Kegeraman, atau bisa jadi ekspresi keputusasaan nampaknya yang memicu sang epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono ketika beliau mengatakan bahwa Indonesia sudah lama dalam kondisi herd stupidity atau kebodohan komunal dalam atasi pandemi covid-19 ini (CNN Indonesia, Minggu 20/06/2021).
Kenaikan kasus covid-19 pasca arus mudik Lebaran menunjukkan, bagaimana semua pihak abai. Dari tidak adanya ketegasan pemerintah serta mereka yang tak peduli, cuek, dengan perilakunya sendiri yang justru mendorong replikasi virus, dan menjadi lebih mudah menular.
Ada istilah kebodohan itu gampang menular! Meskipun dalam diri setiap manusia memiliki kecerdasan yang telah diberikan Tuhan. Pertama, kecerdasan rasional (intelligence quotient), yaitu kemampuan untuk menghadapi masalah lingkungan di sekitar kita. Masalah lingkungan fisik kita. Lewat analisa, logika, sekaligus melakukan evaluasi. Kedua, kecerdasan emosional (emotional quotient), yaitu kemampuan untuk mengendalikan emosi kita. Dengan kesediaan bertanggung jawab, berkomitmen, dan juga berempati. Ketiga, kecerdasan spiritual (spiritual quotient), yaitu kemampuan untuk berhubungan dengan dimensi lain (non material). Kemampuan untuk mengakses jiwa kita yang paling dalam. Yang  ditunjukkan dengan perilaku rendah hati, toleran, dan bermakna bagi orang lain.
Intinya kecerdasan itu menggambarkan bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk sempurna dan yang paling piawai dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Namun segala kemampuan kecerdasan itu akan menjadi sia-sia, mubazir, manakala virus 'kebodohan' sudah menulari jiwanya.
Secara psikologis, gejala herd stupidity (kebodohan komunal/berjamaah) ini sesungguhnya tak lepas dari kondisi kejiwaan yang sedang 'sakit'. Pada kondisi manakah sesungguhnya kebebalan ini dalam perspektif ranah psikologi?Â
Empat Gelombang Psikologi
Di era post truth sekarang ini kerap kita saksikan kebohongan, kepalsuan, acap dipuja layaknya sang pujaan. Sebaliknya kebenaran akan dianggap tidak benar ketika tidak bersesuaian dengan keinginannya, dengan kelompoknya. Dan mereka pun merasa happy. Bahagia dengan segala kepura-puraannya.
Kebahagiaan sejatinya adalah dambaan setiap orang. Namun seringkali kita terperangkap dalam keinginan yang tak pernah terpuaskan. Ketika dahaga keinginan tak sesuai dengan kenyataan, maka di situlah kejiwaan mulai terganggu. Sakit.
Para psikolog mencoba mengurai perilaku-perilaku kejiwaan ini yang dalam perkembangannya terbagi menjadi empat gelombang mazhab.
1. Psikologi behavioris, aliran ini meneliti tingkah laku manusia (behaviour)Â sebagai sesuatu yang bisa diukur dan dilihat. Mazhab ini menekankan pada proses pelaziman (conditioning learning). Sebab segala perilaku kita itu sebenarnya tidak ditentukan oleh jiwa, tetapi oleh kelaziman atau kebiasaan kita sendiri.
Ivan Pavlov (1849-1936) menjelaskan itu dengan baik lewat eksperimen seekor anjing yang dilihatnya selalu mengeluarkan air liur (saliva) ketika makanan datang. Dibuatlah kondisi di mana setiap terdengar bel, makanan datang, dan sang anjing akan mengeluarkan air liur. Begitu terus-menerus. Selanjutnya ketika bel dibunyikan, makanan tidak disajikan, air liur anjing itu tetap keluar. Air liur inilah  yang jadi alat ukur kebiasaan.