Sebut saja Cikal. Masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Hobinya menggambar. Dan hafal nama-nama pesepakbola. Dari yang kelas dunia. Maupun di liga negara kita.
Ada rasa bangga di hati. Pada dia yang masih terhitung cucu ini. Semangat belajar. Dan semangat menggambar.
Kreasi gambarnya memenuhi dinding kamar mungilnya. Gaya khas anak-anak yang penuh warna. Dan imajinatif. Mengingatkan saya pada karya-karya Erika. Si pelukis dekoratif.
Tapi, tak nampak satu pun gambar pemain bola jagoannya. Entah kenapa. Malah ada tokoh Joker dengan kostum ondel-ondel dalam gambar barisan arak-arakan tujuh belasan. Itulah karyanya yang membuat saya terkesan.
Sampai akhirnya kejutan tiba. Kala tak terduga dia serius bertanya.
Apakah Aki percaya bumi itu bulat? Apakah Aki yakin ada orang yang sampai ke bulan? Aki itu sama dengan kakek dalam bahasa Sunda.
Imajinasi saya pun berkelana. Pada teman sekolah yang dulu tergila-gila pada Harun Yahya. Pada rekan kerja penganut 'mazhab' bumi datar garis keras tak kenal kompromi. Pun pada teman lain yang gandrung teori konspirasi. Yang semakin menjadi-jadi usai nonton film The Da Vinci Code yang kontroversi.
          ***
Saya tak mungkin menghakimi mereka. Bahwa semua itu melawan fakta. Apalagi terhadap Cikal. Meski pertanyaannya agak tak masuk akal.
Cikal, teman sekolah, teman kerja, dan teman lain itu sejatinya haus akan rasa ingin tahu. Dan itu bagus. Teramat bagus. Apalagi di era mudahnya akses informasi. Yang tak mungkin kita halangi. Kita batasi.
Teringat dahulu, gegara sebuah buku. Saya pernah meyakini. Lapisan-lapisan ozon yang melindungi bumi adalah bukti. Bahwa itulah kebenaran dari kitab suci. Tentang langit yang berlapis tujuh! Sampai akhirnya tersadar bahwa itu tak lebih dari cocokologi. Seperti cocokologi-nya nama kerajaan Saba (Syeba) dengan kata Wonosobo. Wana (Wono) yang berarti hutan dan Saba (Sobo) yang berarti negeri Saba. Negeri Saba yang dikelilingi hutan.
Kata guru. Semakin banyak kita belajar, semakin banyak hal yang membuat kita sadar. Bahwa banyak hal yang kita tidak tahu. Setelah kita banyak tahu.
Tahu. Tentu berbeda dengan sok tahu.
Sebab orang yang sok tahu, jelas nir ilmu. Kadang nir etika pula. Karena suka begitu mudahnya menghakimi tanpa rasa dosa. Menilai orang lain bodoh, sesat, salah.
          ***
Rasa ingin tahu. Mempertanyakan sesuatu. Meragukan sesuatu. Adalah langkah awal untuk berpikir. Yang oleh Rene Descartes dengan cerdas diformulasikan dalam satu kalimat: Cogito Ergo Sum. Aku berpikir maka aku ada. Jadi kalau tidak berpikir artinya.....
Maka berpikirlah. Bertanyalah. Kejarlah keingintahuanmu. Jangan ragu. Jangan takut salah. Kata pepatah: hanya keledai yang terantuk dua kali pada lubang yang sama.Â
Kemudahan di era digital sekarang ini. Adalah hasil olah pikir yang tiada henti.
Kemewahan berpikir tak hanya milik ras tertentu. Bangsa tertentu. Gen tertentu. Seperti yang kerap dinarasikan sebagian orang. Bahwa kaum Yahudi sudah ditakdirkan pintar hingga hari kiamat datang.
Sungguh itu pola pikir yang inferior. Mental inlander.
Cikal, teman sekolah, teman kerja, dan teman lain tetaplah terus untuk belajar. Sebab itulah ciri eksistensi diri. Bahwa dirimu ada. Bahwa dirimu berpikir.
Kecuali jika kalian cepat berpuas diri. Lalu, mencemooh mereka yang berbeda denganmu. Percayalah, itu mematikan nalar sekaligus keber-ada-anmu!
Saya hanya berharap. Cikal tak berhenti belajar. Bukan sekedar mendengar. Apalagi cuma dari omongan orang sekitar. Tanpa pernah mau menggunakan nalar.
Bacalah! Begitu perintah Allah pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW. Tak sekedar membaca yang tersurat. Tekstual. Tapi juga yang tersirat. Kontekstual. Itulah pintu masuk untuk berpikir.
Setelah 79 tahun kita merdeka. Harus dibutuhkan berapa puluh tahun lagi agar sikap inferior tidak terus mendera.Â
Mikiir, begitu seru Cak Lontong.
Bogor, 23 Agusutus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H