Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Logika Rumah Hantu

20 Agustus 2020   23:17 Diperbarui: 20 Agustus 2020   23:23 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat pelajaran sejarah filsafat dulu yang masih terngiang hingga kini adalah tentang proses bagaimana mitos (mythos) bertransformasi menjadi logos. 

Proses pencarian logika yang akhirnya terciptalah ilmu pengetahuan. Lewat penggambaran yang sederhana dari sebuah dongeng tentang pelangi. Di mana kita terpesona dengan 'tangga surgawi' para dewi yang hendak mandi di bumi. Yang di satu sisi memunculkan kisah semacam Jaka Tarub, sementara di sisi lain tak sekedar berhenti pada rasa heran dan takjub.

Misteri pelangi pun terjawab sudah sebagai fenomena optik yang terjadi ketika sinar matahari dan partikel air yang jatuh (hujan, air terjun) saling bereaksi. Rasa penasaranlah yang membentuk kekuatan logika, kekuatan ilmiah. Sementara rasa heran dan takjub hanya berakhir di rasa heran dan takjub itu sendiri.

Kisah adu kekuatan antara mitos dan logos nyatanya masih menjadi pemandangan sehari-hari, meski sudah memasuki babak era informasi. Yang uniknya masih ada yang terperangkap bahkan berlindung dibalik mitos tanpa mau membuka mata. Tanpa upaya memperluas wawasan untuk menjawab rasa penasaran dengan logika.

Logika Rumah Hantu

Penulis menyebut mereka yang senantiasa berkutat pada logika rasa heran dan takjub semata itu sebagai logika rumah hantu!

Ya, rumah hantu di sini bukanlah rumah hantu yang menjadi arena hiburan di tempat wisata atau taman hiburan rakyat di lapangan desa. Rumah ini biasanya sebuah rumah tua atau rumah besar. Baik berpenghuni atau pun tidak. Namun sangat dipercaya ada makhluk halus yang juga ikut 'mendiaminya'. Apakah itu makhluk astral, genderuwo, hantu, dan lain sebagainya. Yang akhirnya disebutlah sebagai rumah hantu.

Ketika ada sebuah rumah hantu yang viral, maka akan ramailah orang memperbincangkannya. Hingga jadi lahan 'empuk' para pebisnis entertainment. Digorenglah sedemikian rupa hingga setiap orang semakin heran dan takjub. Dan rela dicekoki berbagai cerita yang tak masuk akal. Semakin di luar nalar, semakin terpesona dan terbawa hingga percaya bahwa itu benar-benar nyata.

Meskipun dibuat seolah-olah untuk membuktikan rasa penasaran, namun itu bukanlah rasa penasaran yang menumbuhkan logika. Apalagi ilmiah. Sebaliknya justru rasa penasaran yang menumpulkan logika. Karena tetap terjebak pada rasa heran dan takjub semata. Tetap terpikat untuk melanggengkan mitos.

Akan berbeda halnya ketika rumah hantu yang menimbulkan kehebohan itu lantas disikapi dengan rasa penasaran untuk membuktikan secara ilmiah. Taruhlah misalnya rumah hantu itu ditelisik dari berbagai sudut disiplin ilmu. Apakah itu dari sisi ilmu teknik sipil untuk melihat struktur bangunannya. Ahli forensik guna mengurai kandungan bahan materialnya. Bahkan mungkin ahli tumbuhan dan hewan untuk melihat fenomena lain di sekitar bangunan. Intinya menemukan jawaban atas misteri dari rumah hantu tersebut. 

Mungkin ada yang menyebut itu sebagai pekerjaan yang sia-sia. Justru dengan pemisalan ini menjadi mudah untuk menyebut mereka yang tetap terpesona melestarikan mitos itu adalah sebuah perilaku yang sia-sia. Karena mereka benar-benar terjebak dalam apa yang penulis sebut sebagai logika rumah hantu.

Antara Berpikir Kritis dan Krisis Berpikir

Ketika Cak Lontong memainkan 'trademark'-nya yang khas dengan ucapan mikiir, sesungguhnya itu adalah sindiran yang tajam terhadap pola untuk senantiasa berpikir kritis yang mulai luntur menjadi krisis berpikir.

Atau 'Anda sepertinya kurang piknik' kata anak sekarang untuk menohok mereka yang dianggap kurang mau membuka wawasan.

Bagaimana tidak disebut krisis berpikir dan kurang wawasan, ketika kita ikut menertawai kehadiran 'kerajaan-kerajaan mimpi' tetapi di sisi lain kita pun ikut terjebak 'jargon-jargon mimpi' yang tanpa kita sadari telah mampu 'menyingkirkan' kita dari sikap kritis. Buktinya kita termakan berita hoax, mengagungkan kelompok sendiri, dan lain-lain.

Meminjam ungkapan Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal yaitu 'cogito ergo sum', aku berpikir maka aku ada. Merupakan cara kita untuk tidak mudah begitu saja meng-amini apalagi mengekor bagai kerbau yang dicocok hidungnya.

Descartes mengajak kita untuk senantiasa bersikap skeptis. Dengan demikian akan membuka mata kita, pikiran kita, sekaligus menunjukkan keberadaan kita sebagai manusia. Metode keraguan dan rasa penasaran mendidik kita untuk tidak ragu berpikir kritis.

Dalam alam demokratis, logika apapun sah-sah saja. Itu pilihan. Mau percaya bumi itu datar, bumi itu bulat, teori konspirasi, khilafah, republik, kerajaan, hingga ramalan Joyoboyo. Bebas Merdeka!

Yang pasti tetaplah berpikir kritis, jangan sampai krisis berpikir akibat terhipnotis logika rumah hantu yang memenuhi jagat maya maupun mayapada.

Batu hanya bisa membatu. Kerbau hanya bisa meng-kerbau. Sementara manusia bisa membatu, bisa meng-kerbau.

Bogor, 20 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun