Belum genap seminggu memasuki tahun baru, jagat media sosial kembali riuh dengan fenomena kehadiran boneka arwah alias spirit doll yang digadang-gadang bisa membawa energi (spirit) positif bagi pemiliknya.
Para selebgram yang menjadi endorsement-nya tak sungkan memamerkan perlakuan mereka terhadap boneka-boneka (yang memang lucu) itu layaknya anak-anak beneran lewat akun pribadinya. Mereka -para orang dewasa itu- tak ubahnya seperti anak-anak kecil yang tengah bermain 'boneka-bonekaan' dengan perilaku yang nyaris sama. Mengajak berbincang, menyuapi, dan mendandani.
Fenomena tak wajar ini pun akhirnya mengundang kontroversi di masyarakat. Kenapa ada orang dewasa yang begitu konyol memperlakukan, bahkan memercayai adanya arwah (spirit) dalam sebuah boneka.
Self Defense MechanismÂ
Kemajuan zaman yang kini telah di fase era informasi sudah seharusnya membuat manusia semakin mengedepankan rasionalitasnya. Kecerdasannya. Atau meminjam istilah Rocky Gerung, menggunakan akal sehatnya.
Alih-alih semakin terasah logikanya, kita malah terperosok untuk selalu denial, menyangkal alias melindungi diri sendiri dengan menolak kenyataan/realitas yang ada. Sebagai pelarian dari mentalitas kita yang cenderung 'sensi'. Sehingga tak aneh kalau berita-berita hoax pun mudah diterima.
Perilaku penyangkalan ini dalam dunia psikologi disebut sebagai Self Defense Mechanism (mekanisme pertahanan diri). Teori ini dikenalkan oleh psikolog Sigmund Freud (1856-1939) dan anaknya, Anna Freud (1895-1982). Menurut mereka, saat kita menghadapi situasi yang sulit atau tidak nyaman (entah karena kondisi sosial, politik, ekonomi) maka pikiran kita akan membuat cara tertentu untuk melepaskan diri dari kenyataan yang ada.
Sebab pada dasarnya, secara naluriah manusia selalu menghindari perasaan atau hal-hal yang sifatnya negatif, seperti: sedih, malu, kecewa, takut, bahkan juga marah. Pada saat inilah manusia membentuk mekanisme pertahanan diri.
Namun mekanisme ini sifatnya hanyalah reaksi alami jiwa terhadap masalah yang ada, bukan sebuah cara untuk menyelesaikan masalah. Karena emosi tersebut (sedih, malu, dsb) tidak benar-benar hilang dari benak kita. Tetapi hanya ditekan atau dikesampingkan saja. Justru akan menjadi masalah ketika cara ini dianggap sebagai sikap untuk menyelesaikan masalah!
Ada tujuh mekanisme pertahanan diri manusia, yaitu:
1. Penyangkalan (denial), reaksi ini timbul sebagai upaya pembelaan meski dia tahu bahwa apa yang dilakukannya salah. Misalnya, dia mengaku menggunakan zat adiktif saat sedang stress saja;
2. Represi, reaksi ini terjadi karena situasi yang dihadapi sudah berada di luar kendalinya. Sehingga dia berusaha melupakannya atau tak mau mengakuinya sama sekali. Misalnya, seseorang yang mengalami rudapaksa;
3. Regresi, reaksi ini ditandai dengan mundurnya kondisi psikologis seseorang dengan perilaku layaknya anak kecil. Misalnya, menangis terisak-isak usai dimarahi atau seharian memeluk boneka akibat putus cinta;
4. Proyeksi, reaksi ini muncul akibat tidak bisa menerima kenyataan dan menyalahkan pihak lain. Misalnya, seseorang yang tidak menyukai rekan kerjanya, sementara dia harus kerja sama dalam bekerja. Maka dia akan menuduh rekan kerjanya itu tidak suka padanya;
5. Rasionalisasi, reaksi ini merupakan alasan yang dibuat seolah-olah apa yang dia lakukan tidak salah alias mencari pembenaran. Misalnya, dia selalu datang terlambat ke kantor dengan beralasan rumahnya jauh dan selalu terjebak macet;
6. Sublimasi, reaksi dengan cara melampiaskan emosi yang negatif ke hal-hal yang positif. Misalnya, melepaskan amarah dengan mencuci mobil atau melukis usai bertengkar dengan istri;
7. Pengalihan (displacement), reaksi yang merupakan kebalikan dari sublimasi. Karena akan mencari obyek lain yang bisa menjadi sasaran luapan emosi. Misalnya, kesal karena dimarahi, pintu kamar pun dibanting.
Lalu apa hubungannya tujuh mekanisme penyangkalan itu dengan ramainya fenomena boneka arwah (spirit doll)?
Kondisi psikologis di sebagian masyarakat kita yang cenderung 'sensi' itu justru menggambarkan bahwa ada rasa tidak bisa menerima kenyataan dalam alam bawah sadar kita dengan capaian kemajuan pihak lain. Akibatnya ada sebagian dari anak bangsa ini bak mengidap mentalitas inferiority complex.
Mentalitas yang tak siap dengan persaingan, menghindari kompetisi, lebih 'sensi' jika dikritik, yang akhirnya hanya akan melahirkan orang-orang dengan perilaku selalu menyangkal (denial), menyalahkan pihak lain (proyeksi), menumpahkan kekecewaan pada pihak lain (pengalihan), mencari pembenaran diri (rasionalisasi), atau berperilaku seperti anak kecil (regresi). Bukan dengan mengambil sisi positif (sublimasi). Apalagi menggunakan akal sehatnya.
Jadi tak perlu heran manakala fenomena 'halu' seperti munculnya kerajaan-kerajaan aneh, investasi bodong yang dibumbui jargon agama, sampai dengan kehadiran boneka arwah (spirit doll) selalu saja ada peminatnya. Karena 'mereka' ini butuh pujian, validasi, pengakuan dari orang lain (secara terus menerus) sebagai imbas dari mentalitas inferiority complex tadi.
Bogor, 7 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H