Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sebuah Slogan dari Pinggir Sungai

16 November 2020   23:31 Diperbarui: 17 November 2020   17:25 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ciliwung rusak, warga balangsak.  Tulisan dalam bahasa Sunda itu akan menyambut setiap orang yang hendak menyeberang sungai yang sudah sangat terkenal itu. Terpampang di ujung jembatan dengan ukuran yang cukup besar.

Sentilan yang sangat mengena di tengah ketiadaan sense of belonging, hilangnya kepekaan terhadap lingkungan, dan masa bodohnya kita terhadap pencemaran. Padahal kalau Ciliwung dan juga lingkungan rusak, yang susah (balangsak) adalah kita sebagai warga.

Seperti di musim hujan sekarang, banjir dan longsor mengancam mereka yang tinggal di daerah rawan bencana. Termasuk mereka yang tinggal di bantaran sungai. Salah satunya adalah Ciliwung yang kerap menjadi momok dengan luapan airnya di saat musim penghujan tiba.

Perilaku Kita dan Etika

Imbauan yang 'ber-genre' layaknya slogan itu biasanya akan berakhir hanya sekedar slogan. Yang meskipun keren dalam diksi tapi menjadi tak berarti. Menjadi sekedar gaya tapi tak berdaya.

Lalu bagaimana di masa pandemi ini? Di mana berbagai stiker, spanduk, leaflet, hingga imbauan di penghujung acara televisi maupun kanal-kanal media mengingatkan kita untuk senantiasa menjalankan protokol kesehatan.

Jadi teringat  dalam sebuah acara training motivasi, sang motivator memberikan  tips dalam menumbuhkan sesuatu yang baru agar menjadi habits (kebiasaan), maka lakukanlah kebiasaan baru itu dalam rentang waktu 21 hari secara terus menerus tanpa jeda!

Sebagai contoh, ketika kita memutuskan untuk berhenti merokok lakukanlah selama 21 hari untuk tidak menyentuh rokok. Atau membiasakan diri menggosok gigi sebelum tidur (bagi yang malas). Maka kebiasaan baru itu dengan sendirinya menjadi sebuah attitude atau sikap perilaku kita.

Namun meski  tiap hari melewati jembatan dan melihat tulisan di pinggir sungai, pun juga terkait dengan imbauan protokol kesehatan. Ternyata masih belum mengubah perilaku kita. Padahal itu sudah berjalan berbulan-bulan. Sudah lebih dari 'masa training 21 hari' yang dianjurkan.

Kepekaan dan Keteladanan

Tak mudah memang untuk mengubah perilaku diri, apatah lagi yang bersifat massal. Karena dalam sebuah komunitas biasanya perilaku mengacu pada ketentuan yang bersifat etika dan norma, baik norma hukum maupun norma agama.

Secara etimologis, kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang artinya watak kebiasaan. Menurut H de Vos,  etika dapat diartikan juga sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan. 

Dalam etika ada yang disebut dengan etika deskriptif, yaitu etika yang berkaitan dengan moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan tertentu di dalam suatu periode sejarah. 

Sementara etika normatif adalah etika mengenai tingkah laku manusia dengan berlandaskan pada norma-norma yang ada dalam masyarakat, yakni norma hukum dan juga norma agama.

Di sini tampak jelas bagaimana benang merah atau hubungan yang saling melengkapi antara etika, hukum, dan agama. Lalu apa kaitannya dengan uraian tulisan di awal?

Agama mengajarkan akhlak, sikap moral untuk membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Sementara hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum itu sendiri. Itulah yang seharusnya menjadi landasan etika kita. 

Ketika ego menutupi akhlak, maka yang terjadi adalah angkuhnya kesombongan untuk merasa benar sendiri, merasa kebal terhadap aturan. Begitu pun sebaliknya ketika hukum tak memberi keadilan, yang terjadi adalah garang ke bawah, galau ke atas.

Corona Virus Disease 2019 atau covid 19 sudah ditetapkan sebagai bencana nasional nonalam berdasarkan Keppres  Nomor 12 Tahun 2020. Bencana yang telah menimbulkan implikasi pada aspek sosial-ekonomi yang luas dan masif. Selain korban nyawa yang tidak sedikit.

Berbagai langkah kebijakan pun diambil lewat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kegiatan ekonomi, kegiatan belajar mengajar, hingga kegiatan peribadatan dibatasi. 

Semua itu adalah ikhtiar, upaya preventif  untuk mencegah penyebaran virus. Kebiasaan baru pun diperkenalkan. Mulai dari selalu menggunakan masker, cuci tangan, hingga jaga jarak dalam beraktivitas.

Namun entah kenapa, alih-alih pandemi ini ditetapkan sebagai bencana nasional malah keluar putusan pilkada serentak bakal tetap digelar. Dengan 'embel-embel' tetap menjalankan protokol kesehatan.

Belum usai keterkejutan ini, kembali pemerintah mengeluarkan UU Cipta Kerja yang memicu gelombang protes di mana-mana. Demo yang diluar dugaan ini berlangsung hingga beberapa pekan di tengah ancaman pandemi yang terus naik.

Semakin lengkap sudah semua 'kehebohan' ini dengan berita kerumunan yang juga tidak terhindarkan kala menyambut kedatangan seorang tokoh .

Seperti slogan di tepi Ciliwung, imbauan protokol kesehatan pun menjadi sia-sia karena tak berhasil menggugah kepekaan kita (sense of belonging and sense of crisis) untuk bertanggung jawab terhadap nasib sesama.  

Kepekaan di masa krisis ini butuh keteladanan dari mereka para elit. Sabab nu jadi korban angger we nu alit (Karena yang jadi korban tetap rakyat kecil).

Bogor, 16 November 2020   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun