Adagium dari Lord Acton (1834-1902) yang menyatakan bahwa: Power tends to corrupt and absolutely power tends to corrupt absolutely, adalah pengingat bagaimana kekuasaan (apalagi yang absolut) cenderung akan mengundang perilaku yang korup.Â
Namun kini sepertinya kekuasaan tak hanya mengundang perilaku yang korup, tetapi juga cenderung menghilangnya 'sense of crisis'. Intinya kekuasaan bisa me-lena-kan hingga lupa tujuan yang awalnya 'serba ideal'.
Belum usai dengan kekecewaan ketika sebulan yang lalu kita dikejutkan oleh manuver DPR dan pemerintah yang mensahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengundang kontroversi. Kini kembali dikecewakan saat DPR setuju untuk mensahkan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang dari awal sudah banyak ditentang berbagai kalangan karena 'diduga' berpihak pada oligarki.
Reaksi keras akan keputusan DPR ini tanpa diduga sangat mengejutkan pemerintah di tengah wabah pandemi yang 'mengharuskan' setiap orang menjaga jarak. Kerumunan para pendemo seakan 'menantang maut' karena abainya sense of crisis dari DPR dan pemerintah.
Hak Konstitusi dan Demokrasi
Ketika Mahfud MD, Puan Maharani, Aziz Syamsuddin, dan seorang staff ahli presiden dengan 'kompak' mempersilakan pihak-pihak yang tidak puas dengan pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja ini untuk melakukan uji materi (judicial review) ke MK,Â
sepertinya yang muncul adalah sikap apatis dan distrust seperti yang ditunjukkan Haris Azhar terhadap lembaga MK yang bulan lalu sudah mendapat 'kado' berupa Perubahan Ketiga atas Undang-Undang tentang MK dari pemerintah.
Dalam era negara hukum modern, keberadaan lembaga MK adalah benteng terakhir dalam tatanan hukum. Â Karena lembaga inilah yang mempunyai kewenangan besar yang salah satunya adalah menguji materi sebuah undang-undang (Pasal 24C ayat 1).Â
Selain memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, serta memutus atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan wapres.
Melakukan uji materi memang hak konstitusional warga negara dalam sebuah negara hukum. Tetapi mengemukakan pendapat pun adalah hak konstitusional warga negara (Pasal 28E ayat 3) sebagai wujud dari sebuah negara demokrasi.
Tidak berbeda jauh ketika Komisi Pemilihan Umum beberapa waktu lalu memutuskan untuk tetap menggelar pilkada di saat negeri ini tengah 'berperang' melawan virus covid 19 dengan alasan bahwa itu hak konstitusi warga negara!
Aturan legalistik-formalistik yang dimainkan pemerintah dan DPR dalam merumuskan sebuah undang-undang kadang seperti anomali dalam negara hukum. Karena secara prosedural rumusan undang-undang akan sah manakala disetujui sebagian besar anggota dewan.
Sebagaimana diatur dalam Tata Tertib DPR RI BAB XVII bahwa pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya diusahakan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada anggota rapat yang hadir diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, dan dipandang cukup untuk diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pemikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan.
Langkah DPR untuk menerima atau pun menolak suatu Rancangan UU yang diajukan pemerintah untuk menjadi UU harusnya mencerminkan kondisi riil masyarakat yang 'menyerahkan' suaranya dan hak konstitusinya kepada para anggota dewan yang terhormat itu.
Bahwa masih ada benteng terakhir sebagai hak konstitusi yakni uji materi terhadap undang-undang, namun itu bukan menjadi alat pembenar untuk memaksakan kehendak dengan dalih konstitusional.
Sense of Crisis Yang Terkikis
Bermula dari merebaknya pandemi corona yang melanda belahan dunia, menciptakan keterpurukan sektor ekonomi secara global di periode kedua masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kebijakan awal dalam menanggapi pandemi akhirnya menjadi blunder bagi pemerintah yang dianggap gagal karena lebih banyak 'drama politik' yang bermain. Yang mencapai puncaknya dengan kekecewaan masyarakat atas kinerja Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan. Banyaknya dokter dan perawat yang gugur serta terus naiknya kasus covid 19 tak membuat pemerintah bergeming.
Pemerintah seolah tidak punya sense of crisis sejak pengangkatan pucuk pimpinan KPK yang dianggap bermasalah serta keputusan KPU Â yang tetap menggelar pilkada di masa pandemi yang makin mengkhawatirkan.
Akumulasi ketidakpuasan sekaligus ketidakpercayaan terhadap pemerintah makin menguat dan mengencang saat UU tentang MK dan Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan hanya dalam rentang waktu dua bulan.
Kekecewaan yang terakumulasi makin menunjukkan terkikisnya sense of crisis pemerintah dan juga dewan ketika mereka yang marah tumpah ke jalan. Berdemo tanpa mempedulikan ancaman virus covid 19 dan abai dengan protokol kesehatan. Bertaruh nyawa demi hak demokrasi yang dijamin konstitusi.
Presiden pernah berkata bahwa di periode kedua pemerintahannya beliau tidak ada beban. Â Kalau memang tidak ada beban, bukan berarti dengan mudahnya memaksakan sebuah UU yang dari awal sudah memicu polemik.Â
Apalagi di tengah krisis pandemi. Karena bukan sekedar ketidaksetujuan yang membuat mereka melawan, tetapi ketidakpercayaan sebagai dampak tiadanya sense of crisis dari pemegang kekuasaan.Â
Dan tidak ada kata terlambat untuk berbuat, menajamkan kembali sense of crisis. Agar negeri ini bisa cepat pulih dari krisis covid 19.
Bogor, 8 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H