Sebuah cuitan di media twitter yang mengutip ucapan Gus Baha tentang pentingnya membangun fasilitas masjid seperti toilet, kamar mandi, dan tempat wudu daripada memperindah pagar dan kubah. Sekaligus mengingatkan juga supaya masjid jangan dikunci. Kalaupun terpaksa (harus) dikunci, bagian dalamnya saja.Â
Cuitan ini secara tak langsung mengingatkan kembali cerita orang-orang tua di kampung yang ketika kemalaman dalam perjalanan akan selalu mencari masjid.
Fungsi dan Peran Masjid
Secara etimologis, kata masjid berasal dari dari akar kata sajada-yasjudu yang berarti tempat bersujud, tunduk, atau menyembah kepada Sang Khaliq. Bentuk bangunan masjid yang awalnya sederhana terus berkembang dan menjadi ciri khas dari suatu daerah, bahkan bangsa.Â
Negeri-negeri Afrika Utara mempunyai corak yang berbeda dengan negeri di wilayah Asia Selatan. Juga Masjid Demak yang menjadi tonggak penyebaran Islam di Jawa bentuknya merupakan sebuah akulturasi budaya. Tidak berkubah, tapi bertajuk.Â
Begitu pula dengan penyebutannya. Sebutan lain untuk masjid di kampung penulis adalah langgar dan tajug untuk bangunan yang kecil seperti musala, serta masigit untuk masjid jami (masjid besar yang dipergunakan untuk salat Jumat selain salat lima waktu).Â
Kata masigit dalam bahasa Sunda tersebut, meminjam istilah Bambang Noorsena merupakan gejala fonetik koresponden. Sebagaimana kata haji dalam bahasa Jawa menjadi kaji. Â Â Â
Fungsi masjid pada masa-masa awal sebenarnya tak hanya sebagai tempat salat semata, tetapi juga berperan sebagai fungsi sosial. Serta menjadi lembaga (wadah) untuk mempererat hubungan persaudaraan.
Bahkan sebelum bentuk pemerintahan melembaga secara formal, Rasulullah bermusyawarah mengatur strategi militer dan politik di masjid. Juga menjadi tempat menerima utusan-utusan dari negeri lain. Yang mana fungsi ini secara berangsur-angsur beralih ke 'istana' seiring berubahnya bentuk pemerintahan.Â
Namun peran masjid pada masa itu adalah untuk menjelaskan wahyu-wahyu yang diterimanya, menjawab persoalan-persoalan umat, serta menyelesaikan perselisihan. Bahkan mereka yang fakir miskin pun mendapat manfaat dengan diberi keleluasaan untuk tinggal sementara di area sekitar masjid.
Dalam Sirah Nabawiah-nya Ibn Hisyam, diceritakan bahwa Rasulullah pernah mempersilakan rombongan rahib Kristen dari Najran yang berjumlah  60 orang untuk beribadah di Masjid Nabawi ketika mereka bertamu. Meskipun para sahabat ada yang merasa keberatan, namun Rasulullah menjawabnya: da'uhum, biarkanlah mereka. Keren banget kan? Â
Memakmurkan Masjid
Dalam setiap tausiyah ataupun kajian-kajian agama tentunya kita sering mendengar kata-kata untuk senantiasa memakmurkan masjid. Yang biasanya dibarengi dengan nukilan Q.S. at-Taubah/19:18, "Sesungguhnya hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka  merekalah yang termasuk golongan  orang-orang yang selalu mendapatkan petunjuk."Â
Dari tulisan-tulisan tentang makna memakmurkan masjid -penulis mohon maaf kalau salah- ada dua simpulan yang terkait dengan makna tersebut. Pertama, senantiasa mendatangi masjid untuk salat, ber-itikaf, dan syiar. Kedua, membangun masjid.
Kembali ke tulisan pembuka perihal untuk lebih memperhatikan fasilitas toilet, kamar mandi, dan tempat wudu, bahkan kalau bisa jangan selalu dikunci.Â
Tentunya ini harus disikapi sebagai otokritik dalam 'membangun masjid' sebagai pelaksanaan memakmurkan masjid. Karena bagaimanapun juga, masjid punya fungsi sosial dalam ruang lingkup masyarakat yang dinamis.
Fungsi sosial masjid yang paling sederhana -terutama masjid yang berada di jalur lintasan jalan raya- seperti membantu mereka yang kebelet ingin buang hajat dalam perjalanan yang seringkali terlupakan.
Biasanya ada bantahan, jangan samakan masjid dengan toilet umum! Cari saja SPBU! Masjid itu tempat suci! Plis deh, siapa pula yang menyandingkan seperti itu.
Cobalah sesekali mampir ke sebuah desa. Ada contoh yang bisa ditiru. Meski bangunannya sederhana dengan fasilitas selain tempat wudu, ada kamar mandi, dan toilet yang terbuka sepanjang waktu! Siapapun boleh memakainya. Seorang sales roti ke warung-warung di kampung itu merasa terbantu ketika kebelet. Masjid yang benar-benar me-refleksi-kan jiwa sosial masyarakatnya yang guyub dan komunal.
Sementara ada juga masjid  yang tak mempedulikan kebersihan toiletnya, padahal bangunannya bagus.  Selain itu, tak sedikit pula masjid  yang selalu terkunci pagarnya karena belum masuk waktu salat. Pun di sebuah kompleks perumahan, para  'musafir' terpaksa salat di teras sebab pintu masjid kembali terkunci begitu salat berjamaah selesai. Persis seperti kehidupan masyarakatnya yang bercorak individual. Alias nafsi-nafsi.
Pendek kata, seperti juga yang diunggah di twitter, kini SPBU-lah yang menjadi 'teman terbaik' dalam perjalanan. Di mana kita bisa salat, berteduh, istirahat, dan buang hajat. Bahkan mandi sekalipun. Yang oleh orang-orang tua kita dahulu hanya ditemukan di masjid.
Bogor, 14 Juni 2021 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H