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Keluhan-keluhan seperti batuk, flu, sakit kepala, dan gatal akan sangat sering ditemui dalam Lapas. Namun, beberapa kali terjadi kasus yang tidak bisa ditangani sendiri di klinik Lapas sehingga perawat harus melakukan rujukan ke rumah sakit.
Menurut Doheny (1982) dalam Kusnanto (2003), peran perawat dalam keseharian tugasnya meliputi:
1. Caregiver, sebagai pemberi asuhan keperawatan,
2. Client advocate, sebagai pembela untuk melindungi klien,
3. Counsellor, pemberi bimbingan/konseling klien,
4. Educator, sebagai pendidik klien
5. Collaborator, sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut untuk dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain,
6. Coordinator, sebagai koordinator agar dapat memanfaatkan sumber-sumber dan potensi klien,
7. Change agent, sebagai pembaru yang dituntut untuk mengadakan perubahan
8. Consultant, sebagai sumber informasi yang dapat membantu memecahkan masalah klien
Perawat lapas melakukan asuhan keperawatan yang menjadi tugas utama seorang perawat. Tapi, tentu saja tak cukup hanya itu, terutama jika ada kasus yang mengharuskan warga binaan dirujuk keluar. Tak semua warga binaan orang mampu dari segi ekonomi, tak semua warga binaan memiliki kartu identitas bahkan salinannya, tak semua warga binaan memiliki jaminan kesehatan. Perawat lapas memiliki tantangan besar ketika mendapati kasus warga binaan harus dirujuk ke rumah sakit, sedangkan ketika kondisi warga binaan tersebut tidak mampu, kartu identitas (KTP) Â entah kemana, apalagi jika ditanya kepemilikan bpjs, jawabannya bisa sangat abu-abu.
Kusnanto (2003) menyatakan sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara klien dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela kepentingan klien, dan membantu klien memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan. Dalam kode etik keperawatan yang dikeluarkan oleh International Council of Nurses pada tahun 2012 juga disebutkan bahwa perawat mengadvokasi kesetaraan dan keadilan sosial dalam alokasi sumber daya, akses ke perawatan kesehatan dan layanan sosial ekonomi lainnya.Â
Perawat lapas yang sedang menjalankan peran sebagai seorang advokat akan segera mencari solusi agar klien (warga binaan sakit) dapat segera tertangani dan mendapat pelayanan kesehatan di RS. Hal yang pertama dilakukan adalah menghubungi keluarga klien untuk menanyakan apakah klien memiliki bpjs atau tidak. Jawaban yang didapatkan terkait kepemilikan bpjs ini bisa bermacam-macam: ada tapi telat bayar berbulan-bulan; ada tapi kartu hilang; sepertinya pernah punya tapi ditahan di polres; atau jawaban yang singkat namun belum menyelesaikan masalah: tidak punya.Â
Sebagai advokat, perawat lapas tidak akan berhenti hanya dengan bertanya saja. Perawat akan membantu keluarga klien untuk menyelesaikan permasalahan kepemilikan kartu jaminan kesehatan. Misalnya, jika klien / keluarga klien tidak yakin apakah klien memiliki jaminan kesehatan dari pemerintah, perawat akan membantu mencari data kepemilikan jaminan tersebut dengan menyocokkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) klien.
Memang agak lucu jika seseorang sampai tidak yakin apakah itidak sedikit warga binaan yang seperti itu. Namun fakta di lapangan demikian adanya. Hasilnya setelah dilakukan pencocokan NIK, nama mereka masuk dalam penerima jaminan kesehatan dari pemerintah. Jika demikian, perawat akan meminta keluarga klien untuk melakukan pencetakan ulang kartu di kantor BPJS terdekat. Bahkan jika keluarga tidak ada yang bisa melakukannya, perawat yang akan mendatangi kantor BPJS sendiri  untuk membantu menyelesaikan permasalahan tadi, agar kliennya dapat segera mendapatkan hak pelayanan kesehatan.Â
Jika beruntung, perawat dapat menemui kasus yang meskipun kliennya tidak memiliki BPJS, namun setelah dihubungi, keluarga menyatakan bahwa mampu untuk membiayai biaya pengobatan sendiri. Surat pernyataan kesanggupan membayar biaya kesehatan akan diserahkan kepada pihak keluarga untuk pertanggungjawaban di kemudian hari. Meskipun pada beberapa kasus, setelah akhir masa perawatan, keluarga klien mendadak mengatakan tidak memiliki dana untuk biaya perawatan di rumah sakit, dan KTP perawat akan ditinggal di rumah sakit sebagai jaminan hingga biaya perawatan klien dapat dilunasi.
Sebagai advokat klien, banyak lika-liku yang dihadapi oleh perawat lapas. Namun, semua rintangan tersebut akan dilewati demi kesembuhan klien. Jayalah perawat lapas Indonesia!Â
Daftar Pustaka
International Council of Nurses (2012) The ICN Code of Ethics for Nurses.
Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. EGC: Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H