2. Represi, reaksi ini terjadi karena situasi yang dihadapi sudah berada di luar kendalinya. Sehingga dia berusaha melupakannya atau tak mau mengakuinya sama sekali. Misalnya, seseorang yang mengalami rudapaksa;
3. Regresi, reaksi ini ditandai dengan mundurnya kondisi psikologis seseorang dengan perilaku layaknya anak kecil. Misalnya, menangis terisak-isak usai dimarahi atau seharian memeluk boneka akibat putus cinta;
4. Proyeksi, reaksi ini muncul akibat tidak bisa menerima kenyataan dan menyalahkan pihak lain. Misalnya, seseorang yang tidak menyukai rekan kerjanya, sementara dia harus kerja sama dalam bekerja. Maka dia akan menuduh rekan kerjanya itu tidak suka padanya;
5. Rasionalisasi, reaksi ini merupakan alasan yang dibuat seolah-olah apa yang dia lakukan tidak salah alias mencari pembenaran. Misalnya, dia selalu datang terlambat ke kantor dengan beralasan rumahnya jauh dan selalu terjebak macet;
6. Sublimasi, reaksi dengan cara melampiaskan emosi yang negatif ke hal-hal yang positif. Misalnya, melepaskan amarah dengan mencuci mobil atau melukis usai bertengkar dengan istri;
7. Pengalihan (displacement), reaksi yang merupakan kebalikan dari sublimasi. Karena akan mencari obyek lain yang bisa menjadi sasaran luapan emosi. Misalnya, kesal karena dimarahi, pintu kamar pun dibanting.
Lalu apa hubungannya tujuh mekanisme penyangkalan itu dengan ramainya fenomena boneka arwah (spirit doll)?
Kondisi psikologis di sebagian masyarakat kita yang cenderung 'sensi' itu justru menggambarkan bahwa ada rasa tidak bisa menerima kenyataan dalam alam bawah sadar kita dengan capaian kemajuan pihak lain. Akibatnya ada sebagian dari anak bangsa ini bak mengidap mentalitas inferiority complex.
Mentalitas yang tak siap dengan persaingan, menghindari kompetisi, lebih 'sensi' jika dikritik, yang akhirnya hanya akan melahirkan orang-orang dengan perilaku selalu menyangkal (denial), menyalahkan pihak lain (proyeksi), menumpahkan kekecewaan pada pihak lain (pengalihan), mencari pembenaran diri (rasionalisasi), atau berperilaku seperti anak kecil (regresi). Bukan dengan mengambil sisi positif (sublimasi). Apalagi menggunakan akal sehatnya.
Jadi tak perlu heran manakala fenomena 'halu' seperti munculnya kerajaan-kerajaan aneh, investasi bodong yang dibumbui jargon agama, sampai dengan kehadiran boneka arwah (spirit doll) selalu saja ada peminatnya. Karena 'mereka' ini butuh pujian, validasi, pengakuan dari orang lain (secara terus menerus) sebagai imbas dari mentalitas inferiority complex tadi.
Bogor, 7 Januari 2022