Sharenting, sebuah istilah yang muncul pertama kali sekitar 2010 di media global, Wall Street Journal. Sharenting mengacu pada aktivitas orang tua mendokumentasikan kelucuan, prestasi, praktik pengasuhan, dan tahapan tumbuh kembang anak mereka melalui postingan berupa tulisan, foto, atau video yang dibagikan pada publik lewat berbagai media.
Sebetulnya, sharenting bukan fenomena baru. Sejak dahulu pun sudah banyak orang tua berbagi kisah tentang anak dari mulut ke mulut, foto cetak, atau album keluarga. Hal yang membedakan orang tua zaman dahulu dengan sekarang adalah keberadaan media lebih beragam, seperti website, blog, Instagram, Facebook, YouTube, dan sebagainya.
Sampai hari ini, sharenting tetap tak lepas dari kritik. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Sebagai ibu tiga anak di mana dua di antaranya anak istimewa, saya mencoba membahas sharenting dari sudut pandang positif.
Media sosial dan gangguan tumbuh kembang anak
Lanskap digital hari ini kian kompleks dan interaktif. Para dokter dan konsultan tumbuh kembang anak yang dahulu hanya bisa kita temui di rumah sakit dan berbayar sekarang umumnya memiliki media sosial. Mereka juga sering diminta menjadi narasumber yang mengisi berbagai dialog dan diskusi terkait tumbuh kembang anak.
Orang tua di berbagai penjuru dunia, selama mereka terhubung dengan internet bisa mengikuti acara yang digelar online dan umumnya gratis itu, seperti melalui Instagram Live, YouTube Streaming, atau Zoom Meeting.
Tak jarang, para ahli kesehatan anak ini membuat konten-konten terkait bidang mereka. Saya follow beberapa akun media sosial dokter anak yang senang berbagi informasi seputar tumbuh kembang anak di berbagai platform.
Sebut saja Dokter Kanya Ayu (@momdoc.id) yang sering menyajikan konten gratis terkait tumbuh kembang anak dan laktasi. Ada juga Dokter Meta Hanindita (@metahanindita) yang acap memosting video-video seputar makanan pendamping ASI atau MPASI.
Dokter Aman Pulungan (@amanpulungan), pakar endokrin anak sering diundang sebagai pembicara di berbagai kesempatan. Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini sangat vokal menyoroti kasus gizi buruk di negara kita, salah satunya stunting. Beberapa tahun terakhir, penurunan kasus stunting menjadi salah satu prioritas pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan.
Dokter Rudy Sutadi (Facebook: DOKTER RUDY SUTADI) adalah profesional pertama di Indonesia yang menyebarluaskan Applied Behavior Analysis (ABA) untuk autisme. Dokter spesialis anak ini awalnya mempelajari autisme dan penanganannya untuk kebutuhan sendiri, yaitu terapi putra pertamanya yang mengidap sindrom tersebut.
Banyak lagi dokter anak dan konsultan tumbuh kembang anak yang namanya tak bisa saya sebutkan satu per satu. Informasi media sosial mereka telah menyebar luas dan menjadi ladang ilmu bagi para orang tua, khususnya ibu-ibu di Indonesia.