Mohon tunggu...
Mohammad Adrianto Sukarso
Mohammad Adrianto Sukarso Mohon Tunggu... Lainnya - Apapun Yang Menurut Saya Menarik

Lulusan prodi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta yang sekarang sudah mendapat pekerjaan di bidang menulis. Masih berharap punya tekad untuk menulis lebih bebas di platform ini.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Kala Owi-Butet dan The Minions Menutup Aib PBSI dengan Prestasi

12 September 2023   08:45 Diperbarui: 12 September 2023   10:28 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto dalam China Open 2023 (Sumber: PBSI)

Bagi publik yang awam dengan bulu tangkis, mungkin masih berpikir bahwa Indonesia masih menguasai lanskap bulu tangkis dunia. Berbeda dengan olahraga populer lain di Tanah Air seperti sepak bola yang sudah terlalu banyak tercampur politik sehingga minim prestasi atau bola voli yang selalu terkendala isu dana dan masih berkembang, bulu tangkis terlihat jauh lebih konsisten dalam menghadirkan prestasi.

Di tahun 2023 ini misalnya, sempat terdengar kabar bagaimana pebulu tangkis macam Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto yang menjadi juara All England pada Maret 2023 lalu, atau Anthony Sinisuka Ginting yang meraih medali emas Kejuaraan Asia di Dubai, Uni Emirat Arab, pada April 2023 dan disusul dengan medali emas di Singapore Open hanya 6 minggu berselang. Namun, berbeda dengan kepercayaan publik luas yang masih yakin bahwa bulu tangkis adalah olahraga penyumbang prestasi terbesar di Indonesia, para penggemar tepok bulu paham betul bahwa cabang olahraga ini sedang tidak baik-baik saja. 

Bahkan, prestasi Indonesia di kancah bulu tangkis internasional sejatinya mengalami penurunan sejak lama. Tetapi, mereka selalu diselamatkan oleh prestasi gemilang para atletnya. Sebagai contoh, setidaknya ada satu nomor di mana pebulu tangkis Indonesia memperoleh medali emas di Olimpiade Musim Panas. Pengecualian terjadi di Olimpiade London 2012 ketika para atlet gagal meraih satu medali pun, termasuk perunggu, berujung terhadap evaluasi besar-besaran terhadap federasi bulu tangkis nasional, PBSI.

Sesekali para atlet bulu tangkis Indonesia juga mampu menjuarai turnamen besar seperti All England, China Open, atau Indonesia Open dalam tajuk BWF Superseries, kini dinamakan BWF World Tour, Kejuaraan Dunia BWF, kejuaraan beregu seperti Piala Thomas, atau ajang multi-olahraga macam Asian Games. Kemenangan-kemenangan di kompetisi berskala besar atau dengan gengsi tinggi inilah yang seakan memperlihatkan kalau bulu tangkis Indonesia masih berada di puncak.

Meskipun begitu, tidak sedikit yang menganggap bahwa keberhasilan ini murni karena kerja keras dan bakat atlet. Sudah sejak lama PBSI tidak lagi dianggap mampu mewadahi kesuksesan pebulu tangkis Indonesia. Dan kini, situasi semakin buruk lantaran kegagalan demi kegagalan diraih oleh para atlet dalam menjuarai turnamen. Terlihat semakin jelas bahwa PBSI mempunyai segudang pekerjaan rumah demi kembali meningkatkan kualitas bulu tangkis nasional.

Diawali dengan nihil emas di turnamen bulu tangkis terbesar Tanah Air, Indonesia Open pada Juni lalu, para atlet bulu tangkis gagal memperoleh kemenangan di Kejuaraan Dunia di Kopenhagen, Denmark, serta China Open. Situasi bisa dikatakan semakin pelik lantaran Asian Games 2023 di Hangzhou, Tiongkok, akan berlangsung akhir bulan September. Apakah Indonesia akan gagal memperoleh emas layaknya Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan dan Asian Games 1990 di Beijing, Tiongkok?

Owi-Butet Si Pasangan Super

Penampilan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dalam final Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brazil (Sumber: Olympic)
Penampilan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dalam final Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brazil (Sumber: Olympic)

Di masa-masa sulit bulu tangkis Indonesia, ada beberapa nama yang sempat menjadi pelipur lara penggemar bulu tangkis Tanah Air. Greysia Polii, dengan partnernya seperti Nitya Krishinda Maheswari atau Apriyani Rahayu misalnya, masing-masing menjuarai Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan dan Olimpiade 2021 Tokyo, Jepang. Mereka menunjukkan bahwa Indonesia masih layak diperhitungkan di kancah bulu tangkis internasional.

Ada juga Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan yang tidak lekang oleh waktu. Di masa primanya, mereka pernah meraih emas di Asian Games 2014, All England 2014 serta Kejuaraan Dunia 2013 di Guangzhou, Tiongkok dan Kejuaraan Dunia 2015 di Jakarta. The Daddies, sebutan akrab untuk mereka, bahkan masih mampu menyumbangkan emas di All England 2019 serta Kejuaraan Dunia 2019 di Basel, Swiss.

Saat ini, ada beberapa nama lain yang mampu menunjukkan status elit Indonesia di kancah bulu tangkis seperti Fajar/Rian, Ginting, sampai Jonatan Christie. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan mereka belumlah setara dengan para pendahulu. Meskipun sudah memperoleh beberapa medali emas di turnamen ternama, konsistensi mereka di level tertinggi masih harus dibuktikan.

Sejak kegagalan di Olimpiade 2012, tidak banyak lagi pemain yang bisa berbicara banyak di level dunia. Hendra/Ahsan bisa dikatakan yang paling konsisten. Greysia/Nitya juga kerap menjadi kuda hitam. Namun, ujung tombak dari bulu tangkis Indonesia adalah Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dari sektor ganda campuran. Mereka kerap jadi penyelamat Indonesia di berbagai turnamen. Owi-Butet, panggilan untuk pasangan ganda campuran ini, menjadi andalan Indonesia dalam meraih emas. 

Sejak dipasangkan pada 2010 lalu, mereka berhasil memenangkan 27 titel BWF Superseries, BWF World Tour, atau BWF Grand Prix. Salah satu yang paling fenomenal adalah ketika mereka mampu memperoleh podium tertinggi di All England 3 kali berturut-turut pada 2012-2014. Tidak hanya itu, mereka juga mampu memperoleh 2 medali emas di Kejuaraan Dunia 2013 dan Kejuaraan Dunia 2017 di Glasgow, Skotlandia. 

Dan tentunya, prestasi terbesar mereka adalah medali emas Olimpiade 2016 Rio De Janeiro, Brazil. Medali emas tersebut membayar tuntas kegagalan mereka di Olimpiade 2012, di mana saat itu mereka finis di 4 besar. Medali emas ini juga yang pertama bagi ganda campuran Indonesia. Di masa lampau, beberapa pasangan seperti Tri Kusharjanto/Minarti Timur dalam Olimpiade 2000 di Sydney, Australia atau Nova Widianto/Liliyana Natsir dalam Olimpiade 2008 di Beijing, Tiongkok, mentok mendapat perak. 

Kekurangan Owi-Butet mungkin tidak mampu menjuarai turnamen beregu seperti Piala Thomas, Piala Uber, atau Piala Sudirman, serta gagal meraih emas di Asian Games. Namun, setelah medali emas Olimpiade serta kemenangan di berbagai kompetisi, tentunya kegagalan tersebut bukanlah hal yang harus ditonjolkan dalam karir mereka.

The Minions Selamatkan Wajah Indonesia

Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo juara Indonesia Open 2019 (Sumber: PBSI)
Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo juara Indonesia Open 2019 (Sumber: PBSI)

Di akhir masa keemasan Owi-Butet, muncul ganda putra yang terkenal dengan gaya bermain yang eksplosif, enerjik, serta tingkah lakunya di lapangan. Mereka adalah Marcus/Kevin, biasa dipanggil dengan sapaan The Minions, mengacu kepada tinggi mereka yang cukup pendek untuk ukuran pebulu tangkis, serta seringnya mereka melompat untuk melakukan smes dalam pertandingan dan bermain dengan cepat.

Dipasangkan pada 2015, keduanya mulai dikenal publik memasuki awal 2016. Sedikit berbeda dengan Owi-Butet yang masih harus bersaing dengan banyak lawan lain meskipun di era keemasan mereka, The Minions adalah ganda putra yang benar-benar mendominasi nomor tersebut, dan hampir selalu dipastikan memenangkan turnamen yang mereka ikuti. Sebanyak 31 titel BWF Superseries, BWF World Tour, dan BWF Grand Prix mereka peroleh mulai dari 2016 sampai 2021. 

Di masa kejayaannya, The Minions menjadi ganda putra rangking 1 dunia mulai dari September 2017 sampai September 2022, menunjukkan dominasi mereka di sektor tersebut. Hanya segelintir lawan yang benar-benar mampu menyaingi permainan mereka. Puncaknya adalah pada 2018, di mana The Minions memperoleh emas di Asian Games ketika mengalahkan rekan senegaranya, Fajar/Rian. Pencapaian ini melanjutkan tren keberhasilan ganda putra Indonesia di Asian Games sejak 2010. The Minions memang gagal memperoleh gelar Kejuaraan Dunia BWF atau Olimpiade. Meskipun begitu, bukan berarti mereka bisa dipandang sebelah mata.

The Minions lebih dikenal sebagai penguasa Superseries lantaran dominasi mereka di turnamen-turnamen BWF. Sebagai perbandingan, meskipun belum lagi mampu bermain di level tertinggi, total 31 titel saat menjadi pasangan serta 2 titel ketika dipasangkan dengan partner lain, membuat mereka mereka berada di urutan ke-9 sebagai peraih gelar  BWF Superseries, BWF World Tour, dan BWF Grand Prix. Kedigdayaan The Minions pada masanya sulit untuk dibantah.

Di masa keemasan The Minions, atlet bulu tangkis yang memiliki konsistensi serupa tidak banyak. Jojo dan Ginting di tunggal putra, Greysia Polii bersama partner barunya Apriyani Rahayu di ganda putri, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti di ganda campuran lebih banyak menyandang status kuda hitam yang sesekali membuat kejutan di sejumlah turnamen. 

Jojo, yang bukan unggulan di Asian Games, sempat diharapkan menjadi tumpuan utama setelah mampu menyingkirkan banyak pemain lain yang lebih senior, yang sayangnya masih belum mampu menunjukkan performa tertinggi. Pun halnya Ginting di China Open 2019 dan Olimpiade 2021. Greysia/Apriyani mampu menunjukkan kombinasi pengalaman dan ketangkasan ketika meraih emas di Olimpiade 2021. Praveen/Melati juga kerap menjegal ganda campuran kuat lain kala menjuarai Denmark Open 2019, French Open 2019, dan All England 2020.

Pemain yang justru menjadi tumpuan lain adalah The Daddies, yang pada 2019 lalu, kembali keluar dari masa pensiun. Hendra sudah berusia 35 tahun, dan Ahsan 32 tahun. Mereka kerap “menemani” The Minions di sejumlah final, yang mana The Minions sering keluar jadi pemenang lantaran permainan cepat mereka sulit dibendung. Sesekali, The Daddies malah menggantikan mereka menjadi juara seperti pada Kejuaraan Dunia 2019 atau BWF World Tour Final 2019. 

Bisa dikatakan bahwa The Minions adalah tumpuan utama Indonesia di saat sektor lain masih belum bisa diandalkan. Ada masanya para penggemar bulu tangkis Indonesia pesimis melihat kiprah sektor lain, namun mendadak optimis ketika berbicara soal ganda putra. Ini terjadi karena mereka yakin bahwa The Minions akan memenangkan turnamen yang mereka ikuti.

Petaka Ketika Mereka Sudah Tiada

Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo dalam Indonesia Masters 2022 (Sumber: Antara/Sigid Kurniawan)
Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo dalam Indonesia Masters 2022 (Sumber: Antara/Sigid Kurniawan)

Tetapi, terlalu nyaman dengan Owi-Butet maupun The Minions bukanlah pertanda baik. Ada masanya atlet tidak mampu bermain di performa terbaik karena berbagai alasan mulai dari cedera, konflik internal, atau memang sudah lewat masanya. Dalam kasus seperti ini, regenerasi adalah sesuatu yang diperlukan agar federasi atau instansi lain tetap bisa menghasilkan prestasi meskipun tidak disokong pemain terbaiknya.

Liliyana Natsir pensiun pada awal 2019 di usianya yang ke-33. Tontowi Ahmad pensiun setahun berselang di usia yang sama dengan sang partner. Dan pada titik ini, Indonesia belum lagi menemukan ganda campuran dengan kaliber setinggi mereka. Selain Praveen/Melati, sudah banyak pasangan baru bermunculan seperti Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjaja, Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari, atau Rehan Naufal Kusharjanto/Lisa Ayu Kusumawati.

Sayangnya, nama-nama tersebut tidak bisa menggantikan Owi-Butet. Praveen/Melati sempat didera masalah internal dan cedera, bahkan saat ini sudah tidak lagi di Pelatnas. Hafiz/Gloria juga sudah tidak berpasangan, dan sayangnya belum mampu berbicara banyak dengan partner barunya. Hanya ada Rinov/Pitha dan Rehan/Lisa yang berada di Pelatnas, dan keduanya belum menunjukkan konsistensi yang baik.

Masalah lebih pelik dialami oleh ganda putra The Minions. Marcus menderita cedera sejak 2021, dan harus absen cukup panjang pada pertengahan 2022. Semenjak itu, performa The Minions belumlah sebaik di masa keemasan mereka, kerap kalah di putaran pertama atau kedua. Rumor bahkan mengatakan kalau keduanya akan segera dicarikan pasangan baru.

Sejatinya, pasca penurunan The Minions, muncul Fajar/Rian yang menggantikan posisi mereka sebagai ganda putra nomor satu Indonesia. Pasca kegagalan di All England 2022, mereka tancap gas dan memenangkan banyak turnamen. Kemenangan demi kemenangan membuat FajRi, sebutan untuk kedua pasangan ini, meraih posisi 1 dunia. Pada saat itu, masyarakat optimis kalau FajRi bisa meneruskan tren baik ganda putra Indonesia.

Tetapi, di pertengahan 2023, performa mereka anjlok. Sempat meraih kemenangan di Malaysia Open 2023 dan All England 2023, yang notabene memiliki kelas Super 1000, FajRi belum lagi mampu meraih keberhasilan di turnamen lainnya. Tidak jarang mereka terhenti di putaran pertama atau kedua. Terkini, status mereka sebagai peringkat 1 dunia sudah dipepet oleh ganda putra lain dari Tiongkok, yakni pasangan Liang Weikeng/Wang Chang, serta dari India bernama Chirag Shetty/Satwiksairaj Rankireddy.

Di bawah FajRi, masih ada ganda putra lain seperti Bagas Maulana/Muhammad Shohibul Fikri, Pramudya Kusumawardana/Yeremia Rambitan, serta Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin. Pasangan pertama sempat menjadi sensasi usai meraih podium pertama di All England 2022, sementara sisanya mampu membawa pulang emas di nomor ganda putra SEA Games 2022 dan SEA Games 2023.

Meskipun sudah menghasilkan prestasi, belum ada yang mampu tampil konsisten. Bagas/Fikri melempem usai All England 2022 dan belum pernah menjuarai turnamen apapun. Pramudya/Yeremia sempat terhenti momentumnya karena Yeremia mengalami cedera lutut, sehingga keduanya belum mampu kembali ke performa puncak. Leo/Daniel, meskipun sempat juara di Singapore Open 2022 dan Indonesia Masters 2023, juga belum mampu konsisten. Terbaru, Daniel disebut-sebut mengalami mata silinder sehingga semakin mempengaruhi performanya.

Sektor lain juga sayangnya belum mampu mendulang hasil maksimal. Tunggal putra, tunggal putri, dan ganda putri masih tampil angin-anginan. Ada momen di mana mereka tampil luar biasa dan melebihi ekspektasi. Tetapi, ada juga saat-saat ketika performa mereka jauh dari kata memuaskan dan harus dievaluasi.

Mau Sampai Kapan Digendong Atletnya, PBSI?

Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto dalam China Open 2023 (Sumber: PBSI)
Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto dalam China Open 2023 (Sumber: PBSI)

Kembali ke periode sekarang, bulu tangkis Indonesia tengah mengalami paceklik gelar, terhitung sejak memasuki Juli 2023. Gelar terakhir Indonesia diperoleh tunggal putra Chico Aura Dwi Wardoyo di Taipei Open 2023 yang punya level Super 300. Di turnamen besar dengan level Super 750 ke atas seperti Japan Open 2023, Kejuaraan Dunia BWF 2023, dan China Open 2023, tidak ada atlet Indonesia yang meraih gelar.

Masih membekas di ingatan penggemar bulu tangkis akan ucapan Kepala bidang Pembinaan Prestasi PBSI, Rionny Mainaky, ketika dirinya menargetkan 2 emas di Kejuaraan Dunia 2023. Banyak orang yang paham bulu tangkis menganggap target seperti itu tidak realistis dengan keadaan para atlet. Dan benar saja, raihan terbaik di turnamen tersebut adalah perak yang diraih oleh Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva Ramadhanti.

Situasi diperparah dengan banyaknya bobrok PBSI yang muncul ke permukaan ketika Indonesia sedang paceklik gelar. Mulai dari kisruh pergantian pelatih, pernyataan Kabid Binpres terhadap atlet usai Kejuaraan Dunia BWF yang terkesan menyudutkan, sampai isu kesehatan atlet. Ini semua berbuntut kepada pertanyaan akan keseriusan PBSI dalam mengayomi atletnya. 

Warganet mempertanyakan kinerja pengurus PBSI yang meminta target setinggi langit tapi tidak dibarengi dengan komitmen yang setinggi langit pula. Beragam pertanyaan muncul di benak khalayaknya, dan sayangnya itu semua tidak pernah terjawab dengan baik oleh pihak PBSI. Tidak pernah ada pernyataan dari pihak PBSI akan isu yang sedang beredar maupun memberi alasan menurunnya performa atlet jelang Asian Games 2023 serta saat sedang mengumpulkan poin untuk Olimpiade 2024 di Paris, Perancis.

Per artikel dipublikasikan, 17 wakil Indonesia akan bertanding di Hong Kong Open 2023. Dan seminggu setelahnya, mereka akan memulai perjalanan di Asian Games 2023. Di saat-saat kritis seperti ini, publik teringat akan Owi-Butet dan The Minions yang muncul bak superhero, menyelamatkan Indonesia dari jurang keterpurukan bulu tangkis, memperoleh gelar di turnamen-turnamen tersebut.

Naas, dua wakil tersebut tidak bisa hadir untuk Indonesia. Kini, pertanyaan di paragraf awal kembali menyeruak: apakah Indonesia mampu mengirimkan wakil untuk jadi juara Asian Games di cabor badminton? Jawaban dari pertanyaan ini pasti beragam. Ada yang optimis, yakin akan ada sosok kejutan di event ini, dan ada juga yang pesimis, mengingat kondisi para atlet saat ini. Yang jelas, jika memang nanti muncul sosok peraih emas, maka sudah sepatutnya PBSI berterima kasih kepada mereka, karena sudah menutup aib federasi dengan prestasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun