Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kepak Kebhinnekaan Sang Bangau Putih

5 Desember 2022   07:00 Diperbarui: 5 Desember 2022   07:11 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai orang awam sekaligus tetangga yang tinggal di wilayah pusat perguruan silat PGB Bangau Putih seperti penulis, mendengar nama PGB atau Bangau Putih sejak usia remaja adalah -meminjam bahasa anak milenial- sesuatu banget. Kenapa? Sebab nama itu selalu dikaitkan dengan nama-nama besar para seniman seperti Iwan Fals, Adi Kurdi, dan tentunya WS Rendra. Selain orang-orang bule yang kerap kami lihat lalu lalang keluar masuk tempat itu.

Bahkan sering ada rumor kalau Iwan Fals dan WS Rendra suka ngabandrek di warung Mang Soma. Bisa ditebak, warung kecil yang terletak di pojok simpang gang masuk PGB itu akan dipenuhi anak-anak remaja nongkrong di sana menikmati bandrek atau pun nasi uduk sambil berharap siapa tahu bertemu dengan sang idola.

Sesuatu banget lainnya adalah rumah dengan pintu pagar bangau-nya itu tak nampak plang atau tulisan papan nama laiknya tempat perguruan silat ternama. Malah bentuknya tidaklah seperti sebuah padepokan silat, tetapi lebih terkesan bak rumah tempo dulu yang asri, sederhana, dan jauh dari gambaran aura angker apalagi mistis.

Dan lebih sesuatu lagi ketika tahu kepanjangan dari PGB adalah Persatuan Gerak Badan yang sungguh terdengar tak lazim. Sementara dari dulu penulis selalu bertanya-tanya, apa singkatan G pada PGB? Sebab huruf P otomatis diasosiasikan dengan Putih dan B dengan Bangau.

Kepanjangan nama PGB yang unik itu malah lebih menyiratkan nama sebuah perkumpulan senam dari pada nama sebuah perguruan silat atau bela diri.

Ketaklaziman ini yang menurut pandangan subyektif penulis, sebagai sisi lain kerendah-hatian Cek Bacih -panggilan akrab di kampung kami kepada Sang Suhu- pendiri PGB Bangau Putih. Kerendah-hatian yang menjadi kekuatan filosofis yang mampu menarik orang-orang seperti pelukis Hardi, serta bule-bule tertarik datang untuk 'menimba ilmu' di sana.

Perkawinan Budaya

Sejak kecil, penulis pernah menyaksikan tumbuh kembangnya beragam seni bela diri di lingkungan kami seperti Pencak Silat Cimande, Pakuya, Kempo, dan Karate. Yang masing-masing dari perguruan itu sering berlatih di lapangan terbuka. Waktu duduk di bangku SMP, ada pula ekstra kurikuler untuk bela diri Betako dan Merpati Putih (MP).

Sebagai anak-anak yang menjelang akil balig, kita pasti senang nonton mereka yang berlatih silat di lapangan. Kadang ada keinginan untuk ikut masuk salah satunya. Penulis sendiri pernah ikut silat Cimande, namun tak serius karena menganggap itu tak lebih dari 'ekskul' saja di tempat penulis mengaji.

Seiring waktu, beberapa seni bela diri itu tak terdengar lagi gaungnya di kampung kami. Kecuali Bangau Putih yang tetap eksis dan tetap bermarkas pusat di Kampung Kebon Jukut hingga detik ini.

Padahal, sejak kecil kami tak pernah menyaksikan PGB Bangau Putih berlatih di lapangan terbuka seperti yang lain. Hanya mendengar dan tahu dari mulut ke mulut tentang kabar kehebatan dan ketenaran Cek Bacih. Kami hanya menyaksikan orang-orang bule tinggi besar -lelaki, perempuan- yang katanya juga belajar silat kepada Cek Bacih. Apakah PGB Bangau Putih itu perguruan silat yang eksklusif? Hanya untuk kalangan tertentu saja?

Tanpa dinyana dan diduga, ternyata ada teman sekolah dan teman main penulis adalah murid-murid PGB Bangau Putih. Teman-teman yang ikut perguruan itu justru tampilannya imut-imut. Alias kecil perawakannya. Tak ada kesan pandai main silat. Meski ada juga  -kakak kelas waktu SMP- murid PGB yang tubuhnya gempal dan tak imut. Malah pantas sebagai jeger (sebutan untuk jagoan di masa itu).

Dari teman main, teman sekolah, teman kerja, hingga teman sesama pegiat seni akhirnya penulis mendapati beberapa rekan itu ternyata para Bangau Putih.

                                 ***

Lazimnya sebuah perguruan silat memang tak mengenal batas suku, bangsa, dan agama. Lihat saja film The Karate Kid (1984), yang diperankan oleh Ralph Macchio dan Pat Morita maupun The Karate Kid (2010), yang dibintangi Jaden Smith dan Jackie Chan. Terlepas dari keganjilan The Karate Kid-nya Jaden Smith dan Jackie Chan yang seharusnya berjudul The Kungfu Kid, menunjukkan bahwa seni bela diri tak mengenal batasan ras.

Ke-egaliter-an itu tampaknya yang sejak dulu tertanam pada sosok Cek Bacih. Yang di kalangan murid-muridnya serta di pentas nasional dikenal dengan Suhu Subur Rahardja.

Sang Suhu terlahir dari keluarga pesilat. Meski tak sempat mengenyam pelajaran silat dari sang ayah, Lim Kim Sek karena meninggal dunia. Namun Lim Sin Tjui  alias Subur Rahardja kecil dididik seni bela diri Shaolin oleh sang paman, Pek Kim Bow yang dikenal jago silat dan ahli pengobatan.

Dia pun tak segan untuk belajar silat pada Liu Tai Tjie, pedagang tembakau yang mahir menggunakan tongkat saat mengangkat balok-balok tembakau dengan sekali cungkil. Dari pedagang tembakau inilah lahir jurus-jurus non-Shaolin.

Perjalanan memperdalam ilmu silatnya jugalah yang mengantarkannya ke Tarik Kolot, Cimande. Hingga ke ujung timur untuk berguru pada Gusti Ngurah Jelantik Baliwangsa di Lombok.

Perkawinan silat lintas budaya inilah sepertinya yang menjadi spirit PGB Bangau Putih. Sebuah kebhinnekaan yang termanifestasikan di antara para muridnya yang beragam. Melintasi batas suku, bangsa, agama, bahkan profesi dan posisi. Ada seniman, budayawan, pengusaha, dan juga orang biasa.

"Belajar silat itu belajar kehidupan, karena kita bisa mengatur sekaligus menata keangkuhan," kata Kanjeng Pangeran Hardi Danuwijoyo nama lengkap dari pelukis ternama, Hardi mengutip ucapan Sang Suhu.

Ya, sebuah pesan mendalam di saat ini di mana sebagian dari anak-anak bangsa sudah tak mampu lagi menata keangkuhan. terutama keangkuhan alias ego atas nama kelompok dan golongan.

Bogor, 4 Desember 2022  

 

    

   

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun