Lelaki berkaca mata minus itu tengah mencuci sejenis kawat yang dari baunya seperti habis terbakar.
"Ini bukan kawat. Ini tembaga yang biasanya ada di barang-barang elektronik. Kayak komputer, TV tabung, mesin pompa air. Harga perkilonya lumayan tinggi. Meski sekarang agak turun," urainya disela-sela kesibukannya mengais-ngais kawat tembaga dari sisa-sisa bakaran di kebunnya yang luas.
Iwan, nama pria paruh baya itu lebih suka menyebut dirinya tukang rongsokan dari pada disebut petani. Padahal kebunnya cukup luas.
"Jadi petani banyak nganggurnya. Kadang cape doang, hasilnya gak seberapa."
Dia bukan tidak pernah mencari peruntungan dengan melakukan pembibitan alpukat varietas aligator, lewat metode okulasi sambung pucuk. Namun akhirnya ditinggalkan karena tak terurus saat mendapat pekerjaan baru. Selain tak menjanjikan akibat kurangnya permintaan.
          ***
Tak Sekedar Barang Rongsokan
Hidup memang penuh perjuangan. Begitu kalimat klise yang sering kita dengar. Namun bagi Pak Iwan itu bukan sekedar omongan kosong. Sebagai orang desa, dia pernah mengadu nasib merantau ke Jakarta, meski hanya sekedar menjadi seorang jongos. Pembantu di rumah orang bule.Â
Nasib pula yang membawanya kembali ke Bogor untuk bekerja di sebuah resto. Sebagai staf bagian gudang food and beverage. Namun in-efisiensi karyawan membuatnya harus hengkang dari resto tersebut. Sekaligus hengkang juga dari Universitas Pakuan di mana dia tengah menempuh pendidikan di FKIP jurusan bahasa Inggris.
"Saya harus mendahulukan kebutuhan sekolah kedua anak saya," ujarnya.