Ada pemandangan berbeda ketika menyusuri pantai di pagi itu. Seorang anak muda terlihat serius mengarahkan kameranya ke  para peselancar di Batu Namprak (Big Rock) Pantai Pangumbahan, Ujung Genteng.
Sangat jarang ditemukan seseorang mengambil foto dengan kamera lengkap berikut three foot layaknya juru foto profesional atau wartawan foto di tempat yang tak semeriah dan sepopuler Pantai Cimaja atau Pantai Kuta. Bahkan mungkin Pantai Padang Padang.
Sesekali si anak muda itu duduk di bangku sambil merokok dan ngopi di tempat yang ditata sedemikian rupa untuk wisatawan duduk santai memandangi laut lepas. Atau istirahat usai berselancar. Lalu kembali bangkit saat dilihatnya sebuah moment bagus ketika tampak ada peselancar dengan lincah meliuk-liuk di hamparan ombak yang bergulung besar.
Wartawankah dia? Atau tukang foto profesional yang sengaja disewa untuk sesi pemotretan para peselancar. Ataukah mungkin teman salah satu peselancar untuk mengabadikan moment terindahnya.
Dan sang lelaki berwajah Indonesia bagian timur itu mengingatkan saya pada sosok komika Abdur Arsyad. Senyumnya ramah tatkala saya menghampirinya. Tangannya terkepal mengajak salaman ala anak gaul.
Saya semakin menduga anak muda itu berasal dari timur Indonesia saat memperkenalkan dirinya. Sebuah nama yang juga jelas mengindikasikan itu.
"Yopi. Yopi Lois!" ucapnya ramah.
Namun dugaan saya meleset jauh. Ternyata anak muda itu asli anak Kampung Pangumbahan. Pantas saja logatnya terasa Sunda.
Tapi bukan itu titik pangkalnya. Stereotip tentang juru foto  masih lekat dalam ingatan. Saya teringat seorang teman dari Brebes pernah heran melihat ada studio foto di daerah Empang, pemukiman peranakan Arab di Kota Bogor. Menurutnya  -dan juga menurut orang-orang di kampung saya sendiri- biasanya tukang foto dan studio foto itu pasti dari peranakan Tionghoa. Bukan Arab. Meski sejak hadirnya HP android dan kamera digital, siapapun sudah bisa menjadi juru foto sendiri.
Dan anak muda yang memiliki nama tak berbau Sunda ini semakin membuatnya tambah berbeda. Dia mendalami profesi yang tak umum di kampung halamannya sendiri. Fotografi. Sungguh profesi yang tak mudah di era serba praktis dengan gawai.
              ***
Yopi juga salah satu peselancar di antara sedikit anak-anak muda Desa Pangumbahan yang menggeluti olahraga  menantang nyali yang dibawa para bule ke Ujung Genteng. Dan gara-gara itu pula dia berkenalan dengan profesi yang digelutinya sekarang ini.
"Sejak masih sekolah sering ngojek. Nganter-nganter turis surfing ke Batu Gede (Big Rock) dan Ombak Tujuh," urainya menceritakan awal kisahnya.Â
Dia pun mulai ikut berselancar dan belajar bisnis menyewakan serta menerima jasa memperbaiki (service) papan selancar (surfboard). Hingga suatu hari, seingatnya sekitar tahun 2003 ada tujuh orang bule yang minta diantar ke Ombak Tujuh. Rombongan itu rupanya para fotografer yang diutus Billabong dan RipCurl untuk mengambil gambar surfing di sana. Yopi pun mulai diajari teknik-teknik fotografi untuk membantu mereka selain menjadi pemandu jalan.
Ketertarikan lelaki lulusan SMU itu pada fotografi membuatnya berani menguras tabungannya sebesar 9 jutaan untuk membeli kamera lengkap berikut laptop guna mendukung minat usahanya sebagai juru potret. Fotografer. Menawarkan para peselancar yang ingin aksinya diabadikan.
Kegiatan barunya itu pun akhirnya mengantarkan pemuda yang terlihat begitu aktif ini ke Pulau Dewata-Bali dan Aceh sebagai pemandu (guide) dan kegiatan fotografi. Yang menurut pengakuannya, foto-foto hasil jepretannya pernah dimuat di majalah luar.
Bagi peselancar yang berminat pada hasil bidikannya, oleh Yopi dijual per paket, yaitu untuk 100 foto dihargai 500 ribu rupiah dan untuk satuan per fotonya 50 ribu rupiah. Semuanya dikemas dalam bentuk hard disk. Bisa juga via email.
Dan Yopi seperti tak pernah puas dengan hal apapun. Keaktifannya kini bertambah dengan mencoba-coba menjadi barista. Bukan menjual kopi sachetan seperti umumnya di warung-warung kopi biasa. Yopi menggunakan biji-biji kopi yang digilingnya secara manual.
"Saya juga sudah menyisihkan uang untuk membeli mesin giling khusus kopi," ujarnya.
Bersama istrinya, lelaki berkumis itu membuka warung  kecil yang menjual aneka makanan dan minuman untuk para wisatawan terutama wisatawan bule yang ingin menikmati cappucino, coffe latte, maupun espresso.
"Saya ingin punya kafe khusus surfing," imbuhnya lagi.
Kini di tempat pemotretannya yang sederhana, terpampang dua surfboard yang bertuliskan menerima servis papan selancar. Serta tulisan menu makanan-minuman pada kayu-kayu di pagar sekitar tempatnya.
Dia berharap, pasca covid-19 tahun ini terutama mulai dari bulan Mei-November turis-turis yang surfing kembali ramai.
Yopi benar-benar tipikal enterpreneur yang berbeda untuk ukuran anak kampung. Terutama kampung wisata yang tak seramai Pantai Cimaja atau pun Pantai Pelabuhan Ratu.
Yopi pun kerap meng-upload dokumenter surfing-nya di instagram miliknya: waveturtlle
Lelaki hitam manis yang kini menginjak usia 28 tahun telah dikaruniai anak laki-laki yang masih duduk di bangku TK.
"Tapi sudah minta diajari main surfing!" ujarnya bangga. Â Â
Bogor, 30 Mei 2023
    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H