Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tentara, Islam, dan Nasionalisme

22 Agustus 2020   09:10 Diperbarui: 22 Agustus 2020   09:43 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deklarasi KAMI yang digagas Din Syamsuddin, lagi-lagi selain mengundang kalangan Islam dengan menghadirkan Dubes Palestina juga mencoba menarik tentara/militer lewat Gatot Nurmantyo. 

Sementara di sisi lain, Jokowi sebagai presiden mulai dianggap militeristik karena memberi peran yang lebih besar kepada pihak tentara. Benturan dan tarik menarik antara Islam dan militer ini hampir mirip dengan kondisi Turki pasca runtuhnya Kekhalifahan Turki Usmani.

Kisah dari Turki

Di penghujung abad ke-19, seorang bayi lahir dari keturunan Gazi, kasta prajurit yang sangat dihormati dalam era penaklukan Turki. Dia lah Mustafa Kemal Pasha, yang kelak merubah total bentuk Kekhalifahan Turki Usmani yang telah berkuasa selama 600 tahun menjadi sebuah negara republik yang sekuler. 

Pengaruh Kemal Ataturk (Bapak Pendiri Turki) yang begitu kuat sampai melahirkan ideologi 'Kemalisme' di kalangan pemujanya. Dan militer selalu menganggap dirinya adalah penerus ajaran Kemalis sekaligus pengawal nasionalis-sekuralis Turki.

Kemalisme akhirnya meredup setelah makin tidak populernya junta militer di pentas internasional dan seiring naiknya Necmettin Erbakan pada tahun 1996 ke tampuk kepemimpinan Turki modern. 

Lambat laun pengaruh Islam kembali bangkit, yang semasa pemerintahan sekuler ala Kemalisme hampir tidak memberi ruang bagi kalangan Islam yang telah mengakar dalam budaya Turki.

Masa penantian kelompok Islam yang begitu panjang akhirnya menemukan momentumnya di era kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan pada tahun 2003. Yang paling fenomenal adalah difungsikannya kembali Mesjid Aya Sofia (Hagia Sophia) setelah di era rezim Kemalis dijadikan museum. Meskipun Hagia Sophia sendiri awalnya adalah Katedral yang dibangun oleh penguasa Konstantinopel sebelum ditaklukkan kaum Usmani yang dipimpin Al-Fatih atau  Mehmed II.

Erdogan sendiri berhasil memainkan politik dua kaki dengan menuding isu kudeta kaum pengawal nasionalis-sekularis yaitu tentara untuk membungkam kekuatan Islam pimpinan seorang ulama kharismatik dan paling dihormati, yaitu Fetullah Gulen.

Memainkan isu nasionalis di satu sisi dan Islam di sisi lain adalah cara yang cerdik untuk memenangkan simpati masyarakat dalam pertarungan kekuasaan. Seperti di Turki, dua kekuatan itu -militer dan Islam- juga kerap beradu pentas dalam jagat politik modern Indonesia. Yang terkadang terlihat mesra namun sering pula kontra.

Pasca Supersemar

Kepiawaian Soeharto dalam memainkan sentimen nasionalisme lewat isu golongan kiri dan golongan kanan menjadi kunci suksesnya kekuasaan Orde Baru. Ideologi asas tunggalnya tak ubahnya ubahnya seperti ajaran Kemalis di Turki yang harus diterapkan dan diamalkan.

Tumbangnya komunisme sebagai institusi dan gerakan di tanah air ini menjadikan Islam sebagai satu-satunya lawan yang harus dihadapi. Namun isu komunis tetap menjadi 'senjata mematikan' untuk melumat gerakan yang dianggap mengganggu stabilitas negara. 

Terutama gerakan berlatar pertanian  atau agraria dan juga buruh. Stigma kaum tani dan buruh sebagai 'underbouw' PKI masih cukup kuat melekat di benak anak bangsa ini.

Islam sebagai kekuatan, awalnya pun bahu membahu bersama tentara dalam menghancurkan golongan komunis. Namun rezim militeristik  Orde Baru tetap memandang Islam sebagai kekuatan pesaing yang juga harus 'dimatikan'.

Dari mulai Ali Moertopo hingga LB Moerdani, militer secara intens menekan kekuatan Islam yang muncul secara sporadis. Peristiwa Cicendo, Talangsari, hingga tragedi Priok adalah contoh perseteruan antara tentara dan Islam. Selain dengan taktik memukul, mereka pun merangkul kekuatan Islam yang bisa menjadi corong kekuasaan Orde Baru. 

Ada beberapa lembaga pendidikan dan dakwah Islam bentukan rezim Orde Baru. Bahkan ikut pula 'kasak kusuk' mengatur pucuk pimpinan dua ormas besar Islam negeri ini.

Puncaknya kala rezim Soeharto merestui Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang digawangi Habibie yang dianggap sebagai 'kemesraan' antara rezim Orde Baru dengan kelompok Islam.

Pasca Reformasi

Runtuhnya kekuasaan Orde Baru bukan berarti kekuatan militer selesai dan kekuatan Islam bisa bangkit sepenuhnya. Seperti di Turki, baik Erbakan maupun Erdogan tetap membutuhkan sekutu militer sebagai kekuatan yang tidak bisa dinafikan begitu saja.

Kalau kekuatan Islam di awal pemerintahan Republik Turki modern secara kelembagaan dan politik nyaris habis oleh kekuatan Kemalis yang sekuler. Lain halnya dengan Indonesia yang sepanjang lahirnya republik ini, kekuatan Islam selalu bertarung dengan ideologi sekuler. Masyumi adalah satu-satunya kekutan politik Islam yang pernah memimpin kabinet meski secara nasional pucuk pimpinan tetaplah sekuler.

Hingga kini belum  ada kekuatan Islam yang mampu melampaui keberhasilan Masyumi. Tak bisa dipungkiri, konstelasi politik Islam di Indonesia sejak awal memang terbelah antara kalangan tradisionalis dan reformis. Dan itu tak mudah untuk disatukan.

Pada waktu pertarungan pilpres jilid dua, tampak secara gamblang dimainkan isu Islam versus sekuler untuk menarik simpati dan dukungan. Meski dengan dibungkus semangat nasinalisme lewat jualan yang sama dengan rezim Orde Baru, yaitu melawan komunisme!

Prabowo yang mantan tentara berkubu dengan kalangan Islamis, sementara Jokowi dianggap mewakili kaum sekuler yang justru di masa Orde Baru identik dengan kalangan tentara.

Tema klasik ini -militer dan Islam- merupakan tema yang abadi dalam perpolitikan di tanah air pasca tragedi G30S/PKI. Keduanya punya musuh yang sama dalam menggugah semangat nasionalisme yaitu: komunisme. Meskipun ideologi komunisme ini bukan lagi kekuatan yang signifikan dalam peta politik global yang justru makin kapitalistik. Namun tetap saja jadi 'barang dagangan'  yang menarik untuk dijual.

Erdogan cukup berhasil berdiri diantara militer dan Islam untuk menopang kekuasaannya. Pun nanti yang akan maju pilpres di NKRI, harus bisa mendapat dua pijakan ini. Terlepas Islamnya yang tradisionalis atau reformis.

Jangan lupa partai pengusung, kata teman.

Bogor, 22 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun