Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Freelancer - Mutia Ramadhani

Istri dan ibu tiga anak, Maetami dan Twins Mainaka. Seorang full-time mom, penulis, novelis, bloger, dan content writer di Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Sharenting Tingkatkan Kewaspadaan akan Gangguan Tumbuh Kembang Anak

4 Mei 2023   01:00 Diperbarui: 4 Mei 2023   01:02 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah tumbuh kembang anak bukan hanya menyangkut fisik. Gangguan belajar juga termasuk gangguan tumbuh kembang yang memengaruhi area kecerdasan tertentu. Beberapa kondisi yang masuk dalam kategori ini, antara lain anak kesulitan membaca (disleksia), anak kesulitan menghitung (diskalkulia), dan anak kesulitan menulis (disgrafia).

Ada banyak gejala yang ditunjukkan anak dengan gangguan belajar. Contohnya, anak sulit membedakan kanan dan kiri, tidak bisa mengurut angka dan huruf dengan benar, sulit mengingat apa yang baru saja ditulis atau diucapkan, tidak memahami konsep waktu.

Anak dengan gangguan belajar tertentu tidak bisa mengoordinasikan tubuh dengan baik ketika bergerak. Mereka sulit mengerjakan tugas-tugas keterampilan, seperti menulis, menggambar, atau menggunting.

5. Auditory processing disorder (APD)

Gangguan proses auditori timbul ketika otak tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Gangguan pendengaran ini bisa dialami berbagai usia, termasuk anak-anak.

Gejalanya, antara lain anak sulit merespons suara, sulit memahami percakapan orang lain, sulit membaca atau mengeja, sulit menikmati musik, dan sulit mengingat petunjuk. Penyakit ini bisa saja diturunkan, bisa juga karena cedera kepala pada anak.

Masih banyak lagi contoh lain gangguan tumbuh kembang anak. Ada cerebral palsy, down syndrome, keterbelakangan intelektual, dan sebagainya. Semua membutuhkan perhatian orang tua sejak dini. Jika tidak, sia-sia saja bonus demografi yang disebut-sebut sebagai potensi sumber daya manusia yang besar di Indonesia.

Sharenting tentang autisme

Pada 2020, putra kembar saya didiagnosis autis. Saya yakin, di awal, tidak ada satu pun orang tua bisa menerima kenyataan anak kesayangannya mengidap gangguan tersebut.

Kedua anak saya tak kunjung bisa berkomunikasi hingga usia hampir dua tahun. Mereka mudah tantrum, menghindari interaksi dengan orang lain, tidak bermain wajar sebagaimana anak-anak seusia mereka, melakukan self-stimulating atau stimming terus menerus, bahkan salah satunya kerap melukai diri sendiri setiap kali mengalami gejolak emosi.

Ini penyakit apa sih? Kok bisa anak saya autis sementara tak satu pun anggota keluarga saya mengalaminya? Kenapa tiba-tiba putra saya membawa kelainan genetik itu?

Terus larut dalam penolakan dan pencarian jawaban rupanya hanya membuang-buang waktu. Hal yang seharusnya saya dan suami lakukan sebagai orang tua adalah menerima keadaan (acceptance) kemudian mencari solusi.

Autisme adalah kelainan genetik. Kami bisa apa untuk membersamai buah hati kami? Di sinilah saya merasa terbantu sekali dengan kehadiran internet dan media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun