Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Menyoal "Rechtspersoon" Pelaku Usaha Kecil

11 Agustus 2020   01:09 Diperbarui: 12 Agustus 2020   05:59 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Photo by Mikhail Pavstyuk on Unsplash (unsplash.com/@pavstyuk)

Di masa pandemi ini begitu terasa penurunan beberapa sektor kegiatan usaha, termasuk yang dialami oleh teman yang berprofesi sebagai seniman lepas. Dia yang menggantungkan usahanya dari menggambar mural atau backdrop di gedung-gedung komersial mengeluhkan juga perihal 'ribetnya' kontrak perjanjian dengan pengelola gedung yang selalu menanyakan 'bendera usaha'. 

Hal ini mengingatkan penulis pada kisah teman lain yang bekerja pada kantor notaris. Suatu hari ada seorang klien yang hendak membuat CV. 

Orang ini adalah tukang kusen yang mendapat proyek pengadaan kusen untuk perumahan, namun diminta oleh pihak pengembang untuk membuat CV sebagai syarat dari kontrak perjanjian kerja sama. Dengan lugu dan polosnya, tukang kusen itu benar-benar tidak mengerti terkait pendirian sebuah CV.

Kisah lain adalah pemilik sanggar tari yang mendapat job untuk tampil di acara pemerintah daerah. Namun penyelenggara yang notabene adalah pemda itu sendiri meminta pemilik sanggar untuk membuat yayasan terlebih dahulu sebagai persyaratan administratif pembayaran.
***
Dalam dunia usaha sering kita mendengar istilah pinjam bendera. Yang dilakukan untuk memuluskan sebuah kontrak perjanjian kerja sama. Bagi yang tidak mau pusing, mereka akan pinjam bendera dengan memberi fee rata-rata sebesar 5 % dari nominal transaksi.

Yang menjengkelkan bila 'diharuskan' bernaung di bawah vendor yang ditunjuk oleh si pemberi kontrak sendiri, yang kadang merupakan orang dalam juga. Para pelaku usaha kecil dan pekerja seni lepas ini hanya bisa pasrah meski tak sedikit pula yang tidak menyerah manakala 'dimainkan' para pemberi kontrak. Intinya ada pola permainan profit sharing antar mereka.

Memang ini bukan persoalan 'remeh' karena sebuah institusi atau lembaga butuh legalitas dalam transaksi sebagai bentuk pertanggungjawaban keuangan. Terutama kepastian hukum apabila terjadi wanprestasi. Tetapi di sisi lain membentuk sebuah badan hukum seperti CV atau yayasan mempunyai konsekuensi yang tidak semua pelaku usaha kecil ini mengerti.

Meminjam 'celotehan' Cak Nun perihal bedanya sudut pandang masyarakat di negara barat dengan di negeri sendiri. Kalau di barat sana kita akan ditanya: Kamu bisa apa? Sementara di sini yang ditanya adalah: Kamu siapa?

Menilik Badan Usaha dan Yayasan Sebagai Badan Hukum
Dalam sebuah perjanjian kerja sama seperti kasus di atas, mendirikan maupun meminjam bendera usaha menjadi sesuatu yang lazim alias lumrah. Lantas bagaimana 'kedua rechtspersoon' itu diatur dalam undang-undang?

CV adalah singkatan dari Commanditaire Vennootschap yaitu persekutuan komanditer, yang dasar hukumnya diatur dalam Pasal 19-21 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

Secara ringkas dari pasal-pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam persekutuan itu ada modal yang harus disetor oleh persero komanditer, adanya pembagian tugas antara direksi dan persero komanditer, termasuk tanggung jawab yang meliputi hutang piutang maupun perjanjian.

Secara prinsip untuk pendirian persekutuan komanditer ini tidak ada batasan minimal modal. Sementara dalam Undang-Undang RI Nomor 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM) Pasal 6  mengatur tentang kriteria UKM secara rinci dan jelas:

  • Usaha Mikro, memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan usaha; atau hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00.
  • Usaha Kecil, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00-Rp 500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00-Rp 2.500.000.000,00.
  • Usaha menengah, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00-10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00-Rp 50.000.000.000,00.

Sedangkan yayasan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28/2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16/2001 tentang Yayasan Pasal 1 angka 1 adalah: badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan serta tidak mempunyai keanggotaan.

Struktur kelembagaan yayasan berbeda dengan CV yang terdiri dari direksi dan komanditer, yayasan memiliki tiga organ yaitu: pembina, pengurus, dan pengawas. Atas dasar tersebut, maka sebuah yayasan dengan demikian tidak dapat didirikan dengan maksud dan tujuan selain dari tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. 

Adapun kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah yayasan dijelaskan dalam Pasal 3 bahwa: yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Dengan jenis kegiatan usaha yang diantaranya kesenian, olah raga, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Kedua badan hukum tersebut tentunya mempunyai aturan baku yang dituangkan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Dari mulai kewajiban laporan pengurus hingga laporan tahunan untuk pajak meskipun nihil misalnya.

Hal ini bukanlah kegiatan yang mudah untuk dilakukan oleh para pelaku usaha kecil semacam tukang kusen atau seniman lepas tadi. Langkah termudah akhirnya pinjam bendera.

Perjanjian Menurut Undang-Undang
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per), syarat sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat hal sebagaimana diatur dalam Pasal 1320, sebagai berikut:

  1. Sepakat, artinya para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat dan setuju mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan. Tanpa ada paksaan, apalagi penipuan (Pasal 1321);
  2. Cakap, yaitu pihak-pihak  mana saja yang boleh dan atau dianggap cakap untuk melakukan perjanjian. Hal ini secara rinci diatur dalam Pasal 1330;
  3. Hal tertentu, maksudnya dalam membuat perjanjian tersebut, apa yang diperjanjikan harus jelas. Misalnya jenis pekerjaan, rentang waktu pekerjaan, dan lain-lain;
  4. Sebab yang halal, berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang menurut undang-undang, nilai-nilai kesopanan, dan ketertiban umum (Pasal 1337).

Keempat syarat dari perjanjian tersebut dikenal dengan istilah syarat subyektif (syarat pertama dan kedua) yaitu para subyek yang membuat perjanjian itu. Serta syarat obyektif (syarat ketiga dan keempat) yaitu berkenaan dengan obyek dalam perjanjian tersebut.

Syarat subyektif itu adalah manusia (natuurlijkpersoon) dan badan hukum (rechtspersoon) sebagai subyek hukum. Sebagaimana halnya manusia, rechtspersoon (PT, CV, yayasan, organisasi, intansi) memiliki hak-hak dan kekayaan sendiri, serta dapat digugat atau menggugat di depan hakim (R. Subekti).

Selanjutnya rechtspersoon atau badan hukum ini dapat mengadakan hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking/rechtsverhouding) seperti perjanjian jual beli, sewa-menyewa, dan juga kontrak perjanjian kerja sama baik antara badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lain maupun 'badan hukum (rechtspersoon) dengan manusia'!

Penutup
Legalitas dan kepastian hukum memang menjadi acuan dalam praktik perjanjian kerja sama. Apalagi terkait dengan tanggung jawab laporan keuangan kepada lembaga keuangan seperti bank dan kantor pajak, serta bukti hukum apabila terjadi wanprestasi atau pelanggaran terhadap perjanjian oleh salah satu pihak.

Namun mekanisme 'keharusan' menjadi rechtspersoon bukanlah harga mati, karena hubungan hukum seperti kontrak perjanjian kerja sama tetap bisa dilakukan antara pribadi dan badan hukum. Dalam demokrasi ekonomi yang berkeadilan seperti yang dicita-citakan sebagai asas dan tujuan ekonomi nasional, mestinya tak perlu lagi ada pertanyaan: Kamu siapa? Tapi: Kamu bisa apa?

Bogor, 11 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun