Antara Berpikir Kritis dan Krisis Berpikir
Ketika Cak Lontong memainkan 'trademark'-nya yang khas dengan ucapan mikiir, sesungguhnya itu adalah sindiran yang tajam terhadap pola untuk senantiasa berpikir kritis yang mulai luntur menjadi krisis berpikir.
Atau 'Anda sepertinya kurang piknik' kata anak sekarang untuk menohok mereka yang dianggap kurang mau membuka wawasan.
Bagaimana tidak disebut krisis berpikir dan kurang wawasan, ketika kita ikut menertawai kehadiran 'kerajaan-kerajaan mimpi' tetapi di sisi lain kita pun ikut terjebak 'jargon-jargon mimpi' yang tanpa kita sadari telah mampu 'menyingkirkan' kita dari sikap kritis. Buktinya kita termakan berita hoax, mengagungkan kelompok sendiri, dan lain-lain.
Meminjam ungkapan Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal yaitu 'cogito ergo sum', aku berpikir maka aku ada. Merupakan cara kita untuk tidak mudah begitu saja meng-amini apalagi mengekor bagai kerbau yang dicocok hidungnya.
Descartes mengajak kita untuk senantiasa bersikap skeptis. Dengan demikian akan membuka mata kita, pikiran kita, sekaligus menunjukkan keberadaan kita sebagai manusia. Metode keraguan dan rasa penasaran mendidik kita untuk tidak ragu berpikir kritis.
Dalam alam demokratis, logika apapun sah-sah saja. Itu pilihan. Mau percaya bumi itu datar, bumi itu bulat, teori konspirasi, khilafah, republik, kerajaan, hingga ramalan Joyoboyo. Bebas Merdeka!
Yang pasti tetaplah berpikir kritis, jangan sampai krisis berpikir akibat terhipnotis logika rumah hantu yang memenuhi jagat maya maupun mayapada.
Batu hanya bisa membatu. Kerbau hanya bisa meng-kerbau. Sementara manusia bisa membatu, bisa meng-kerbau.
Bogor, 20 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H