Mohon tunggu...
Ovic Gleichen
Ovic Gleichen Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Selain suka membuat komik, saya juga suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Menyampahkan Makanan

9 April 2014   07:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:53 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari yang lalu, ditempat saya mengadakan suatu acara pertemuan. Setelah kurang lebih dua jam acara berlangsung, ada teman yang berbisik cemas karena ada tamu yang katanya sudah merasa lapar. Waduh? Pie iki? Karena soal konsumsi bukan bagianku, akhirnya saya adukan keluhan tersebut ke bagian yang menangani soal makanan. Dan ternyata, makanan sedang dalam perjalanan. Oh.. syukurlah..

Makanan tiba, saya dan beberapa teman mulai menyiapkan piring, untuk alas. Karena yang dipesan nasi goreng bungkus. Dari sekitar 20-an orang penting tersebut, saya bisa melihat bahwa sebagian besar dari mereka perutnya sudah keroncongan minta ma’em. Siapa yang ndak bahagia ketika melihat tamu kita mau makan dengan lahap dan manghabiskan makanan yang kita sajikan? Apalagi budayanya orang Pegunungan Dieng, kalau mampir tidak makan, sama saja penghinaan, katanya. Haha.. yah, begitulah tradisi ditempat asal saya. Sehingga ketika sedang sillaturahmi lebaran atau ada even tertentu, perut bisa benar-benar penuh!

Namun yang sering jadi masalah, setiap ada acara perkumpulan, pengajian, forum, dkk. Sangat lumrah sekali kalau tamu kita seolah wajib meninggalkan sampah. Bahkan sampah tersebut masih hangat, alias baru keluar dari pabrik, masih baru, tidak second, sampah itu disebut makanan. Lha iyo, bahkan sampah tisu, plastic, putung rokok dan sobekan kertas, sampah berupa makanan justru lebih banyak. Bahkan ada yang cuman secuil saja yang dimakan, lalu sisanya kadang sudah dicampur abu rokok. Saya sempat bingung ketika melihat fenomena tersebut. Saya sering pula berpikir “Kenapa orang indonesia kalau makan kok yo seperti ini, ndak menghargai yang ngasih, lo! Kan buat ngasih kalian makan juga butuh biaya, mentang-mentang gratis njo’ ndak dihabisin, gitu?”

Bukan hanya masalah biaya, tapi bersyukurkah kita sama yang ngasih makanan? Tidak ingatkah saat sedang kelaparan, dan ketika lapar kita sedang akut, membayangkan nasi saja air liur bisa keluar, apalagi kalau membayangkan lauknya? Nikmat sekali, bukan? Hmmmm…

Nabi kita tercinta kan sudah ngasih tau etika makan (saya curiga mereka yang nyia-nyiain makan ndak tahu kebenaran ini, atau terlalu sibuk makan sampai ndak tau aturannya). Selain harus berdo’a dulu,jangan ngobrol, duduk yang benar, kita juga jangan nyisain makanan barang satu bijipun. Berkahnya makanan itu ada di yang terakhir, terakhir yang kita makan, asal jangan piringnya yang dimakan. Menyisakan makanan sama denganinnal mubaddziriina kaanu ikhwanassyayaatin, wainnassyayaatiina kaanu kafuuro. Yang artinya kurang lebih begini. Menyia-nyiakan makanan/memubadzirkan makanan itu temennya setan, dan setan lebih dekat kepada keburukan. Nah lo, setan aja suka nyia-nyiain makanan, apalagi kita? Emang kita pengikutnya ya? Bukan donk… Hohoho...

Selain sampah yang ditimbulkan. Kita yang masih hobi menyisakan makanan juga bisa masuk golongan orang-orang yang egois. Apalagi ketika saya menjadi panitia yang merangkap jadi pencuci piring, betapa sedihnya saya saat melihat nasi-nasi yang putih bersih itu sudah tidak layak makan lagi karena ulah seseorang, ulah everybody, uhhh… belum lagi, saya harus kerepotan untuk memisahkan nasi tersebut supaya tidak menyumbat saluran. Masa mau dibuang ke saluran? Haha.. Kita lihat saudara-saudara kita yang kelaparan, yang kehausan, yang mau makan aja harus ngemis, harus kringetan dulu baru bisa makan. Sementara kita dengan entengnya membuang nasi yang jadi modal hidup, juga salah satu modal kesejahteraan bangsa. Kan kita tahu sendiri, para petani kita protes sana protes sini supaya biar pemerintah tidak impor beras. Tapi nyatanya kita-kita ini malah membuangnya. Coba hitung saja sisa makan semua orang Indonesia dalam sehari, jika dikiloin sudah berapa tuh yang dibuang? Begitulah kawan… masih wajar kalau dibilang orang Indonesia itu aneh.

Yang lebih aneh lagi, beberapa dari orang kita menyisakan makanan karena faktor gengsi. Katanya kalau dihabisin sampai butur-butir terakhir, ntar dikiranya orang rakus. Waduh, kalau demi kemakmuran dan kesejahteraan aja mesti gengsi, gimana kita mau majuuuu..

Lagi-lagi, untuk bisa menghormati makanan, kita sudah bisa mencontoh negara Jepang. Mantan penjajah kita sekarang sudah maju lo.. Karena kesadaran dan kedisiplinan mereka sudah layak diacungi dua jempol. Kalau mau bicara soal etika dan kesadaran, masa kita kalah sama yang dulu jadi penjajah.. atau dari dulu pola pikir kita emang sudah di setting begitu?

Ayo kita habiskan makanan kita hingga butir dan titik terakhir! Kalau ada Caleg yang suka sisain makanan, mending cuekin aja deh. Jangan berani-beraninya milih.. hehe..

Oleh karena itu, sebelum makan sebaiknya perhatikan hal berikut:

1.Kalau mau menghadiri acara, jika suguhannya berupa nasi bungkus dan semacamnya, usahakan sebelum berangkat ke acara tersebut kosongkan perut atau setidaknya jangan kenyangkan perut dulu.

2.Kalau mengambil makanan, jangan berlebihan mangambil yang tidak perlu. Jangan hanya karena ingin tahu rasanya, lantas mengambil banyak-banyak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun