Padahal, sejak kecil kami tak pernah menyaksikan PGB Bangau Putih berlatih di lapangan terbuka seperti yang lain. Hanya mendengar dan tahu dari mulut ke mulut tentang kabar kehebatan dan ketenaran Cek Bacih. Kami hanya menyaksikan orang-orang bule tinggi besar -lelaki, perempuan- yang katanya juga belajar silat kepada Cek Bacih. Apakah PGB Bangau Putih itu perguruan silat yang eksklusif? Hanya untuk kalangan tertentu saja?
Tanpa dinyana dan diduga, ternyata ada teman sekolah dan teman main penulis adalah murid-murid PGB Bangau Putih. Teman-teman yang ikut perguruan itu justru tampilannya imut-imut. Alias kecil perawakannya. Tak ada kesan pandai main silat. Meski ada juga  -kakak kelas waktu SMP- murid PGB yang tubuhnya gempal dan tak imut. Malah pantas sebagai jeger (sebutan untuk jagoan di masa itu).
Dari teman main, teman sekolah, teman kerja, hingga teman sesama pegiat seni akhirnya penulis mendapati beberapa rekan itu ternyata para Bangau Putih.
                 ***
Lazimnya sebuah perguruan silat memang tak mengenal batas suku, bangsa, dan agama. Lihat saja film The Karate Kid (1984), yang diperankan oleh Ralph Macchio dan Pat Morita maupun The Karate Kid (2010), yang dibintangi Jaden Smith dan Jackie Chan. Terlepas dari keganjilan The Karate Kid-nya Jaden Smith dan Jackie Chan yang seharusnya berjudul The Kungfu Kid, menunjukkan bahwa seni bela diri tak mengenal batasan ras.
Ke-egaliter-an itu tampaknya yang sejak dulu tertanam pada sosok Cek Bacih. Yang di kalangan murid-muridnya serta di pentas nasional dikenal dengan Suhu Subur Rahardja.
Sang Suhu terlahir dari keluarga pesilat. Meski tak sempat mengenyam pelajaran silat dari sang ayah, Lim Kim Sek karena meninggal dunia. Namun Lim Sin Tjui  alias Subur Rahardja kecil dididik seni bela diri Shaolin oleh sang paman, Pek Kim Bow yang dikenal jago silat dan ahli pengobatan.
Dia pun tak segan untuk belajar silat pada Liu Tai Tjie, pedagang tembakau yang mahir menggunakan tongkat saat mengangkat balok-balok tembakau dengan sekali cungkil. Dari pedagang tembakau inilah lahir jurus-jurus non-Shaolin.
Perjalanan memperdalam ilmu silatnya jugalah yang mengantarkannya ke Tarik Kolot, Cimande. Hingga ke ujung timur untuk berguru pada Gusti Ngurah Jelantik Baliwangsa di Lombok.
Perkawinan silat lintas budaya inilah sepertinya yang menjadi spirit PGB Bangau Putih. Sebuah kebhinnekaan yang termanifestasikan di antara para muridnya yang beragam. Melintasi batas suku, bangsa, agama, bahkan profesi dan posisi. Ada seniman, budayawan, pengusaha, dan juga orang biasa.
"Belajar silat itu belajar kehidupan, karena kita bisa mengatur sekaligus menata keangkuhan," kata Kanjeng Pangeran Hardi Danuwijoyo nama lengkap dari pelukis ternama, Hardi mengutip ucapan Sang Suhu.